Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan kardus dan kayu tertata rapi di pojok kiri halaman depan kantor pusat dan pabrik PT Catur Putra Surya, di Jalan Rungkut Industri III Nomor 36, Surabaya. Sebuah jam dinding besar putih menempel di tembok halaman kantor yang sedikit kusam. Sepintas, orang akan mengira jam tersebut hanya pajangan. Padahal itu lambang PT Catur Putra Surya (CPS), produsen arloji di Surabaya.
Pabrik di Rungkut itu adalah sisa-sisa kejayaan PT CPS. Empat hektare kawasan produksi milik Yudi Susanto, bos PT CPS, di Desa Siring, Porong, Sidoarjo, tenggelam ditelan luapan lumpur Lapindo tujuh tahun lalu. Nama CPS pernah bergaung dua dekade silam karena Marsinah, aktivis buruh yang bekerja di pabrik tersebut, diculik dan mayatnya ditemukan tiga hari kemudian di sebuah hutan di Nganjuk pada 8 Mei 1993.
"Marsinah pernah bekerja di sini," kata Kepala Personalia PT CPS S.H. Ritonga kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Ritonga ditunjuk Yudi sebagai kuasa pengurusan pembayaran ganti rugi akibat lumpur yang menyembur dari Sumur Banjar Panji-1 milik Lapindo Brantas Inc.
Ritonga mengenang, pada 1990-an, Porong, Sidoarjo, merupakan kawasan industri baru yang dikembangkan pemerintah Jawa Timur. CPS pun memperluas pabrik di sana karena akses yang mudah, harga tanah masih murah, serta tenaga kerja melimpah dan relatif lebih murah ketimbang Surabaya. "Di Porong khusus mengolah bahan baku hingga barang setengah jadi," kata Ritonga.Â
Ekspansi usaha itu tinggal mimpi. Menurut Ritonga, perusahaannya rugi miliaran rupiah lantaran aset tanah dan bangunan tenggelam tak berbekas. Total 500 karyawan kehilangan pekerjaan. Hanya 20-an buruh alih daya yang ditarik untuk bekerja di Rungkut. "Kami juga masih punya utang di bank yang belum terbayar," ujar Ritonga.
Semua itu gara-gara ganti rugi oleh Lapindo tak jelas. CPS tak sendiri. Sedikitnya 26 perusahaan lain juga merana, bahkan bangkrut. Merasa senasib, para pengusaha itu membentuk Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo. Mereka menuntut kepastian pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar Lapindo Brantas Inc. Menurut data yang dimiliki Ritonga, Minarak masih mempunyai tanggungan ganti rugi kepada para pengusaha Rp 109.469.969.281 untuk total aset 52 hektare.
Korban lain, Tikno Santoso, pengusaha mebel PT Ardaya Jasa, juga memupus ekspansi bisnisnya di Porong. Beberapa unit rumah dan toko di depan gudang mebelnya di Desa Kedungbendo ditelan lumpur pada awal 2007. Ia pun segera mencari kantor Lapindo Brantas untuk meminta pertanggungjawaban. Namun solusi yang ditawarkan tak memuaskan. "Kami (para pengusaha korban lumpur) dipanggil satu-satu. Ditawari mau enggak dengan pembayaran sekian. Pengusaha tidak bisa menawar-nawar lagi nilai itu," kata Tikno kepada Tempo.
Tikno melihat itu bukan tawaran, melainkan pemaksaan karena hanya dinilai sepihak. Minarak disebutnya mengambil celah hukum tidak dimasukkannya kewajiban pembayaran ganti rugi kepada para pengusaha sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Berdasarkan taksiran Bank Mandiri, ujar dia, aset tanah seluas 3.565 meter persegi dan bangunan miliknya bernilai Rp 1,7 miliar. Namun Minarak hanya menghargai Rp 1,1 miliar.
Minarak memberi harga ganti rugi tanah Rp 250-300 ribu dan bangunan Rp 500-750 ribu per meter persegi. Apes, Tikno belum mengantongi izin mendirikan bangunan, sehingga bangunannya tak masuk hitungan. Akhirnya ia hanya menerima Rp 125 juta. Bermodal pinjaman bank, Tikno membangun lagi usahanya di kawasan Jalan Tanjungsari, Surabaya. "Saya sudah terima 30 persen, tapi ada pengusaha yang belum terima duit sama sekali padahal sudah ada ikatan jual-beli," ucapnya. PembaÂyaran terhenti sejak 28 Desember 2008.
Para pemilik perusahaan korban lumpur Lapindo menuntut pemerintah melindungi hak mendapat penggantian oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Salah satu yang diminta adalah pelunasan ganti rugi dilakukan pemerintah dengan dana talangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, seperti yang diberikan kepada warga di luar peta daerah yang terkena dampak. Mereka memanfaatkan momentum perubahan kelima Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.
Pemerintah memang memfasilitasi penanggulangan lumpur Lapindo dan menjamin pembayaran untuk warga yang berada di luar area yang terkena dampak pada 22 Maret 2007, sesuai dengan Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Bahkan pada 2013 ini, menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, pemerintah telah menganggarkan Rp 2,1 triliun.
Pada 25 Februari lalu, Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo bertemu dengan Panitia Khusus Kasus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo. Dewan tengah mengajukan draf ganti rugi bagi semua fasilitas sosial dan umum milik pemerintah yang tenggelam. "Kami juga berusaha mengakomodasi para pengusaha," kata Anik Maslachah, anggota panitia khusus tersebut, beberapa waktu lalu.
Ketua Panitia Khusus Lumpur Lapindo Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin mengatakan, melalui surat rekomendasi berkop DPRD Sidoarjo, Pansus Lumpur telah melayangkan usul ini ke Menteri Pekerjaan Umum, Sekretaris Kabinet, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Isinya, pengusaha dan warga korban Lapindo dalam peta area yang terkena dampak berhak mendapat pembayaran ganti rugi dari APBN. Tiga bulan menunggu, belum juga ada jawaban dari Jakarta.
Dewan Sidoarjo mengusulkan aset pengusaha dinolkan dan ditaksir lagi nilainya sesuai dengan warga korban umumnya. Besaran ganti rugi 30 persen yang telah dibayarkan Minarak tetap masuk hitungan. "Kekurangannya dilunasi APBN,"Â ujarnya.
Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla berkukuh pembayaran yang dilakukan saat itu berdasarkan skema yang benar, yaitu business to business. Dalihnya, ganti rugi kepada pengusaha tidak diatur melalui Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Selain pembayaran jual-beli sebesar 30 persen dari nilai aset, Andi mengaku memberikan uang pindah dan pesangon buruh selama enam bulan kepada setiap pengusaha. Besaran uang pindah menyesuaikan dengan perjanjian jual-beli, dari Rp 10 juta sampai Rp 50 juta. "Jangan mengatakan Lapindo enggak bayar. Kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk pengusaha. Bohong itu Ritonga dan kawan-kawan," kata Andi, Senin pekan lalu.
Andi enggan merinci jumlah duit yang telah dikucurkan perusahaannya untuk para korban yang pengusaha. Secara keseluruhan Minarak telah menggelontorkan Rp 3,04 triliun untuk pembayaran kepada para korban dalam peta yang terkena dampak. Minarak tetap berkomitmen membayar pengusaha tapi setelah pembayaran ke warga lunas. Andi mengatakan pihaknya membuat perjanjian ikatan jual-beli dengan pengusaha korban secara individu. Di dalamnya ada klausul, pengusaha berhak mengambil lagi sertifikat tanah dan bangunannya di notaris apabila hingga akhir 2008 Minarak tak sanggup melunasi ganti rugi.
Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc Dharma Irawan Jenie memohon masyarakat tidak terus-menerus menyerang Lapindo hanya karena belum melunasi tanggungan Rp 786 miliar. "Dana dari owner sudah banyak kami keluarkan. Saya harap pelunasan ganti rugi tuntas tahun ini," kata Dharma kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Menurut dia, perseroan tengah kesulitan likuiditas. Perbankan juga enggan memberikan kredit.
Soal pembayaran ganti rugi ke pengusaha korban lumpur, ia berkomitmen membayarnya setelah sisa ganti rugi ke warga lunas. Sebab, pembayaran ke pengusaha tidak tertuang dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Dharma tetap mempercayakan proses pembayaran kepada Minarak.
Agus Supriyanto | Diananta P. Sumedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo