SEPERTI pesawat yang mengalami kerusakan, lalu tertunda-tunda keberangkatannya. Begitulah Institut Pramugari-Pramugara Bandung (Ipraba). Institut baru ini merencanakan kuliah pertama pada Juli lalu. Tapi baru Senin sore pekan ini, kuliah perdana bisa dilaksanakan. Inilah gagasan seorang bernama Deddy Kelana Noor, 37 tahun, Direktur Utama Ipraba. Ia, yang telah mempunyai Institut Sekretaris Indonesia sejak tiga tahun lalu, yakin bahwa sekolah pramugari termasuk langka dan karena itu bakal laris. Yang pertama mungkin benar. Yang kedua, sejumlah hal harus dihadapi Ipraba sebelum lancar berjalan. Pertama-tama pihak Kopertis Wilayah III, yang antara lain membawahkan Bandung, tak memberikan izin. Bahkan Alek Dasuki Ketua Kopertis, yang ditemui TEMPO menyarankan untuk berhati-hati menyekolahkan anak ke perguruan tinggi swasta. "Kalau mau menyekolahkan anak, tanya dulu pada kami," kata Alek. Dalam hal izin, Deddy Kelana ternyata tak bersikap formalistis. Baginya cukup sudah bila ada izin dari Kanwil Departemen Tenaga Kerja Jawa Barat, dan izin penyelenggaraan pendidikan keterampilan dari Kanwil Departemen P dan K (Bagian Pendidikan Luar Sekolah). Adapun kurikulum Ipraba tampaknya cukup keren. Pada semester pertama semua peserta diberi pengetahuan kepramugarian atau istilahnya stewarding course. Pada semester kedua bisa melanjutkan pilihan ke jurusan airline business course, hotel tourism course, tour travel course dan administration service course. Setiap semester mahasiswa mendapat sertifikat. Yang ingin menjadi pramugari, menurut Deddy, calon harus memiliki beberapa syarat. Antara lain: tidak berkaca mata, tinggi badan di atas 160 cm, berbadan sehat, dan berkepribadian menarik dan cantik. Apa kriteria cantik itu, tak dijelaskan Deddy. Sesuai dengan namanya, institut ini diutamakan mencetak lulusan yang siap pakai untuk jabatan pramugari dan pramugara. Tapi, anehnya, ia tak punya kaitan kerja sama dengan perusahaan penerbangan mana pun. Dalam ekstrakurikulumnya hanya disebutkan ada on the job training dan visiting to the airport. Cukupkah jalan-jalan ke lapangan udara, sementara pramugari di pesawat merupakan salah satu unsur penting apabila pesawat dalam keadaan darurat? (Lihat Belajar di Kosambi, Bekerja di Udara). Sampai di situ, Ipraba mengesankan belum siap benar sebetulnya. Padahal, uang kuliahnya cukup besar, Rp 367.500,00. Kampusnya sendiri juga masih kampus "perjuangan". Semula direncanakan kampus berlokasi di sebuah rumah di Jalan Gurame Bandung. Rumah itu tak memenuhi syarat sebagai tempat belajar. Pada suatu ketika, pohon peneduh jalan di depan rumah itu dibabat. Ipraba pun berurusan dengan Pemda Kodya Bandung, karena tanaman itu milik Pemda. Karena itu, Pemda mengusut izin pembongkaran rumah untuk dijadikan ruang kuliah itu. Ternyata, izin tak ada, maka pembongkaran dan pembangunan dihentikan. "Urusan dengan Pemda kini sudah selesai," kata Deddy Kelana. Bukan selesai kasusnya, maksud dia Ipraba sudah "punya" gedung baru, yakni menumpang di Institut Sekretaris Indonesia di Jalan Lodaya. Okelah, bahwa semua itu terjadi karena sekolah ini masih dalam perjalanan awal. Tapi satu pertanyaan ini sangat penting dijawab: Ke mana lulusan Ipraba akan disalurkan ? Bila harus bersaing dengan Pusdiklat milik perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, mustahil. Bahkan sejumlah perusahaan penerbangan asing menyekolahkan calon pramugarinya di Pusdiklat Garuda tersebut. Bila Ipraba berniat memberikan pendidikan dasar hingga memudahkan mereka yang hendak masuk Pusdiklat Garuda, ini tak ada gunanya. Soalnya, lembaga pendidikan Garuda yang tak memungut uang kuliah itu -- malah memberikan beasiswa -- punya standar sendiri. Siapa pun yang belum pernah jadi pramugari Garuda, mlsalnya saja, masuk ke Pusdiklat di Cengkareng itu, harus belajar dari awal. Lalu, apa maunya Ipraba? Mungkin karena serba tak pasti itulah, mahasiswa Ipraba cuma 20 orang dari 30 lebih yang mendaftarkan bulan Agustus lalu. Jangan-jangan pihak Kopertis III benar, sebenarnya Ipraba belum layak terbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini