Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet mendapat sorotan setelah video yang memperlihatkan ia berbincang dengan tamunya. Di atas meja kerjanya tampak opsetan kulit harimau, yang merupakan salah satu satwa dilindungi. Diduga bahwa taplak meja tersebut dibuat dari kulit harimau yang diawetkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sontak itu menjadi viral, terutama di kalangan aktivis lingkungan dan pecinta satwa, termasuk Greenpeace. Mereka turut membagikan ulang foto Bamsoet bersama jajaran pejabat lainnya yang duduk di sebuah meja dengan taplak tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah ramai sorotan mengenai opsetan kulit harimau tersebut, Bamsoet menyampaikan klarifikasinya. Ia mengaku opsetan itu hanya tiruan, bukan asli diambil dari satwa yang dilindungi.
"Santai saja karena tidak seperti yang mereka tuduhkan. Itu tiruan," kata Bamsoet kepada media, Jumat 10 Februari 2023. Bamsoet mengklaim opesetan imitasi itu merupakan buatan anak bangsa. Mulai dari opsetan kepala harimau, macan tutul, singa.
Aturan kepemilikan satwa dilindungi
Disarikan dari ksdae.menlhk.go.id, kepemilikan satwa dilindungi telah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Pada Pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bagi yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut maka bisa dipidana penjara hingga lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.
Sedangkan bagi yang lalai melakukan pelanggaran tersebut dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah.
Namun berbeda dengan hewan pada suatu unit penangkaran. Hal itu telah diatur melalui peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19 Tahun 2015 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar.
Unit penangkaran adalah unit usaha yang hasilnya untuk diperjualbelikan atau untuk dijadikan objek yang dapat menghasilkan keuntungan secara komersial dari hasil pengembangbiakan generasi kedua dan generasi berikutnya. Spesimen hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan berikutnya diperlakukan sebagai spesimen yang tidak dilindungi setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.19 tahun 2005.
Pemegang izin penangkaran berkewajiban melakukan Penandaan Spesimen Hasil Penangkaran, yang dilakukan dengan tanda yang bersifat permanen, baik dalam bentuk tag/cap/transponder/tatoo/label/pemotongan bagian tubuh lainnya. Tujuannya untuk membedakan antara sesama indukan, indukan dengan anakan, anakan dengan anakan lainnya, atau antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen hasil penangkapan dari alam.
Pada pasal 13 menyebutkan bahwa indukan pengembangbiakan satwa liar yang dilindungi yang berasal dari habitat alam dinyatakan sebagai milik Negara dan merupakan titipan Negara. Demikian pula dengan indukan pengembagbiakan satwa liar generasi pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi. Kedua indukan ini tidak dapat diperjualbelikan dan wajib diserahkan kepada Negara.
Oleh sebab itu, barangsiapa yang memiliki, memelihara, menyimpan, mengangkut, memperniagakan, spesimen satwa dilindungi yang dianggap sebagai hasil tangkapan dari habitat alam tanpa dilengkapi izin perolehan dari Menteri dianggap sebagai pelanggaran tindak pidana.
Hal itu sebagaimana diatur pada pasal 40 ayat 2 dan 4 jo. Pasal 21 ayat 2 a dan b pada UU Nomor 5 Tahun 1990. Maka, bagi pemegang izin penangkaran harus aktif dan peduli kepada unit penangkaran yang dikelolanya.
Pilihan Editor: Greenpeace Soroti Opsetan Kulit Harimau di Meja Kerja Bamsoet, Bambang Soesatyo: Santai Saja...
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.