INSIDEN itu terjadi Sabtu pekan lalu. Hari itu, sekitar pukul 10.00 WIT, tujuh orang anggota Tim Verifikasi Indonesia, disertai para rekan mereka dari Papua Nugini, mengunjungi kamp pelintas batas di Blackwater (Air Hitam), Vanimo, PNG. Kamp itu yang ketiga dari lima yang direncanakan dikunjungi. Tujuan kunjungan: melakukan dialog langsung dengan para pelintas batas sebelum dimulai pelaksanaan pemulangan mereka kembali ke wilayah Indonesia. Begitu tiba di Blackwater, yang terletak sekitar 20 km dari Kota Vanimo, tim Indonesia yang dipimpin wakil gubernur Irian Jaya Suglyono disambut demonstrasn Sekitar 900 penghuni kamp membentangkan bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka) berukuran besar. Selain itu muncul juga 22 spanduk dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Semua isinya mengecam Presiden Soeharto dan pemerintah Indonesia, antara lain menuntut campur tangan PBB "dalam mengatur nasib kami bangsa Papua Barat yang mau merdeka". Para demonstran juga merobek-robek gambar Presiden Soeharto. Seorang wanita yang dikenal sebagai Ny. Corry, janda Arnold Ap, bekas kepala Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih yang Maret lalu ditemukan tewas di Teluk Imbi, Jayapura, tampaknya memimpin demonstrasi itu. "Kalian semua pembunuh. Pengkhianat. Penjilat. Kami bunuh kalian sekarang juga," teriak Ny. Corry. Ratusan demonstran di belakangnya menyambut teriakan itu dengan paduan suara "Indonesia penjajah. Bunuh. Bunuh". Sebelum kejadian itu tim Indonesia sebenarnya sudah meminta pada tim PNG agar pertemuan dengan pelintas batas di kamp Blackwater itu dilakukan dengan beberapa tokohnya saja di Kota Vanimo. Alasannya, karena sebelumnya tersiar adanya ancaman dari "Komite Kesejahteraan untuk Para Pengungsi", yang mengatasnamakan 11 kamp yang ada di PNG, guna membunuh salah satu anggota tim Indonesia bila kunjungan ke Blackwater jadi dilaksanakan. Pemerintah PNG kemudian toh menjamin keselamatan tim Indonesia, walau mengundurkan dua hari jadwal kunjungan ke Blackwater itu. Karena itu, tim Indonesia kemudian memutuskan untuk tetap mengunjungi Blackwater. Sugiyono waktu itu langsung memprotes Alan I. Oaisa, dirjen politik Departemen Luar Negeri dan Perdagangan PNG, yang mengetuai tim negaranya, agar penyobekan dihentikan dan bendera OPM tak dikibarkan. "Kami datang untuk menemui para pelintas batas, bukan untuk menemui OPM," kata Sugiyono pada Oaisa. Oaisa kemudian berpidato menyampaikan permintaan Sugiyono, dan massa terdiam sejenak. Tapi kemudian mereka lebih beringas. Mereka malah memberondong para anggota delegasi RI dan PNG dengan batu. "Selama beberapa waktu saya masih tahan. Saya berteriak 'Merdeka, merdeka', tapi suara saya tenggelam oleh teriakan mereka," cerita Sugiyono. Wagub ini kemudian ditarik oleh sekretaris tim Suryanto Sri Wardoyo dan bupati Jayapura Bas Youwe, untuk lari menyingkir menuju mobil yang diparkir sekitar 50 meter dari tempat demonstrasi itu. Petugas keamanan PNG yang berjumlah sekitar 40 orang, bersenjatakan senapan dan gas air mata, ternyata tak bisa membendung serbuan massa, malah ikut lari tercerai-berai. Para anggota tim Indonesia seluruhnya kena lemparan batu. Sugiyono sendiri terkena di kepala, pangkal lengan kanan, dan pundaknya, sehingga darah terus mengucur membasahi setelan safarinya. Celakanya, tatkala ketujuh anggota tim Indonesia mencapai mobil yang sebelumnya mereka naiki, mobil-mobil itu ternyata terkunci pintunya. Lebih celaka lagi, di dekat deretan mobil itu sudah menunggu lima pelintas batas yang bersenjatakan parang. Satu-satunya mobil yang terbuka hanya pikap, yang sopirnya ternyata cukup cekatan dan segera menjalankan mobilnya. Salah seorang anggota delegasi RI, Yakobus Ayomi, camat Ubrup, terkena bacokan parang pada punggung dan kepalanya. Toh semua anggota tim Indonesia bisa menaiki pikap yang lantas melaju. Tiba di Vanimo, para korban langsung dibawa ke rumah sakit. Sugiyono dijahit luka di kepala dan lengannya. Dua anggota tim lain yang terluka agak berat, Ayomi dan Mayor A. Simatupang, juga mendapat perawatan. Hari itu juga para anggota tim Indonesia kembali ke Jayapura. Insiden ini tampaknya akan menunda pemulangan sekitar 9.000 pelintas batas, yang menurut rencana akan dimulai akhir November ini. Di Jakarta, begitu tiba di bandar udara Halim Perdanakusuma dari melayat Ny. Indira Gandhi, Menlu Mochtar Kusumaatmadja segera menegaskan: pemerintah RI telah mengajukan protes keras kepada pemerintah PNG atas terjadinya penganiayaan tersebut. "Dan kepada pemerintah PNG ditegaskan, tim verifikasi hanya akan kembali bila keamanannya benar-benar terjamin," ujar Mochtar. Terjadinya insiden tersebut sebenarnya bisa diduga. Kamp Blackwater dihuni pelintas batas yang kesadaran politiknya kuat, termasuk bekas dosen dan mahasiswa Universitas Cenderawasih serta sejumlah bekas anggota ABRI yang desersi. Kelompok ini merupakan pelintas batas pertama yang menyeberangi perbatasan setelah kegagalan "Gerakan 13 Februari" mereka, yang bermaksud melakukan kekacauan bersenjata di Jayapura. Menurut pengamatan TEMPO, yang mengunjungi kamp ini Mei lalu, kamp Blackwater bisa disebut sebagai pusat kegiatan OPM baru. Dengan bebas mereka bisa mengibarkan bendera OPM dan menyanyikan lagu-lagu OPM. Langkah yang diambil pemerintah PNG sendiri belum jelas. Sabtu lalu penjabat menlu PNG Tony Siaguru menyatakan: mereka yang mengancam atau menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pemerintah di perbatasan akan ditindak sesuai dengan hukum. Penyidikan polisi hingga kini masih berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini