Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Harga satu nyawa dan sepuluh waduk

Peristiwa sampang makin terkuak. petugas sampai perlu masuk musala. apa kata khudori, sang pembangkang. mengapa petugas pengukur dan aparat desa memakai janur kuning? investigasi tim tempo dari sampang.

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETAKUTAN masih mencekam lokasi di sekitar Waduk Nipah. Wartawan TEMPO yang berkunjung ke sana, Selasa pekan lalu, disambut penduduk dengan pandangan mata menyelidik, penuh curiga. Seorang lelaki berkulit hitam, bercelana komprang hitam, dengan sarung dililit di pinggang, buru-buru menyingkir ketika ditanya soal waduk. ''Kalau sampeyan berani, terus saja lewat jalan ini,'' jawabnya singkat. Rupanya, akibat meninggalnya empat orang dalam protes menentang pembangunan Waduk Nipah, Sabtu siang 25 September lalu, masih menebarkan rasa waswas. ''Meskipun petugas dari Kodim Sampang sudah ditarik dari lokasi, masih banyak intel berkeliaran,'' ujar Kiai Haji Ali Jauhari, Wakil Ketua Fraksi PPP Sampang. Dia tampil sebagai juru bicara rakyat yang jadi korban. Kepada wartawan TEMPO, kiai terpandang ini memberi nasihat: ''Jangan coba-coba masuk lokasi waduk pada malam hari. Kalau sampeyan tak ditangkap intel, ya, pasti dilempari dengan batu oleh penduduk.'' Setelah dua minggu berlalu, Waduk Nipah yang biasanya ''mati'' kini ramai dikunjungi orang, bagaikan lokasi turis laiknya. Petugas Detasemen Militer Kodam Brawijaya, Rabu dua pekan lalu, sudah menerjunkan timnya untuk merekonstruksi. LBH Surabaya juga menurunkan tim untuk mengumpulkan keterangan sekitar insiden nahas itu. Kiai Jauhari juga beberapa kali datang ke lokasi dan mengumpulkan fakta dari saksi mata. Berbagai versi cerita tumpahnya darah di Sampang ini pun merebak. Seperti diberitakan TEMPO edisi 9 Oktober lalu, menurut Panglima Kodam Brawijaya Mayor Jenderal Haris Sudarno, sekitar 300 orang warga tiga desa di Kecamatan Banyu Ates, Sampang, mendatangi petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang melakukan pengukuran tanah di lokasi (calon) waduk. Pagi itu, sebelum demonstrasi, petani pemilik tanah dan petani penggarap itu dikumpulkan di sebuah tempat dan diberi ''ceramah'' untuk menentang pembangunan waduk. Maka, demikian perwira tinggi berbintang dua ini, orang ramai tadi bergerak. Mereka berteriak-teriak, ''Hidup Khudori, hidup Khudori. Lebih baik mati kena peluru daripada mati tenggelam.'' Khudori adalah orang yang dianggap menggerakkan massa yang marah tadi. Masih menurut Kodam Brawijaya, ditemukan celurit, pedang, serta bambu runcing di lokasi protes. Kabarnya, benda-benda yang sering ditemukan dalam protes-protes di sini seperti dalam Insiden Dili, Kasus Tanjungpriok, atau Tragedi Lampung kini disimpan di Polres Sampang. Dari jarak 100 meter, kabarnya sebanyak 20 petugas terdiri dari 8 polisi dan 12 tentara melepaskan tembakan peringatan. Tapi massa terus merangsek maju. Maka, sewaktu jarak makin rapat dan celurit mengancam, pilihan cuma melepaskan tembakan. ''Posisi petugas sudah dalam lingkaran ancaman,'' kata seorang perwira senior di Kodam Brawijaya. Lebih lagi, kata sang perwira, penduduk sudah melempari petugas dengan batu. Mereka terus bergerak mendekati petugas. ''Tindakan penduduk itu sudah memenuhi kriteria melawan petugas,'' kata perwira tadi. Menurut Kolonel Soetarto, Komandan Korem Bhaskara Jaya Surabaya yang ikut turun ke Sampang, tak benar petugas menembak demonstran dari dataran tinggi di lokasi waduk, sementara rakyat di dataran rendah. Justru, menurut Soetarto, rakyat yang bergerak maju dan petugas keamanan terdesak mundur sampai bersandar ke dinding tebing di sebelah selatan lokasi waduk. Alhasil, korban pun jatuh. Tiga tewas seketika, satu orang kemudian menyusul, satu orang luka berat karena lambungnya tertembus peluru, dua lainnya luka ringan. Pengamatan TEMPO ketika mengikuti rekonstruksi Tim Kodam Brawijaya, tiga yang tewas ditemukan di utara waduk. Kalau hasil rekonstruksi ini benar, letak mayat itu memang berbeda dengan keterangan Soetarto, yang menyebutkan petugas terdesak di tebing sebelah selatan, lalu menembak. Tapi, hasil rekonstruksi itu memang belum final. Dua mayat, menurut pihak Kodam, diserahkan kepada keluarganya sore itu juga. Satu lagi menyusul karena identitasnya belum lengkap. Toh cerita soal mayat ini ada juga yang datang dari Kiai Ali Jauhari. Ahad 26 September, sehari setelah insiden itu, Kiai Ali didatangi seorang wartawan dari Surabaya yang ingin diantar ke lokasi kejadian. Tiba-tiba seorang santrinya melapor, mayat-mayat itu masih berada di lokasi kejadian. ''Astaghfirullah,'' seru pemimpin Pondok Pesantren Al-Jawahir. Dia bergegas menuju lokasi dan bersama sang wartawan segera menggotong mayat-mayat. ''Saya sendiri yang mengucapkan talqin ketika menguburnya,'' ujar Kiai Ali lagi. Kapan urusan berdarah ini diawali? Jauh sebelum korban jatuh, suasana kabarnya sudah memanas. Pihak Kodam juga menjelaskan, sebelumnya sudah banyak protes ketika pemerintah daerah menjelaskan kegunaan waduk yang akan menenggelamkan tujuh desa di areal seluas 140 ha. Padahal, Pemda sudah menjanjikan ganti rugi dan ganti tanah di lokasi lain. Toh rakyat bertahan. Alasannya, untuk orang Madura, mempertahankan tanah waris itu suatu keharusan dan kehormatan. LBH Surabaya mencatat, konflik sebenarnya mulai tercium ketika Bupati Sampang Kolonel Bagus Hinayana meletakkan batu pertama pembangunan Waduk Nipah, awal Agustus lalu. Rakyat pemilik tanah tak diundang. ''Dapat dilihat di SCTV (televisi swasta di Surabaya), sebagian rakyat pemilik tanah hanya menonton dari jauh acara tersebut. Dan ulama yang berpidato adalah ulama yang tak punya santri di sana,'' demikian laporan LBH. Ironis. Menjelang akhir Agustus, pecah protes ke DPRD Sampang. Ada 32 warga mengaku dipaksa membubuhkan cap jempol untuk pembebasan tanah. Tapi, sejauh ini belum ada konfirmasi soal cap jempol. Sehari setelah protes, Khudori dan tiga rekannya, yang dianggap biang keladi protes, dipanggil ke Koramil Banyu Ates. Kabarnya Khudori hanya menjelaskan, dia tak menentang pembangunan waduk. Hanya saja, dia tak mau kehilangan tanahnya seluas dua hektare yang ditanami cabe, padi darat, dan jagung. Pilihan yang agak sulit dipenuhi. Pihak Pemda dan BPN rupanya jalan terus. LBH melaporkan, pada 8 September lalu pengukuran tanah dilakukan dan dikawal langsung oleh kepala desa setempat. Khudori dikabarkan turun memprotes dengan caranya. Guru mengaji yang punya 40 murid ini bersama beberapa orang berulang-ulang mengucapkan kepada petugas, ''Nyo'on odik, nyo'on odik (ingin hidup, ingin hidup).'' Kalimat itu sebenarnya berkonotasi permintaan yang halus dan mengandung makna penghormatan. Tapi, anehnya, kepala desa justru mengacung-acungkan parangnya. Insiden hampir terjadi kalau saja aparat polisi setempat tak melerai. Hari itu pengukuran tanah dapat dicegah penduduk. Namun, demikian laporan LBH Surabaya, lepas tengah hari giliran Khudori yang dicari. Ada 8 petugas yang ingin ''bersilaturahmi'' dengan guru mengaji ini di musalanya. Tapi dia keburu kabur ke ladang. Petugas tadi langsung masuk musala dan menurunkan pengeras suara. Itu dianggap barang bukti ketika Khudori berpidato mengumpulkan massa. Tapi masuknya petugas ke musala dibantah keras oleh Kolonel Soetarto. ''Itu berita racun,'' tegasnya. Tentang ditemukannya tiga selongsong peluru kaliber 7,6 mm Winchester, Soetarto menjawab agak berkelakar, ''Peluru itu kan bisa saja didapat di tempat kejadian. Tapi bisa juga lo, dibeli di Pasar Turi (Surabaya).'' Alkisah, petugas BPN dan pemerintah setempat tetap mengotot melakukan pengukuran. Sehari sebelum insiden pecah, dengan dikawal petugas keamanan, pengukuran dilakukan lagi. Kali ini nyaris terjadi bentrokan hebat. Selepas salat Jumat, penduduk berbondong-bondong ke lokasi. Mereka memprotes pengukuran di atas tanah milik mereka yang belum tentu mau mereka jual untuk waduk. Dialog sempat terjadi. Hasilnya, lagi-lagi pengukuran ditangguhkan. Toh esoknya petugas turun lagi. Laporan LBH itu menyebutkan, kepala desa setempat dan stafnya mengenakan tanda janur kuning atau ilalang di leher. Bahkan seorang ibu di sana, sehari sebelum kejadian berdarah, jelas mendengar salah seorang calo tanah yang gencar membujuk penduduk untuk melepas tanahnya berkata, ''Laguk labedeh oreng matih apen dengan (besok pasti banyak orang mati seperti (ikan) pindang dalam keranjang.'' Benarkah dipasangnya janur kuning untuk membedakan sasaran tembak petugas keamanan? ''Itu sama sekali tidak logis. ABRI tak akan menembak rakyatnya sendiri. Saya tegaskan sekali lagi, kami tak menduga peristiwanya akan terjadi sekeras ini,'' kata seorang perwira senior Kodam Brawijaya. Toh perwira ini akan memasukkan dugaan-dugaan tadi dalam pemeriksaan timnya. Wartawan TEMPO berhasil menemui Khudori dan tiga rekannya yang di hari-hari pertama pecahnya insiden sempat bersembunyi di bukit-bukit kering Banyu Ates. Awal pekan ini, dengan jaminan keselamatan dari Kiai Haji Alawy Muhammad, pimpinan Pondok Pesantren At-Taroqi Sampang, Khudori dan tiga rekannya turun gunung, dan sudah ditanya-tanya oleh petugas keamanan. Apa betul Khudori, 50 tahun, biang keladi protes Nipah? Kepada TEMPO, ayah enam anak itu mengaku hanya ingin mempertahankan tanahnya yang dua hektare. ''Itu tanah pusaka, saya tak mau menjualnya biar yang lain jual. Kalau saya jual, bagaimana nanti saya akan berziarah ke makam orang tua saya. Tapi saya tak pernah menghasut orang (untuk protes),'' kata orang asli Banyu Ates itu. Bahkan dia heran petugas keamanan selalu mengejarnya sejak dia ikut unjuk rasa ke DPRD Sampang, awal Agustus lalu. Malah, ketika musalanya didatangi dan dia lari, Khudori mengaku ada tembakan petugas yang meletus. ''Saya ndak tahu berapa kali, saya hanya cari selamat, saya lari,'' katanya. Dia hanya tahu bahwa pengeras suara di musala sudah diambil petugas, dan di sana ditemukan selongsong peluru. Tapi dia mengakui, dalam pertemuan dengan Bupati Sampang, dialah yang paling banyak bicara. Mengapa? ''Karena saya yang paling lancar berbahasa Indonesia. Jadi teman-teman mendorong- dorong saya untuk bicara,'' kata Khudori, yang merupakan murid Kiai Alawy Muhammad. Soal tembakan kepada Khudori ini juga dibantah oleh sumber TEMPO di Kodam Brawijaya. Alhasil, Tim Kodam Brawijaya sedang terus melakukan pengusutan. Tapi, suara-suara agar dibentuk komisi penyidik yang melibatkan lebih banyak pihak juga makin nyaring terdengar, mulai dari pondok pesantren sampai kampus. Ini memang bukan soal berapa jiwa yang melayang. Bak kata Kiai Alawy, ''Satu nyawa pun tak bisa ditukar dengan sepuluh waduk.'' Toriq Hadad (Jakarta), Kelik M. Nugroho dan K. Chandra Negara (Sampang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus