Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Hare krisnha, akhirnya

Jaksa agung mengeluarkan keputusan melarang kegiatan hare krishna aliran yang berasal amerika serikat, yang mengakhiri spekulasi di kalangan umat hindu.(ag)

2 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA kegiatan Hare Krishna diL larang. Surat Keputusan Jaksa Agung No. 107 tahun 1984, yang dikeluarkan 18 Mei yang lalu, mengakhiri spekulasi di kalangan umat Hindu terhadap hak hidup aliran asal Amerika yang menyatakan dirinya "bukan agama dan bukan sekte" ini (TEMPO, 21 April). Soalnya, "Pengalaman misi mereka di sana, yang seperti misi Kristen itu mereka cobakan di sini dan itu menimbulkan keresahan." Demikian Gde Pudja, M.A., S.H., Dirjen Bimas Hindu Budha Departemen Agama, Kamis minggu lalu di kantornya. Padahal, Ktut Sukayadnya, pimpinan Yayasan Kesadaran Krishna Indonesia cabang Bali, pernah menyatakan bahwa penjualan buku dari pintu ke pintu sudah dihentikan sejak awal 1983. Malahan I Ktut Sidiana, ketua pusat Yayasan di Jakarta, menaku bahwa pihaknyalah yang mendapat perlakuan tak enak. Dan memang, seperti dituturkan Pudja pernah ayah dan anak berkelahi gara-gara si anak membanggakan aliran barunya yang banyak dipeluk orang kulit putih itu. Kelompok ini, yang berpusat di Culver city, California, AS, dan sekarang dipimpin oleh Sri Srimad Bhavananda Gozvami Visnupada, orang kulit putih, menolak kurban (yadnya) dalam ibadat, misalnya. Dan ini, seperti dikatakan Pudja, bagi orang awam memang blsa membuat resah. Tapi yang membuat baik Parisadha Hindu Dharma maupun Dirjen Bimas Hindu-Budha mengirim surat ke Jaksa Agung, setahun yang lalu, pertama kali adanya penafsiran pihak HK yang "gawat" terhadap satu seloka Bhagavad Gia. Kata sarqadharman, dalam seloka itu, diartikan "semua agama". Jadi, kalimatnya berbunyi: "Tinggalkan semua agama, dan serahkan diri hanya kepadaKu." Padahal, seperti dikatakan Pudja, dharma itu berarti tugas atau kewajiban. Begini jugalah dalam terjemahan Departemen Agama. Dan dengan "tinggalkan semua agama" (dalam terjemahan HK untuk Indonesia, untuk kata "agama" itu kemudian ada pembetulan), mereka lalu sepenuhnya menyembahKrishna - sebagai "Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa". Dan itulah bedanya dengan umat Hindu di Indonesia - yang mayoritasnya menyembah Syiwa sebagai "Sifat Tertinggi Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa)". "Sebenarnya, tak ada masalah kalau mereka hanya menyembah Wisynu saja," kata Puniatmaja, ketua PHD Indonesia. Krishna hanyalah avatar (awatara, "nabi") Tuhan sebagai Pemelihara, yakni Wisynu. Di Bali sendiri, 30% umat Hindu adalah Waisynawa, penyembah Wisynu - bukan Krishna. Juga di India terdapat sekte Wisynu. Tak ada dari mereka yang - seperti HK - mendudukkan Krishna sebagai pengejawantahan utuh Wisynu dan kemudian menaikkannya menjadi Tuhan Yang Maha Esa, sementara yang lain-lain itu "dewa-dewa bawahan". Krishna itu manusia. Itu diakui semuanya, juga HK. Sedangkan baik Brahma, Wisynu, maupun Syiwa bukan manusia. Dan "Krishna yang Tuhan" itu dalam HK dipuja sudah logis - sejak lahirnya, masa kanakkanaknya, dan berubah demikian rupa menjadi ide kecantikan dan kebahagiaan. "Perbedaan mereka itu dari kami barangkali seperti Kristen dengan Islam," kata Puniatmaja. Toh, menurut Pudja, HK itu termasuk Hindu. Karena itu, seperti jelas dari keputusan Jaksa Agung, yang dilarang itu "Semua bentukdan jenis segala macam barang-barang cetakan dan kegiatan-kegiatan lainnya" Hare Krishna. Dalam penafsiran Pudja (yang juga menyatakan bahwa HK meresahkan antara lain karena "sangat antikasta"), yang dilarang itu "kegiatan berbau misi" aliran ini. Dari pihak HK sendiri, terhadap pelarangan itu terdengar reaksi: "Kami menerima keputusan itu" - seperti kata Sidiana, lewat telepon. Malahan, sehari setelah menerima surat keputusan, mereka menemui Pudja untuk menanyakan teknik penyerahan buku-bukunya. Namun, ada yang mengejutkan, seperti dituturkan Sidiana. Para pengikut HK di kalangan transmigran asal Bali, di Sulawesi, setelah pelarangan itu kemudian menjadi korban tindak kekerasan - sampai pada minta perlindungan kepada pihak polisi dan orang-orang Islam. Tak ada korban nyawa syukur. Tapi, "Itu sudah tidak benar. Saya sangat menyesalkan," kata Puniatmaja. Gedung yayasan HK sendiri, di Jakarta, sepi. Tulisan besar merk, yang cukup megah, sudah diturunkan. Bau dupa tercium semerbak, dan di ruang tamu masih banyak dupa yang belum dibakar. Pintu selalu tertutup. "Entah," kata Sidiana akhirnya, "apakah nantinya kami akan masuk Kepercayaan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus