SETELAH korban jatuh di Sampang, para pejabat di Jawa Timur tampak sibuk mendekati para kiai atau pimpinan pesantren daerah itu. Tengoklah di gedung Grahadi, Surabaya, Kamis malam pekan lalu. Di sana Gubernur Basofi Sudirman, Pangdam Mayor Jenderal Haris Sudarno, dan para bupati se-Jawa Timur menggelar silaturahmi dengan ulama se-Madura. Inilah agaknya puncak dari serentetan jumpa ulama yang diselenggarakan petinggi Jawa Timur. Dan para kiai yang datang dengan sorban dan jubah, serta kebanyakan cuma memakai sandal, tiba-tiba kini menjadi tamu-tamu VIP. Sejumlah di antara mereka khusus diundang Mayjen Haris Sudarno untuk menyaksikan upacara ulang tahun ABRI, 5 Oktober lalu, di markas Kodam Brawijaya. Lalu mereka diajak mampir ke rumah dinas Pangdam di kawasan Darmo, Surabaya. Beberapa hari sebelumnya Gubernur Basofi Sudirman menjamu 17 kiai tenar dari Badan Silaturahmi Ulama se- Madura, di kantornya. Semua upaya silaturahmi itu tentulah untuk mencari penyelesaian peristiwa Sampang. Soalnya, di balik tragedi itu, selama ini para ulama pesantren sepertinya terlupakan. Sejak pembangunan Waduk Nipah direncanakan, mereka tak pernah diajak berembuk. Padahal, untuk segala urusan di pulau garam, kiai masih jadi panutan rakyat. ''Eratnya hubungan kiai dengan rakyat di Madura tak ada bandingnya,'' ujar Mochammad Noer, bekas gubernur Jawa Timur. Namun, upaya pendekatan yang dicoba para pejabat tadi belum bisa dibilang berhasil. Dari berbagai acara silaturahmi terlihat bahwa para kiai di Madura masih tetap menjaga jarak. Itu bisa terbaca dari jumlah para kiai yang memenuhi undangan para pejabat itu. Gedung Grahadi, misalnya, memang disesaki pengunjung. Tapi kebanyakan hadirin adalah ''orang dalam'' alias aparat Pemda. Kiai? Yang datang, astaga, tak lebih dari sepuluh orang. Masih untung, undangan Gubernur Basofi Sudirman itu dihadiri Kiai Alawy Muhammad, ulama yang sa-ngat berpengaruh di Sampang. Tapi tipisnya jumlah ulama yang hadir tetap saja menimbulkan tanda tanya besar. Lebih parah lagi pertemuan yang diadakan Bupati Kolonel Bagus Hinayana, awal Oktober lalu. Ketika itu, dari sekitar 20 ulama Sampang yang diundang, yang hadir persis hanya seorang, yaitu Kiai Bushiri Nawawi, Rais Syuriah NU Sampang. Undangan yang lain absen dengan berbagai dalih. Walhasil, pertemuan itu cuma didominasi para birokrat Kabupaten Sampang. ''Mungkin mereka tak suka saya. Padahal, mereka terima bantuan untuk madrasah saban tahun,'' keluh Kolonel Hinayana kepada K. Chandra Negara dari TEMPO. ''Bupati itu menyangka semua orang bisa didekati dengan uang,'' ujar seorang kiai. Ternyata ada soal lain yang dilupakan Pak Bupati. Sejumlah sumber TEMPO menyebut bahwa Kolonel Hinayana selama ini enggan bergaul dengan para kiai yang bukan berasal dari kubunya, Golkar. Celakanya, mayoritas kiai besar dan berpengaruh di Sampang belum bernaung di bawah beringin. Mereka adalah tokoh- tokoh PPP. Tak aneh kalau, dalam pemilu, Golkar selalu dikalahkan PPP di sini. Baru dalam pemilu yang lalu tiba-tiba Golkar mengungguli PPP. Protes pun ramai menuduh terjadinya kecurangan dalam penghitungan suara. Sentimen politik terlihat ketika Pangdam mengunjungi Sampang, 6 Oktober yang lalu. Bupati Hinayana mengundang 20 kiai: 10 kiai PPP dan 10 kiai Golkar. ''Biar imbang antara pendukung Golkar dan PPP,'' kata Pak Bupati. Ternyata semua ulama Golkar hadir, sedangkan yang PPP cuma nongol dua orang: Kiai Alawy Muhammad dan Bushiri Nawawi. Itu pun setelah Mayjen Haris Sudarno dan Moch. Noer turun tangan. Akhirnya Hinayana cuma mengeluh. ''Saya sadar, peran ulama di Sampang sangat penting, tapi kami kurang ke bawah,'' katanya. Problem besar muncul saat ia harus membebaskan tanah untuk pembangunan Waduk Nipah. Untuk itu, Bupati harus mendekati rakyat. Hubungannya selama ini, yang renggang dengan para kiai, menimbulkan bencana. Menurut sumber TEMPO di Kodam Brawijaya, suatu kali saat Bupati mendatangi penduduk, mereka serentak kabur. ''Habis, kami memang tak pernah diajak musyawarah, dan baru tahu kasusnya ketika tragedi itu terjadi,'' keluh K.H. Bushiri. Bisa dimengerti kalau Kiai Alawy Muhammad berkata, ''Kiai di tanah Madura ini ibaratnya selender (mesin penghalus jalan Red.). Kalau jalan rusak, selender dipakai. Kalau jalan sudah halus, selender masuk gudang.'' Ampuhnya kerja selender itu memang sudah terbukti. Kiai Alawy dan teman-temannya dengan mudah berhasil memenuhi permintaan Mayjen Haris Sudarno untuk menghadirkan Khudori ke kantor Kodam. Khudori dituduh sebagai penggerak rakyat untuk menentang pembangunan Waduk Nipah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini