Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Jalan Baru Masih Berduri

Pemerintah mengadakan ujian external examination bagi calon dokter fakultas kedokteran swasta, setelah bertugas 1 tahun di daerah. Terbatasnya tenaga penguji, menyebabkan kesempatan ini tersendat.

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH nampaknya mulai menyadari bahwa pelaksanaan ujian lewat Consortium Medical Sciences (CMS) selama ini memang agak menghambat produksi dokter. Dan membuat bertumpuknya calon dokter di fakultas kedokteran swasta. Satu keadaan yang memang bertentangan dengan kemauan meningkatkan produksi dokter untuk mengisi lowongan di puskesmas. Sebab sampai akhir tahun Pelita II, menurut Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat, 474 puskesmas masih belum punya dokter. Untuk memperlancar arus lulusan fakultas kedokteran swasta yang selama ini tersumbat oleh ujian CMS, sejak Januari sampai April 1978 pemerintah menyelenggarakan pula ujian Extenal Examination (EE). Ujian tersebut boleh diikuti mahasiswa tingkat akhir setela menjalani masa tugas setahun di daerah Sedangkan bagi mereka yang tetap menunggu di kota harus mengikuti ujian CMS model lama. Jalan pintas yang dibuat pemerintah ini nampaknya memang mempesona mahasiswa. Habis, daripada mereka harus antri menunggu giliran ujian yang biasanya sampai bertahun-tahun. Karena tiap fakultas kedokteran swasta dijatah untuk dapat kesempatan ujian. Sayangnya jalan baru ini ternyata berduri juga. "Saya sudah bertugas di daerah. Sudah setahun saya menunggu, tapi kesempatan ujian toh belum ada juga,"keluh seorang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia. Duri Ketika kesempatan dibuka untuk mengikuti ujian EE ini, dari seluruh Indonesia tercatat 160 orang. Mereka berangkat dengan penuh harapan bahwa masanya jadi dokter memang sudah dekat. Mereka tumplek di 9 rumahsakit daerah: Serang, Tasikmalaya, Cirebon, Madiun, Jember, Purwokerto, Tanjungkarang, Pekanbaru dan Samarinda. Setelah setahun membanting tulang di daerah, mereka pun pulang. Tapi begitu kembali yang dijumpai kekecewaan lagi. Sebab dari 160 orang yang dapat kesempatan diuji hanya 80. Para penguji yang terdiri dari dosen fakultas kedokteran swasta ditambah penguji dari CMS, ternyata hanya meluluskan 39 orang. Itu dari gelombang yang pertama. Ketika gelombang II pulang dari daerah, mahasiswa dari gelombang pertama masih belum juga diuji. Tumpang tindih seperti ini nampaknya terjadi karena penerimaan mahasiswa yang bersedia ke daerah itu tanpa batas, sedangkan tenaga penguji jumlahnya terbatas. Kekurangan Pengajar Mengamati kemandegan itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, dr Soewarno mengemukakan gagasan untuk cukup praktek 3 bulan di daerah. Meningat berdiam di daerah mahasiswa tadi toh mengeluarkan ongkos yang besar, ada baiknya mereka menjalani masa kepaniteraan di rumahsakit kota saja. "Dengar gagasan ini mereka tak perlu diuji lagi. Ini menguntungkan kepentingan untuk memperbanyak jumlah dokter baru yang memang amat dibutuhkan sekarang," katanya mengulas. Pikiran dr Soewarno yang juga duduk sebagai Ketua Majelis Pimpinan Fakultas Kedokteran Swasta, tentu saja menguntungkan mahasiswa. Namun mutu, sebagai faktor yang harus dijaga dengan begini mungkin akan jadi cair. "Kita tidak begitu saja bisa meluluskan mereka setiap kali mereka sudah lulus sebagai dokter lokal," kata Prof Dr Asri Rasad sekretaris 4 EE FK Universitas Indonesia. Tapi memang, bertumpuknya dokter lokal di berbagai universitas swasta bukan saja soal ujian negara yang dianggap sulit. Kebijaksanaan universitas swasta terhadap fakultas kedokterannya memang mirip-mirip pedagang yang haus keuntungan: Terima mahasiswa sebanyak-banyaknya. Pada permulaan masa kuliah memang tampak lancar, tapi begitu sampai pada tingkat co-schap (kepaniteraan) mulailah runyam. Mahasiswa pun mulai menjerit karena besarnya ongkos yang harus mereka pikul untuk tugas yang seharusnya dijinjing fakultas. Belum lagi soal fakultas kedokteran swasta yang tidak punya teaching hospital, seperti Trisakti. Para mahasiswa harus mondar-mandir ke rumah-sakit yang jadi tumpangan, antara lain RS Angkatan Laut di Bendungan Hilir, Jakarta. Dalam tahun-tahun mendatang mungkin banjir mahasiswa ke fakultas kedokteran swasta itu akan tertahan. Sebab MPFKS sedang mempersiapkan kurikulum dasar fakultas kedokteran. Termasuk di dalamnya mengenai jumlah mahasiswa baru yang bisa diterima. "Hasil kerja majelis nantinya akan diserahkan kepada pemerintah," cerita dr Soewarno beberapa saat setelah melantik 11 orang dokter lulusan FK Tarumanegara, 7 Oktober lalu. 9 di antara mereka lulus ujian EE 4, 2 orang lagi lulus CMS. Sekalipun jumlah mahasiswa kedokteran di fakultas kedokteran swasta bisa ditekan dengan pembatasan mahasiswa baru, tapi itu belum berarti peningkatan mutu, sebagaimana yang diharapkan tumbuh dengan adanya ujian CMS. Soalnya fakultas kedokteran swasta kekurangan tenaga pengajar. Kalau dulu mereka bisa mengandalkan tenaga pengajar seperti dari Universitas Indonesia, sekarang hal itu tak boleh terjadi lagi. Ini mulai berlaku sejak Mahar Mardjono, kini Rektor UI, duduk sebagai dekan FKUI. Masa penantian bagi para mahasiswa kedokteran swasta nampaknya masih akan berkepanjangan, apalagi setelah melihat kurang lancarnya pelaksanaan EE 4 pada tahun-tahun pertama. Dan kekecewaan mahasiswa bisa jadi menghangat, mengingat upaya pemerintah untuk menampung dokter-dokter lulusan Jerman Barat. Kedatangan dokter Jerman ini sebenarnya merupakan pilihan pemerintah Jerman, yang tak ingin dokter-dokter asing bekerja di sana. Karena bagaimana pun Jerman harus membuka kesempatan kerja bagi warganegaranya sendiri lebih dulu. Iri hati, mahasiswa kedokteran swasta itu, barangkali tidak. Tapi soalnya mengapa pemerintah hanya membuat penyelesaian sepihak. "Kok pemerintah lebih memperhatikan tamatan Jerman, sedang kita produk dalam negeri kurang diperhatikan," cetus Maya, seorang mahasiswa kedokteran yang sudah menghabiskan 9 tahun kuliah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus