Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Gugus Tugas Percepatan Penangangan Covid-19, Doni Monardo, mengakui bahwa akurasi alat rapid test memang rendah sehingga tidak bisa dipakai sebagai acuan memastikan seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak.
"Akurasi rapid test memang masih rendah, makanya WHO belum menjadikan Rapid Test sebagau tolak ukur. Kita masih memprioritaskan tes swab dengan metode PCR," ujar Doni via telekonferensi, Senin, 11 Mei 2020.
Hal ini disampaikan Doni menanggapi hasil Investigasi Majalah Tempo bersama Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang menemukan tingkat akurasi alat tes cepat atau rapid test merek Biozek diragukan.
Salah satu yang menggunakan alat tes cepat ini adalah Istana Kepresidenan. Protokoler Istana memakai Biozek untuk mengetes antibodi tamu yang datang.
Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 9 Mei 2020, Kimia Farma telah mengimpor 300 ribu rapid test dengan merek Biozek dari Belanda.
Namun Tempo dan OCCRP menemukan jika alat itu diduga diproduksi di Cina oleh Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd. Alat tes cepat ini kemudian hanya dikemas ulang dengan merek Biozek oleh Inzek International Trading BV di Apeldoorn, Gelderland, Belanda.
AllTest, juga Inzek, mengklaim alat uji cepat tersebut memiliki akurasi hingga 92,9 persen untuk mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan 98,6 persen untuk mendeteksi immunoglobulin G (IgG).
Namun, sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian Profesor Sir John Bell dari Oxford University menunjukkan tingkat akurasi peralatan uji cepat itu jauh lebih rendah. Buntut dari penelitian ini, Inggris membatalkan pembelian jutaan alat tes asal Cina tersebut.
Hingga Rabu pekan lalu, Kimia Farma telah mendistribusikan 181 ribu alat uji Biozek ke 58 rumah sakit dan 28 Dinas Kesehatan di berbagai wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini