Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Zaman berubah, tuntutan berubah

Sejumlah tokoh berbicara tentang berbagai peristiwa berdarah yang terjadi di sini. ada yang setuju semua peristiwa itu diperiksa oleh tim pencari fakta, ada yang menolak dengan alasan mayat yang hilang sudah menjadi tulang

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN waktu tak melapukkan ingatan orang terhadap sejumlah nyawa yang melayang. Setelah meletup insiden Sampang, beberapa insiden berdarah lainnya kembali dibicarakan: Tanjungpriok, Lampung, dan Haur Koneng. Berikut komentar sejumlah tokoh dan pelakunya: H. Mohammad Noer, 75 tahun, mantan Gubernur Jawa Timur, sesepuh masyarakat Madura Saya mendengar berita tentang peristiwa Sampang ketika berada di Shanghai, 27 September lalu. Anak saya menelepon dari Surabaya. Saya prihatin. Saya ini orang Madura. Saya lahir dan dibesarkan di Sampang. Baru tahun 1967 saya meninggalkan Madura ke Surabaya. Saya perlu menekankan ini agar orang tahu bahwa apa yang saya katakan adalah karakter orang Madura. Saya pernah lama menjadi gubernur. Jadi, saya bisa mengatakan bahwa seorang kepala daerah harus tahu sifat dan tabiat rakyatnya. Untuk itu, seorang kepala daerah harus selalu dekat dengan rakyat. Sifat orang Madura menjunjung tinggi keadilan dan kehormatan. Kalau dia diperlakukan tak adil, berontaklah dia. Kalau dia tak dihormati, dia melawan. Orang Madura melakukan carok, dasarnya karena merasa dilanggar kepribadiannya. Carok bukan cuma menyangkut persoalan yang lebih besar. Urusan rumput saja bisa menimbulkan carok. Kita mengetahui bagaimana keringnya Madura. Ketika hujan turun, rumput pun bertumbuhan di galangan. Untuk menandakan itu rumput miliknya, biasanya orang Madura menancapkan bambu di tengah galangan, yang berarti, "Ini milik saya.'' Maka, kalau ada orang lain yang mengambil rumput di situ, carok terjadi. Mengukur tanah tanpa izin pemiliknya, ya beginilah akibatnya. Eratnya ulama dengan rakyat di Madura tak ada tandingannya. Apa pun yang ingin kita kerjakan, apalagi itu menyangkut kepentingan rakyat, jangan lupa ulama. Umara (penguasa) jangan jalan sendiri. Ulama dan umara adalah satu. Di samping karena rasio, kita ajak ulama sebagai orang yang memegang rohani rakyatnya. Ini intinya. Saya tahu, rencana pembangunan Waduk Nipah adalah proyek yang terhormat, yang bertujuan meningkatkan kehidupan rakyat yang serba miskin di Madura. Ulama sudah sepakat bahwa kemiskinan adalah musuh agama. Jelas itu. Pengukuran tanah itu seharusnya bisa diatur tanpa harus menyinggung perasaan rakyat. Pengukuran di lapangan mestinya dilakukan setelah rakyat benar-benar mengerti apa maksud dan tujuan proyek itu. Dalam masyarakat gotong-royong, pengorbanan suatu pihak untuk suatu program pembangunan adalah lumrah. Si pemilik tanah harus menyerahkan tanah beserta harta miliknya. Tapi banyak cara yang bisa ditempuh, agar mereka yang harus berkorban itu tidak merasa dirugikan. Saya sarankan kepada Pemerintah agar rakyat yang tadinya memiliki tanah juga bisa memanfaatkan air waduk, sehingga mereka tetap merasa ikut menikmati haknya. Maaf, jika saya agak emosional. Laksamana Muda Abu Hartono, Ketua Fraksi ABRI di DPR-RI Semua menyesalkan peristiwa Sampang. Pemerintah dan aparat sudah menangani hal ini. Juga DPRD, Polda, Gubernur, dan alim ulama. Mereka, kalau berbondong-bondong ke sana, mungkin malah bikin susah rakyat. Biar saja diselesaikan dulu, setelah selesai reses nanti saya sudah menginstruksikan anggota saya, panggil Menteri Dalam Negeri, Pangab, dan Kapolri. Soal fact finding terhadap peristiwa Sampang, itu kan tak asal saja. Kami perlu mengumpulkan data yang sekarang ini sedang dikerjakan oleh alim ulama dengan Pak Mohammad Noer. Senin (pekan ini) saya berangkatkan delapan orang untuk menemui Pak Noer, alim ulama, Gubernur, Polda, dan masyarakat, sehingga nanti bisa dilakukan cross check. Cara itu lebih efisien. Bukan dengan bikin pengumuman F-ABRI akan mengirim fact finding. Dalam peristiwa Haur Koneng, Mabes ABRI sudah menjelaskannya di Cilangkap. Lalu kami lakukan cross check, ya, memang ada yang tak perlu terjadi. Ini menjadi koreksi. Jadi, dalam masalah seperti itu, tidak perlu ramai-ramai. Yang penting mampukah kita menyelesaikannya dan belajar dari peristiwa itu. Seperti peristiwa Haur Koneng itu, apa perlu, sih, seperangkat pasukan diturunkan di situ? Soal Tanjungpriok? Loh, kok aneh, setelah 9 tahun saya baru diopyak (diramaikan Red.). Waktu itu kenapa tak disampaikan. Apa Anda yakin banyak korban yang hilang. Atau di belakang ini ada gerakan politik? Kita jujur saja. Peristiwa Dili itu, katanya, korbannya 100 orang. Tetapi setelah KPN turun, korbannya hanya 69. KPN kan sudah dua tahun lalu, kenapa justru setelah Fatwa keluar baru teriak-teriak. Saya tak yakin mereka tahu jumlah korban sebenarnya. Kalau mereka tahu, kenapa tak dari dulu-dulu? Letjen Marinir (Pur) Ali Sadikin, 67 tahun, Ketua Kelompok Kerja Petisi 50 Secara jujur, peristiwa Dili ada hikmahnya. Yaitu kesediaan Pemerintah untuk membentuk komisi pencari fakta. Walaupun ini juga disebabkan adanya desakan dari luar negeri. Nah, apa salahnya kita juga menjernihkan soal Tanjungpriok? Misalnya, dibikin jelas jumlah korban sebenarnya itu berapa. Konon, jumlahnya kan ratusan. Sebagai orang beriman, kita juga ingin tahu di mana saudara-saudara kita itu dikuburkan. Agaknya, kemauan politik dari Pemerintah masih setengah- setengah. Contohnya kasus Lampung dan Haur Koneng, yang hingga kini belum jelas. Kita agaknya perlu bercermin pada Malaysia, yang pernah mengalami bentrok dengan kelompok Islamnya sekitar tahun 1985. Setelah peristiwa, jenazah korban diidentifikasi dan diserahkan ke keluarganya. Keinginan kami ini jauh dari maksud menyudutkan Pemerintah. Tapi apa mau dikata, menghadapi rakyat yang lemah kok sepertinya main tembak saja. Seharusnya kan ada pasukan antihuru-hara yang pakai topeng dan gas. Kalaupun bersenjata, militernya tak akan menembak sebelum ada perintah. Di Sampang, kan harus dibuktikan apa betul massa membawa senjata celurit seperti dituduhkan. Dilihat dari peristiwa Lampung, Dili, Haur Koneng, hingga Sampang, tampaknya ABRI masih belum bisa mengambil pelajaran dari pengalaman yang ada. Dalam tim pencari fakta nanti harus jelas juga siapa yang memerintahkan main tembak. Prosesnya bisa dimulai dari perwira di lapangan, hingga yang ada di belakang meja yang memberi perintah. Jangan seperti kemarin, sehabis peristiwa Sampang, muncul tuduhan seolah tentara diserang rakyat. Jadi, semua kesalahan ditimpakan pada rakyat. Orang yang membunuh tentara ramai-ramai diadili dan diberitakan. Padahal, yang menembaki rakyat seperti itu, kok, tak ada kabar berita pertanggungjawabannya? Sepi-sepi saja. Abdurrahman Wahid, 53 tahun, Ketua Umum PB NU Tragedi Sampang terjadi karena pendekatan sepihak dari Pemerintah. Dengan dalih pembangunan, aparat kok sukanya begitu. Kalau ABRI terus begitu, bisa jadi momok bagi rakyat. Nipah kan bukan urusan ABRI. Kan ABRI bisa menolak. Daripada ngukur-ngukur, ukur saja sendiri, hadapi saja sendiri. Jangan mau dijebak seperti itu atas nama disiplin. Kalau sudah begini, ABRI jadi momok terus di mata rakyat. Harus berani membedakan, mana yang esensial dalam pembangunan dan mana yang tidak. Untuk mengamankan pembangunan lapangan golf itu kan sama sekali tidak esensial. Belum lagi kompensasinya yang tidak wajar. Nipah itu proses penanganannya yang salah. ABRI kelihatannya jadi centeng. Peristiwa Priok itu kejadian khusus, berkaitan dengan soal asas tunggal dan ada faktor Amir Biki. Peristiwa itu tak ada urusan dengan agama. Itu lebih karena letupan kesenjangan sosial-ekonomi yang sangat besar. Kalau mereka sampai menuntut begitu itu, ya, terserah Pemerintah. Harus ada kearifan Pemerintah untuk mengoreksi cara-cara lama yang sudah lepas zamannya. Zaman sudah berubah, tuntutannya pun berubah. Apakah tuntutan itu perlu? Jangan bilang ini perlu atau tidak. Ini soal perasaan. Kalau saya, ya, sudahlah, wong sudah lewat. Mari ambil hikmah dan manfaatnya. Kalau dibuka lagi, ya, ramai. Di Tanjungpriok ada kematian dalam jumlah besar yang tidak dilaporkan: Lha, nggolekine piye? (mencarinya gimana). Kalau di Tanjungpriok itu, kita semua kan tahu kalau dikubur di dua tempat dalam pekarangan yang sama, kuburan besar ramai- ramai. Piye, wong wis dadi balung? (bagaimana, sudah jadi tulang), ya sudah mentok. Kalau diperpanjang terus, ya, jadi panjang. Kalau mendoakan, kan ada makamnya itu. Bukannya saya bilang, yang berlalu biarlah berlalu. Kalau dibilang itu hak, ya, memang hak. Silakan saja. Pertimbangan saya, bukankah itu menimbulkan masalah lama yang berkepanjangan. Makanya, ditutup sajalah. Biar sejarahwan yang membuka semua. Tak usah sekarang. Memperuncing hubungan ABRIsipil sekarang ini tak menguntungkan. Kita harus arif menahan diri. Tapi kalau Nipah, saya setuju itu diperiksa secara tuntas. Di situ ada satu hal yang terjadi: Pemerintah melakukan politik pembangunan secara sepihak. Tak berunding secara tuntas. Rakyat maunya harus menerima, padahal itu kan hak milik rakyat. Ini kan sering terjadi di tempat lain, kompensasinya sangat rendah. Anwar Harjono, 70 tahun, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Masalah ini (Peristiwa Tanjungpriok) sangat peka karena menyangkut nyawa beberapa orang. Dari segi kemanusiaan, mereka yang kehilangan salah seorang anggota keluarganya perlu diberi tahu di mana kuburan anggota keluarganya itu, supaya hati mereka menjadi tenang. Sebab, kalau tidak diberi tahu, padahal sudah sekian lama, itu menimbulkan ketidaktenangan. Dan ini, kalau bertumpuk-tumpuk, bisa menyebabkan frustrasi. Frustrasi itu kan sikap negatif yang pasif. Kalau aktif, bisa merupakan protes-protes sosial. Saya salut kepada Pemda Ja-Tim, yang berdasarkan bacaan saya di koran, gubernurnya melakukan pendekatan yang bijaksana untuk kasus Nipah, dengan mengajak serta para ulama. Artinya, ulama ini kan punya peran penting dalam ikut mengatasi masalah- masalah sosial. Tapi kalau pihak ABRI pernah mengatakan tak mau hanya dijadikan alat pemadam kebakaran. Begitu juga ulama, jangan hanya dimanfaatkan untuk bidang tertentu. Ulama kan tempat bertanya masyarakat tentang berbagai soal, mulai soal hukum fikih sampai soal kemasyarakatan secara luas. Jadi, kalau mereka diikutsertakan, jangan semata-mata utuk menyelesaikan masalah, tapi mengikuti proses sejak semula. Untuk pembangunan waduk, misalnya: bagaimana perencanaannya, pelaksanaannya, pemanfaatannya. Kalau pendekatan semacam ini ditempuh untuk yang lain-lain, saya kira tak akan terjadi kekerasan. Kekerasan itu kan sebenarnya ditujukan untuk menghadapi negara luar. Kalau untuk bangsa sendiri, kenapa mesti pakai kekerasan? Kan ada seribu satu jalan tanpa kekerasan, asal ada kemauan bersama. Juga tentang peristiwa lalu, duduk perkaranya harus diperjelas. Orang kan tak tahu, bagaimana sih duduk soal peristiwa Tanjungpriok, Lampung, dan seterusnya. Haur Koneng, misalnya, hasil temuan LBH kan berbeda dengan yang berwenang. Alangkah baiknya kalau fact finding commission ini terdiri dari berbagai kalangan yang independen. Dan pembentukan komisi ini jangan diartikan secara negatif, tapi diharapkan ini akan mempengaruhi kebijaksanaan yang akan ditempuh kemudian. Kami bukan menuntut, tapi minta perhatian kepada DPR agar lebih aktif membentuk tim pencari fakta kasus itu. Kalau Lembaran Putih dulu itu lebih karena kecurigaan yang terlalu mempengaruhi suasana. Kini mudah-mudahan Pemerintah sudah arif dan dewasa. Kalau insiden Dili itu kok dibuka tim pencari fakta? Yang lain kok tidak? Apakah karena di Dili itu dibuka karena tekanan dari luar? Kapan kita hanya dipengaruhi oleh hati nurani sendiri? Mayor CPM (pur.) Oesmany Al Hamidy, 80 tahun, bekas rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah Peristiwa (Tanjungpriok) itu kan sudah lama, nggak perlu diulang-ulang. Tadi, dengan Komandan Kodim Jakarta Utara, saya sudah ada kesepakatan untuk tak mengungkit-ungkit masalah Tanjungpriok. Saya sudah dianggap sebagai penasihat dalam masalah Tanjungpriok. Saya ada di rumah, di Semper, ketika peristiwa (Tanjungpriok) itu terjadi. Saya memang termasuk yang menentang Pancasila sebagai satu-satunya asas. Tapi dalam kasus Tanjungpriok kan saya tak terlibat. Saya memang sejak dulu bilang: negara kita mau dibawa ke mana? Sampai sekarang pun pendirian saya tetap. Nggak ada yang berubah. Hendardi, 36 tahun, Direktur Komunikasi dan Program Khusus LBH Selama ini, sejak peristiwa Tanjungpriok, Aceh, Lampung, Dili, hingga Sampang, permintaan untuk membentuk komisi pencari fakta selalu ada. Dan belakangan, kami lihat bahwa Pemerintah mulai mengakomodasi isu hak asasi manusia. Ada Dewan Kehormatan Militer dan Komisi Penyelidik Nasional untuk peristiwa Dili. Ini memang akibat globalisasi yang tak terelakkan. Tapi, terus- terang, ini tak hanya kemauan politik Pemerintah, juga akibat usaha dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Soal Sampang, tampaknya hingga kini masih ada kebijaksanaan pertanahan Pemerintah yang mengingkari partisipasi rakyat dalam pembangunan. Sulitnya, peran serta rakyat sering dimanipulasi. Seolah-olah sudah ada kesepakatan dengan rakyat, padahal tidak. Misalnya sering kita dengar soal pemalsuan cap jempol. LBH ingin agar Pemerintah mengusut secara tuntas pelaku- pelaku kekerasan bersenjata di Sampang itu, dan hasilnya diumumkan ke publik secara luas. Pelakunya harus diadili. Tapi, lucunya, Pemerintah sering memakai alasan adanya pihak ketiga yang menggerakkan. Bagi saya, ini satu upaya untuk mengelak dari tuntutan rakyat yang sesungguhnya, dan tidak menyelesaikan masalah. Di lain pihak, hal ini juga mencerminkan arogansi dari pihak yang berkuasa. K.H. Alawy Muhammad, 67 tahun, pengasuh pondok pesantren At Taroqi, Sampang Melihat soal ini, saya memang memakai bahasa kiai. Saya minta agar kegiatan proyek dihentikan secara total. Jatuhnya korban nyawa manusia terlalu mahal untuk proyek seperti waduk. Tak bisa nyawa seseorang ditukar, sekalipun dengan sepuluh waduk. Masak, mau beli tanah saja kok pakai tembak-tembakan. Yang utama yang mesti dilakukan aparat keamanan adalah menuntaskan dulu penanganan peristiwa berdarah itu. Ini yang penting, supaya masyarakat yang sudah telanjur luka bisa pulih. Jika tragedi yang telah merenggut nyawa manusia bisa diselesaikan secara tegas, insya Allah, saya menjamin keamanan akan bisa pulih. Setelah itu, silakan proyek itu dilanjutkan. Saya mendukung segala perbuatan yang membawa manfaat dan kemaslahatan umat. Saya jamin penduduk tidak akan berkeras menolak proyek Pemerintah apa pun, asal mereka diberi pengertian yang benar. Sampaikanlah manfaat apa saja yang bisa didapat masyarakat. Setelah mereka mengerti, mereka pun ikhlas terhadap rencana proyek itu. Ahmed K. Soeriawidjaja, Moebanoe Moera, Wahyu Muryadi, dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus