Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOFA empuk warna krem di ruangan very-very important person (VVIP) Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, itu tak lagi membuat nyaman Valina Singka. Bukan karena rikuh berdampingan dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari PDI Perjuangan, melainkan karena anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini berusaha meredam panik.
Arlojinya sudah menunjukkan pukul 19.50, tapi tamu yang ditunggu belum tampak. Padahal, ruang Flores yang terletak di sebelahnya sudah penuh hadirin-hadirat. Para awak TVRI dan sejumlah stasiun televisi lainnya telah bersiaga menyiarkan langsung acara Dialog Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2004, yang digelar KPU pada Rabu malam pekan lalu itu. Juru rias pun sudah siap mempersolek sang kandidat.
Tamu yang ditunggu tiada lain daripada Amien Rais dan pasangannya, Siswono Yudho Husodo. Pasangan ini akan "bersilat lidah" dengan Megawati-Hasyim Muzadi dalam acara adu konsep itu. Inilah acara penutup masa kampanye pemilihan presiden, yang berakhir Kamis pekan lalu. Tiga pasangan lainnya akan dihadirkan malam berikutnya. Valina sendiri ketua penyelenggara kegiatan itu.
Amien-Siswono akhirnya muncul, lalu bergegas ke juru rias. Lima menit kemudian, acara on! KPU telah menyiapkan empat panelis: Ikrar Nusa Bhakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Aditiawan Chandra, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI); Harkristuti Harkrisnowo, dosen Fakultas Hukum UI; dan Eko Budihardjo, Rektor Universitas Diponegoro. Sebagai moderator adalah Ira Koesno.
Legakah Valina? Tak juga. "Justru itu awal ketegangan," katanya. Betapa tidak: di luar ruangan, ratusan simpatisan kedua pasang kandidat mencoba mendobrak pintu. Aksi dorong antar-massa pendukung dan petugas keamanan hotel, dibantu pasukan pengawal presiden, tak terelakkan. Akibatnya, pegangan pintu ruangan utama itu copot. Polisi terpaksa didatangkan membubarkan massa.
Di dalam ruangan, suasana tak kalah tegang. Beberapa kali Ira Koesno, mantan presenter SCTV itu, menginterupsi para kandidat soal terbatasnya waktu. Dalam acara 90 menit itu, tiap kandidat diberi waktu tiga menit. Setelah itu, tiap panelis diberi kesempatan bertanya 45 detik. Pasangan kandidat mendapat 90 detik untuk menjawab atau menanggapi lawannya. Para panelis melontarkan pertanyaan mengenai hukum, alokasi anggaran pendidikan, investasi asing, lapangan kerja, hingga keamanan Selat Malaka.
Dengan jatah 90 detik, bisa dimaklumi jawaban Mega maupun Amien kerap tidak terfokus. Apalagi Ira lumayan "cerewet" mengingatkan waktu. Ketika Ira meminta mereka saling menanggapi pernyataan, suasana makin tak nyaman. Mega, misalnya, diminta menyetujui pendapat Amien-Siswono soal penonaktifan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh. Karena kesal, Mega malah memprotes, "Ini bukan soal setuju atau tidak setuju. Ini soal pendapat."
Kesal dicecar moderator dan gerah disorot lampu dan kamera, para kandidat baru tersenyum lebar ketika iklan menumpang lewat. Kedua pasang kandidat itu menarik napas lega, menyeka peluh. Sepanjang debat itu, tujuh kali Ira "menginterupsi" Megawati lantaran melebih waktu. Sekali ia mengingatkan Amien: waktunya tinggal 10 sekon.
Amien sendiri kesal ketika Ira meminta dia menyatakan setuju atau tidak setuju atas kesimpulan yang disampaikan Megawati. "Saya tak mau diadu," ujarnya. "Dialog ini bukan debat presiden seperti di Amerika Serikat. Biarlah berjuta-juta rakyat Indonesia yang mengambil kesimpulan."
Bahkan Pengacara Todung Mulya Lubis, yang hadir sebagai tamu, mengaku kesal melihat moderator. "Seharusnya moderator tak memaksa seperti itu," ujarnya, "Biarkan saja mengalir. Kenapa harus memaksa perbedaan pendapat?" Sebaliknya, Ira mengaku tak merasa memaksa kedua pasangan agar bertentangan pendapat. "Saya ini diwanti-wanti KPU agar alur acara tak monoton," kata peraih Panasonic Award itu, "Saya akui, ini memang pekerjaan sulit."
Apa pun jawaban Ira, Amien dan Mega telanjur kecewa. Kedua pasangan calon jauh-jauh hari telah bersiap tampil prima pada adu debat ini. Mega, misalnya, di sela padatnya jadwal kampanye ke daerah dan kesibukan sebagai presiden, masih menyempatkan berdiskusi dengan Hasyim Muzadi maupun tim kampanyenya, khusus untuk debat ini. "Semua mengalir saja karena memang sudah siap," kata Hasto Kristianto, wakil sekretaris tim sukses Mega-Hasyim, kepada Ecep S. Yasa dari Tempo News Room.
Amien dan Siswono juga bersiap untuk tampil paten. Seluruh tim inti kampanye Amien-Siswono dikumpulkan di rumah dinas Amien, Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Selama empat jam, kedua tokoh itu mengelaborasi seluruh materi kampanye, juga isu-isu terakhir dari masalah politik, hukum, investasi, keamanan, hingga budaya.
Eros Djarot, yang dulu dikenal dekat dengan Megawati, urun pikiran tentang bagaimana menghadapi putri Bung Karno itu. Amien diminta tampil cool dan mengekang diri, tak menyerang Mega. "Mbak Mega itu semakin diserang akan semakin melawan," Eros memberi nasihat. Yang terakhir, tentu saja penampilan. Tim kampanye mengusulkan pasangan itu mengenakan pantalon resmi warna hitam, sama persis dengan foto kampanye.
Dibandingkan dengan Amien dan Mega, tiga pasang kandidat lain tampaknya jauh lebih beruntung. Mereka?Wiranto-Salahuddin Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Hamzah Haz-Agum Gumelar?mendapat giliran tampil pada hari berikutnya. Penampilan Amien versus Megawati dijadikan tolok ukur. "Ira Koesno juga perlu diwaspadai karena ia sempat menyerang Pak Amien dan menyebut programnya kuno," kata Bomer Pasaribu, anggota tim sukses Wiranto.
Tim sukses Wiranto juga merekam acara itu. Rekaman ini diputar kembali dalam sebuah pertemuan di rumah Wiranto yang teduh di kawasan Bambu Apus, Cilangkap, Jakarta Timur. "Semua materi yang bakal ditanyakan dielaborasi. Isu-isu diinventarisasi," ungkap Rully Chairul Azwar, anggota tim. Wiranto dan Salahuddin juga berbagi materi. Salahuddin kebagian hak asasi manusia, hukum, dan sosial.
Bahkan gaya bahasa dibahas serius. Jangan lupa, waktu bicara cuma dua menit. "Gaya bahasa dibuat sesederhana mungkin," kata Rully. Olah vokal juga dilatihkan pada Salahuddin, yang kebetulan hari itu sedang serak suaranya. Ia diminta banyak minum air putih dan beristirahat. Setelah materi dan teknis selesai, giliran soal penampilan.
SBY dan Kalla lain lagi. Pertemuan yang digelar beberapa jam sebelum siaran, menurut Rachmat Witoelar, anggota tim sukses SBY-Kalla, cuma bicara soal teknis. "Terutama bagaimana menyiasati waktu dan moderator yang galak," kata Rachmat. Selebihnya urusan penampilan.
Kandidat lain tak kalah siap. Hamzah Haz dan Agum Gumelar mengerahkan tim kampanyenya menyiapkan materi khusus. "Intinya, jangan anggap enteng debat ini," kata Laode M. Kamaluddin, anggota tim materi kampanye Hamzah-Agum, kepada Sapto Pradityo dari Tempo News Room.
Valina pun tak mau acaranya berulang kedodoran. Malam itu juga, bersama koleganya, Hamid Awaluddin, mereka menggelar evaluasi. "Termasuk evaluasi penampilan moderator," kata Valina. "Bagaimanapun, kami menerima puluhan kritik pedas melalui telepon." Panelis juga diminta lebih terfokus bertanya. Hasilnya, debat di hari kedua lebih mulus.
Menyiapkan acara yang menampilkan para kandidat secara berimbang memang butuh kerja keras. Tak hanya publik yang harus dipuaskan, tapi juga kandidat dan tim suksesnya. Rully Chairul Azwar termasuk yang kecewa. Menurut dia, debat itu akan lebih fair jika kelima pasangan dipertemukan sekaligus. "Tidak dibagi dua seperti ini, sehingga upaya masing-masing kandidat menanggapi konsep lawannya tidak tergambar," katanya.
Wakil Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar N. Gumay, berpendapat sama. "Persiapannya terkesan tidak matang," tuturnya. Moderator dinilainya kurang latihan, cenderung menggurui. Tapi Valina menolak jika dikatakan persiapan tak matang. Menurut dia, jauh hari sebelum kampanye, sistem debat ini sudah disosialisasi. Panelis dan moderator pun sudah dipilih jauh sebelumnya.
Materi yang akan ditanyakan didiskusikan dua pekan sebelumnya. Teknis panggung sudah dirancang, termasuk melakukan gladi resik sehari sebelumnya. "Tapi, yang namanya tegang dan demam panggung kan tak bisa diduga," kata Valina. Namun, seindah apa pun tayangan debat kandidat di televisi, menurut pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, acara seperti itu belum memberi informasi memadai bagi pemilih. Betul, namanya juga tontonan?.
Widiarsi Agustina, Purwanto (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo