Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan pemecatan guru SMK di Cirebon yang mengomentari dirinya di Instagram membuatnya dituding antikritik. Dia membantah jika dikatakan tak mau menerima kritik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi seolah karena mengkritik saya, jadi diberhentikan. Terus saya yang dianggap anti kritik, kan gak begitu. Saya tidak anti kritik,” kata dia, di Bandung, Kamis, 16 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ridwan Kamil mengaku sudah sering dikritik dan jawaban yang dilontarkan pada yang mengkritiknya, menurut dia, hanya jawaban biasa saja. “Seorang pemimpin tidak boleh antikritik, makanya saya tidak mengeluarkan statement yang kesannya antikritik. Saya menjawab biasa saja. Kalau keliru saya jawab dengan data, kalau becanda saya jawab dengan bencada itu aja,” kata dia.
Ridwan Kamil mengatakan pemecatan guru SMK yang mengkritikya dilakukan sepihak oleh sekolah. Ia menolak dikaitkan dengan pemecatan tersebut. Ia mengaku menyarankan guru tersebut untuk dinasehati saja.
“Bahwa ada pihak sekolah yang meresponsnya berbeda, sebenarnya menjadi domain peraturan mereka, makanya menurut saya cukup diingatkan saja tidak perlu sampai diberhentikan,” kata Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil membenarkan sempat menelpon pihak sekolah terkait hal tersebut. Dia mengatakan kewenangan bukan berada di pihaknya melainkan di sekolah. Menurut Ridwan, hal yang menjadi persoalan adalah komentar dengan memakai kata yang tidak sopan.
“Sekarang kalau anda biarkan kekasaran itu terjadi dalam ruang informasi kita, siapa yang akan mencontoh, murid-murid. Mereka akan menganggap menamai manusia dengan binatang itu hal biasa, berbicara kasar biasa. Nah, itu yang harus dihindari. Maka tugas guru, tugas pemimpin semua menjadi teladan dalam pembangunan yang lebih beradab, kira-kira begitu,” kata dia.
Sabil Dipecat Tapi Masih Terdaftar di Dapodik
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Wahyu Mijaya mengaku tidak ada perintah dari Ridwan untuk memberhentikan Muhammad Sabil Fadilah sebagai guru di SMK Telkom Cirebon dan SMKS Ponpes Minbauul Ulum. “Jadi saya tegaskan tak pernah ada perintah dari Pak Gubernur untuk memberhentikan yang bersangkutan," kata dia.
Wahyu mengaku sudah menghubungi Kantor Cabang Dinas (KCD) Cirebon dan memastikan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) guru tersebut masih tercatat di Dinas Pendidikan Jawa Barat. Ia mengaku sudah meminta pihak yayasan mencabut surat pemberhentian Sabil.
“Kalau dari sisi statement (Sabil) di Instagram kami sudah sampaikan agar jangan sampai diberhentikan. Tapi apakah yang bersangkutan ada masalah lain dengan sekolah, kami tidak tahu. Kalau masalah di luar itu bukan kewenangan kami," kata Wahyu.
Wahyu mengatakan, tenaga pendidik sepatutnya menggunakan bahasa yang baik termasuk di media sosial. “Ini kewajiban kami di Dinas Pendidikan untuk selalu mengingatkan tenaga pendidik agar menggunakan bahasa yang baik dalam pembelajaran maupun di luar karena bisa diikuti oleh siswa. Mungkin ada diksi lain yang lebih baik untuk digunakan,” kata dia.
Kata 'Maneh' Bukan Hate Speech
Sebelumnya, Sabil dalam laman komentar akun Instagram Ridwan Kamil berkomentar "Dalam Zoom ini, maneh teh keur jadi sebagai gubernur, kader partai, atau pribadi ridwan kamil? (Dalam Zoom ini, Anda jadi gubernur, kader partai, atau pribadi Ridwan Kamil?)".
Komentar tersebut di-pin sehingga menjadi komentar teratas di kolom komentar Ridwan Kamil. Ridwan Kamil membalas komentar tersebut dengan "Menurut Maneh Kumaha?".
Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya (PSKMD) Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad), Justito Adiprasetio mengatakan kata ‘maneh’ yang digunakan Sabil dalam komentarnya, bagi Tito, tidak begitu berarti.
Tito merujuk pada konteks kategori hate speech. Di negara-negara barat, pengertian hate speech berkaitan dengan ancaman. Kata ‘maneh’ ini, sebut Tito, bahkan tidak masuk dalam kategori defamation atau pencemaran nama baik.
“Ini yang harus dipertanyakan, kenapa Kang Emil mesti merespons itu? Bahkan secara langsung kepada sekolahnya. Jadi kalau hanya kata ‘maneh’ saja saya pikir responsnya sangat reaktif dan sebenarnya tidak perlu dilakukan. Lebih penting untuk melihat hal-hal yang substansial dari kritik tersebut daripada hanya melihat ‘bungkusnya’,” kata Tito kepada Tempo.
Selain itu, ia juga melihat apa yang dilakukan oleh Ridwan Kamil sebagai praktik ‘dog whistle’ melalui kebiasaannya menyematkan atau meng-pin komentar di unggahan media sosialnya. Dog whistle merujuk pada penggunaan bahasa suggestive untuk memperoleh dukungan. Langkah ini yang membuat guru tersebut mengalami perundungan di media sosial.
“Ini yang perlu dicermati karena saya melihat fenomena ‘dog whistle’ yang melibatkan tokoh politik ini tidak terjadi satu atau dua kali saja. Saya sangat yakin bahwa mereka tahu betul konsekuensi dari komunikasi yang mereka lakukan,” ujar Tito.
Mohammad Hatta Muarabagja
Pilihan Editor: Anak Wapres Ma'ruf Amin Dikukuhkan Jadi Guru Besar Unesa, Ini Hasil Risetnya