Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Hari Guru Nasional tak lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya. Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa berdiri pada 3 Juli 1922.
Pendirinya salah satu promotor pendidikan di Indonesia di tengah hegemoni sekolah kolonial. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat kala itu genap umurnya 40 tahun, lalu mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.
Gelar kebangsawanan ditanggalkannya dari nama baru. Padahal dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garis keturunan Ki Hajar Dewantara merupakan keluarga dari kerajaan Pakualam. Ayahnya GPH Soerjaningrat, dengan begitu secara langsung merupakan cucu dari Pangeran Paku Alam III.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara latar pendidikan, karena seorang priayi, Ki Hajar Dewantara lulus dari Europeesche Lagere School yang merupakan Sekolah Dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda. Mengutip dari buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II A: Kebudajaan, setelah lulus melanjutkan ke STOVIA namun, gagal lulus karena sakit.
Kala itu, pribumi tidak mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan bangsa Eropa yang berdiam di tanah air. Buku Karya Robert Van Niel yang berjudul Munculnya Elite Modren Indonesia (2009) menyebutkan Belanda menerapkan sistem pendidikan yang bertingkat. Dimana hal ini didasarkan atas status sosial masyarakat Indonesia.
Ki Hajar Dewantara kembali dari pengasingan bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada September 1919. Tiga Serangkai ini diasingkan jauh ke negeri tulip, Ki Hadjar Dewantara sendiri diasingkan karena tulisannya yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda”.
Tulisan yang kritis terhadap rencana pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk kalangan pribumi untuk merayakan satu abad kemerdekaan Belanda pada 15 November 1913. Ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg. Tulisannya ini terbit di surat kabar De Express, 13 Juli 1913.
Selanjutnya: Saat pengasingan ini..
Saat pengasingan ini, Ia aktif dalam organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereening, bahkan sempat menjadi redaktur di majalah Hindia Putera. Juga kerap mengirimkan karangannya untuk koran Oetoesan Hindia yang merupakan media propaganda organisasi politik.
Disaat berstatus orang buangan jauh dari tanah kelahiran, Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu pendidikan hingga meraih Europeesche Akte alias Ijazah pendidikan yang bergengsi.
Pepatah yang diciptakannya dalam bahasa Jawa menggambarkan harapan dan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang menjadi prinsip Taman Siswa. Pepatah terkenal itu berbunyi “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bila diterjemahkan sebagai (bagi yang) di depan harus memberi contoh, (untuk yang) di tengah harus membangkitkan semangat, dan (bagi yang) di belakang harus memberi semangat.
Sebuah jurnal Semangat Taman Siswa dan Perlawanannya terhadap Undang-Undang Sekolah Liar (1994) menyebutkan lahirnya Taman Siswa membuat gusar pemerintah Hindia Belanda.
Bahkan Belanda menerbitkan Wilde Scholen Ordonantie, sebuah undang-undang yang guna membatasi perkembangan pendidikan alternatif Indonesia. Dimana setelah UU ini berlaku, seluruh kegiatan Taman Siswa ditutup dan dibatasi ruang gerak pengajarnya. Namun semangat tak pudar. Guru-guru dan murid di Taman Siswa bersembunyi-sembunyi melanjutkan proses pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara menjadi Menteri Pengajaran Indonesia pertama dari 19 Agustus hingga 14 November 1945. Serta mendapat gelar doktoral kehormatan dari Universitas Gadjah Mada pada 1957. Ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 305 tahun 1959, 28 November di tahun yang sama. Tanggal lahirnya juga ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Hanya beberapa bulan sebelumnya, 26 April 1959, Ki Hajar Dewantara menutup usia pada 69 tahun di Yogyakarta. Bapak pendidikan ini selalu dikenang saat Hari Guru Nasional.
RAHMAT AMIN SIREGAR
Baca juga: Nadiem Makarim Ajak Masyarakat Hidupkan Pemikiran Ki Hajar Dewantara