DUA pekan terakhir ini Karawang bak bergoyang. Para pejabat pemda dibuat sibuk. Yang membuat guncang adalah Ali Murtadho, seorang sopir dan montir yang dikenal juga sebagai seorang ustad dan ketua Karang Taruna di kampungnya. Kegegeran itu terjadi setelah Ali Murtadho, 42 tahun, minggu lalu minta perlindungan Fraksi Karya Pembangunan karena merasa keamanannya terancam. Ia mengaku tak berani pulang ke desanya, Sukakerta, Kecamatan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Kepada Marzuki Darusman, Ketua Bidang Polkam FKP, ia melaporkan kasus ganti rugi tanah di Rawagempol Kulon. Laporan itu telah dikirimnya ke Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, DPR, Pertamina, Kotak Pos 5000 di kantor Wakil Presiden dan Kotak Pos 9000, yang katanya disediakan oleh Bakorstanas. "Laporan itu saya tulis, karena saya sering mendengar anjuran di televisi agar masyarakat berani melaporkan ketidakberesan pembangunan," kata Murtadho, yang memajang potret dirinya sedang mencium tangan Wapres Sudharmono di dinding rumahnya. Tanah yang dijadikan jalan Pertamina itu seluas 4,6 hektar, milik 16 kepala keluarga. Para pemilik ini menguasakan pengurusan anti rugi mereka kepada Murtadho, dalam surat tertanggal 20 Februari dan 2 Maret 1989. Mereka minta ganti rugi Rp 25 juta/ha atau sesuai dengan harga pasaran Rp 19 juta/ha. Tapi menurut Kepala Humas Pemda Karawang, Iwan Setiawan, Pertamina menawar Rp 9 juta, dan akhirnya disepakati Rp 15 juta/ha. "Kesepakatan" harga Rp 15 juta itulah yang dipersoalkan Murtadho, yang tetap menuntut harga Rp 19 juta/ha. Yang juga bikin geger adalah laporan Murtadho yang menyebutkan bahwa Sekwilda dan Kepala Badan Pemerintahan "mengutip" uang Rp 1 juta dari para calon kepala desa. Padahal, yang diangkat sebagai kepala desa 173 orang. Dilaporkan pula dua kepala desa di Kecamatan Cilamaya yang kumpul kebo. Sebulan setelah mengeposkan surat, pada 11 Maret mendadak Murtadho dipanggil Camat Cilamaya Atang Abidin dan Kepala Dinas Sospol Surachman W.H. Ia dituding "memfitnah, menghalangi pembangunan nasional, dan itu berarti subversi". Beberapa panggilan berikutnya tidak dipenuhi oleh Murtadho, karena merasa keamanannya terancam. Ia lalu minta perlindungan ke DPR. "Kalau laporannya benar, saya menjamin keselamatannya," kata Nanang Sudjana, anggota FKP yang mengantar Murtadho pulang. Murtadho, katanya, berjanji akan hadir dalam pertemuan yang akan diselenggarakan dengan para pejabat Karawang. Tapi dalam perternan 21 April lalu ternyata Murtadho absen. Kesimpulan Bupati Karawang Sumarno Suradi, "Jadi, dia itu takut pada bayangannya sendiri." Tapi Murtadho mengatakan, ia tidak pernah diundang atau diberi tahu bahwa hari itu ada pertemuan. Hari itu ia pergi ke Kebon Jeruk, Jakarta. Maka, dalam pertemuan sepihak tanpa Murtadho itu disimpulkan: semua laporan Murtadho tidak benar. Malam harinya Nanang Sudjana menemui Murtadho, minta agar ia minta maaf kepada bupati. Murtadho kini bingung. "Kalau masih terancam, saya akan melapor ke Pangab. Saya tidak tahu lagi ke mana harus berlindung. Saya memang tak punya bukti hitam di atas putih, karena saya bukan intel atau wartawan. Tapi bapak-bapak itu kan bisa menyelidiki laporan saya di lapangan?" katanya. Soal bukti inilah yang rupanya menjadi persoalan. Pihak Pemda Karawang menuntut agar Murtadho membuktikan tuduhannya. "Jika tak punya bukti, cukup menyatakan minta maaf," kata Bupati Sumarno Suradi. Malah warganya yang "nakal" itu telah diberi batas waktu: diminta minta maaf sebelum 18 April. Kini Bupati Karawang menunggu permintaan maaf Murtadho secara resmi. Kalau tidak, "kami akan minta aparat hukum memeriksanya." Namun, Murtadho sendiri pada TEMPO bilang, "Saya tidak mungkin minta maaf, karena saya tidak salah." Yang menjadi pertanyaan: benarkah pengadu ke Kotak Pos 5000 harus menyertakan bukti-bukti selengkapnya? Yang jelas, Wapres Sudharmono pernah menegaskan, bahkan surat kaleng pun akan diterima Kotak Pos 5000, untuk diteliti dan diusut kebenarannya.Budiman S. Hartoyo, Sri Pudyastuti, Rustam F. Mandayun , Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini