PEMERINTAH nampaknya mulai menyadari bahwa pelaksanaan ujian
lewat Consortium Medical Sciences (CMS) selama ini memang agak
menghambat produksi dokter. Dan membuat bertumpuknya calon
dokter di fakultas kedokteran swasta. Satu keadaan yang memang
bertentangan dengan kemauan meningkatkan produksi dokter untuk
mengisi lowongan di puskesmas. Sebab sampai akhir tahun Pelita
II, menurut Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat, 474
puskesmas masih belum punya dokter.
Untuk memperlancar arus lulusan fakultas kedokteran swasta yang
selama ini tersumbat oleh ujian CMS, sejak Januari sampai April
1978 pemerintah menyelenggarakan pula ujian Extenal Examination
(EE). Ujian tersebut boleh diikuti mahasiswa tingkat akhir
setela menjalani masa tugas setahun di daerah Sedangkan bagi
mereka yang tetap menunggu di kota harus mengikuti ujian CMS
model lama.
Jalan pintas yang dibuat pemerintah ini nampaknya memang
mempesona mahasiswa. Habis, daripada mereka harus antri menunggu
giliran ujian yang biasanya sampai bertahun-tahun. Karena tiap
fakultas kedokteran swasta dijatah untuk dapat kesempatan ujian.
Sayangnya jalan baru ini ternyata berduri juga. "Saya sudah
bertugas di daerah. Sudah setahun saya menunggu, tapi kesempatan
ujian toh belum ada juga,"keluh seorang mahasiswa Universitas
Kristen Indonesia.
Duri
Ketika kesempatan dibuka untuk mengikuti ujian EE ini, dari
seluruh Indonesia tercatat 160 orang. Mereka berangkat dengan
penuh harapan bahwa masanya jadi dokter memang sudah dekat.
Mereka tumplek di 9 rumahsakit daerah: Serang, Tasikmalaya,
Cirebon, Madiun, Jember, Purwokerto, Tanjungkarang, Pekanbaru
dan Samarinda.
Setelah setahun membanting tulang di daerah, mereka pun pulang.
Tapi begitu kembali yang dijumpai kekecewaan lagi. Sebab dari
160 orang yang dapat kesempatan diuji hanya 80. Para penguji
yang terdiri dari dosen fakultas kedokteran swasta ditambah
penguji dari CMS, ternyata hanya meluluskan 39 orang. Itu dari
gelombang yang pertama. Ketika gelombang II pulang dari daerah,
mahasiswa dari gelombang pertama masih belum juga diuji. Tumpang
tindih seperti ini nampaknya terjadi karena penerimaan mahasiswa
yang bersedia ke daerah itu tanpa batas, sedangkan tenaga
penguji jumlahnya terbatas.
Kekurangan Pengajar
Mengamati kemandegan itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara, dr Soewarno mengemukakan gagasan untuk cukup
praktek 3 bulan di daerah. Meningat berdiam di daerah mahasiswa
tadi toh mengeluarkan ongkos yang besar, ada baiknya mereka
menjalani masa kepaniteraan di rumahsakit kota saja. "Dengar
gagasan ini mereka tak perlu diuji lagi. Ini menguntungkan
kepentingan untuk memperbanyak jumlah dokter baru yang memang
amat dibutuhkan sekarang," katanya mengulas.
Pikiran dr Soewarno yang juga duduk sebagai Ketua Majelis
Pimpinan Fakultas Kedokteran Swasta, tentu saja menguntungkan
mahasiswa. Namun mutu, sebagai faktor yang harus dijaga dengan
begini mungkin akan jadi cair. "Kita tidak begitu saja bisa
meluluskan mereka setiap kali mereka sudah lulus sebagai dokter
lokal," kata Prof Dr Asri Rasad sekretaris 4 EE FK Universitas
Indonesia.
Tapi memang, bertumpuknya dokter lokal di berbagai universitas
swasta bukan saja soal ujian negara yang dianggap sulit.
Kebijaksanaan universitas swasta terhadap fakultas kedokterannya
memang mirip-mirip pedagang yang haus keuntungan: Terima
mahasiswa sebanyak-banyaknya. Pada permulaan masa kuliah memang
tampak lancar, tapi begitu sampai pada tingkat co-schap
(kepaniteraan) mulailah runyam. Mahasiswa pun mulai menjerit
karena besarnya ongkos yang harus mereka pikul untuk tugas yang
seharusnya dijinjing fakultas. Belum lagi soal fakultas
kedokteran swasta yang tidak punya teaching hospital, seperti
Trisakti. Para mahasiswa harus mondar-mandir ke rumah-sakit yang
jadi tumpangan, antara lain RS Angkatan Laut di Bendungan Hilir,
Jakarta.
Dalam tahun-tahun mendatang mungkin banjir mahasiswa ke fakultas
kedokteran swasta itu akan tertahan. Sebab MPFKS sedang
mempersiapkan kurikulum dasar fakultas kedokteran. Termasuk di
dalamnya mengenai jumlah mahasiswa baru yang bisa diterima.
"Hasil kerja majelis nantinya akan diserahkan kepada
pemerintah," cerita dr Soewarno beberapa saat setelah melantik
11 orang dokter lulusan FK Tarumanegara, 7 Oktober lalu. 9 di
antara mereka lulus ujian EE 4, 2 orang lagi lulus CMS.
Sekalipun jumlah mahasiswa kedokteran di fakultas kedokteran
swasta bisa ditekan dengan pembatasan mahasiswa baru, tapi itu
belum berarti peningkatan mutu, sebagaimana yang diharapkan
tumbuh dengan adanya ujian CMS. Soalnya fakultas kedokteran
swasta kekurangan tenaga pengajar. Kalau dulu mereka bisa
mengandalkan tenaga pengajar seperti dari Universitas Indonesia,
sekarang hal itu tak boleh terjadi lagi. Ini mulai berlaku sejak
Mahar Mardjono, kini Rektor UI, duduk sebagai dekan FKUI.
Masa penantian bagi para mahasiswa kedokteran swasta nampaknya
masih akan berkepanjangan, apalagi setelah melihat kurang
lancarnya pelaksanaan EE 4 pada tahun-tahun pertama. Dan
kekecewaan mahasiswa bisa jadi menghangat, mengingat upaya
pemerintah untuk menampung dokter-dokter lulusan Jerman Barat.
Kedatangan dokter Jerman ini sebenarnya merupakan pilihan
pemerintah Jerman, yang tak ingin dokter-dokter asing bekerja di
sana. Karena bagaimana pun Jerman harus membuka kesempatan kerja
bagi warganegaranya sendiri lebih dulu.
Iri hati, mahasiswa kedokteran swasta itu, barangkali tidak.
Tapi soalnya mengapa pemerintah hanya membuat penyelesaian
sepihak. "Kok pemerintah lebih memperhatikan tamatan Jerman,
sedang kita produk dalam negeri kurang diperhatikan," cetus
Maya, seorang mahasiswa kedokteran yang sudah menghabiskan 9
tahun kuliah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini