Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sidang gugatan perwakilan kelompok atau class action keluarga korban gagal ginjal akut terus berlanjut.
Keluarga korban menuntut transparansi dan tanggung jawab para tergugat mengenai peredaran obat sirop yang mengakibatkan anak mereka meninggal dan sakit.
Dalam mediasi yang digelar pada 19 Juli lalu, tercapai kesepakatan damai dengan enam produsen obat sirop.
JAKARTA – Sidang gugatan perwakilan kelompok atau class action keluarga korban gagal ginjal akut menyisakan empat dari sepuluh tergugat. Sidang terhadap empat tergugat yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akan dilanjutkan pada Selasa, 8 Agustus 2023, dengan agenda mendengarkan jawaban para tergugat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siti Habiba, anggota tim advokasi keluarga korban gagal ginjal akut pada anak, menjelaskan bahwa mediasi berlangsung delapan kali sejak Maret lalu. Mediasi terhadap enam penggugat dinyatakan selesai dan disepakati adanya perdamaian. Mediasi gagal mencapai kesepakatan terhadap empat penggugat. "Dua pekan lagi, sidang dilanjutkan dengan agenda jawaban tergugat," ujar Habiba saat dihubungi pada Ahad, 30 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang ini bermula dari gugatan yang diajukan 25 keluarga dari ratusan keluarga korban gagal ginjal akut pada anak pada 17 Januari lalu. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga awal Februari lalu, 326 anak terserang gagal ginjal akut setelah mengkonsumsi obat sirop yang disebut mengandung etiliena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) di atas batas aman. Sebanyak 204 di antaranya korban meninggal.
Tersangka dihadirkan dalam konferensi pers kasus obat batuk sirop yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak di Rupbasan Kelas I Jakarta Utara, 30 Januari 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Sebanyak 25 keluarga yang terbagi dalam tiga kelompok itu menggugat produsen obat, distributor bahan baku, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Keuangan. Mereka menuntut transparansi serta tanggung jawab para tergugat mengenai peredaran obat sirop yang mengakibatkan anak-anak mereka meninggal dan sakit.
Majelis hakim PN Jakarta Pusat, pada 21 Maret lalu, menyatakan menerima gugatan perwakilan kelompok keluarga korban gagal ginjal akut pada anak. Hakim menyatakan gugatan tersebut memenuhi syarat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok. Hakim memerintahkan perwakilan kelompok atau kuasanya memberitahukan atau notifikasi kepada anggota kelompok lainnya perihal penerimaan gugatan tersebut.
Siti Habiba menuturkan, dalam mediasi yang digelar pada 19 Juli lalu, tercapai kesepakatan damai dengan enam produsen obat dan distributor bahan baku. Walhasil, sidang tidak dilanjutkan. Keenam perusahaan produsen dan distributor bahan baku obat tersebut keluar dari daftar tergugat.
Menurut Habiba, kesepakatan yang disetujui itu antara lain adanya pemberian kompensasi kepada para korban. Ada juga perjanjian lainnya. Namun Habiba enggan menyebutkannya karena dianggap masuk ranah privat. "Intinya, ada nominal yang ditawarkan dan hal lain yang disepakati," ujarnya.
Baca: Penanganan Gagal Ginjal
Adapun empat tergugat, yakni Kementerian Kesehatan, BPOM, serta dua produsen dan pemasok bahan baku, akan dilanjutkan dengan sidang pada Agustus mendatang. Habiba menuturkan ada tiga poin dalam gugatan class action dari 25 keluarga tersebut. Tiga gugatan yang diajukan tersebut adalah penetapan kejadian luar biasa (KLB) atas peristiwa ini, perbaikan tata kelola tentang cara pembuatan obat yang baik (CPOB), serta kompensasi atas kerugian yang dialami korban. Ganti rugi yang dituntut sebesar Rp 3 miliar untuk anak yang meninggal dan Rp 2 miliar bagi anak yang dirawat.
Tidak Ada Pengawasan
Nedy Amar Dianto, 29 tahun, kecewa terhadap sikap pemerintah. Nedy adalah salah satu korban yang anaknya meninggal akibat gagal ginjal akut setelah mengkonsumsi obat sirop. Nedy menyayangkan sikap pemerintah yang sampai hari ini belum meminta maaf serta mengakui kesalahan dan kekeliruan dalam sistem pengawasan beredarnya obat-obatan.
"Apa, sih, susahnya minta maaf dengan menyatakan keliru tidak memonitornya secara sempurna obat-obatan?" ujarnya. Nedy mengatakan kejadian ini bukanlah keteledoran di pihak orang tua, melainkan pada pengawasan yang dilakukan pemerintah atas obat-obatan yang beredar.
Keluarga korban gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) dalam sidang gugatan perwakilan kelompok atau class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 17 Januari 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Desi Permatasari, 32 tahun, yang juga salah satu orang tua korban, berharap pemerintah berperan mendampingi korban, khususnya bagi mereka yang anaknya dirawat atau menjalani rawat jalan.
Desi menuturkan dia harus rutin mengantarkan anaknya berobat ke rumah sakit akibat mengkonsumsi obat sirop dengan kandungan EG dan DEG di atas batas aman. Saat ini anaknya yang baru berusia 5 tahun itu hanya bisa berbaring di kasur dan menangis tanpa suara jika menahan rasa sakit.
Respons Tergugat
Menanggapi sidang gugatan class action yang tengah berlangsung itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah akan mengikuti proses hukum. "Proses hukum tetap kami ikuti," ujarnya. Adapun ihwal permintaan penetapan kasus tersebut sebagai KLB, kata dia, hal tersebut tidak bisa dilakukan karena bukan kategori penyakit menular.
Tempo telah menghubungi Kepala BPOM Penny Lukito serta tim humasnya. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada respons atas sejumlah pertanyaan yang diajukan Tempo.
Dihubungi dalam kesempatan terpisah, kuasa hukum PT Afi Farma Pharamaceutical Industry, Reza Wendra Prayoga, mengatakan kliennya akan mengikuti proses hukum yang sedang berjalan. "Kami menghormati proses hukum saat ini," ujarnya. PT Afi Farma merupakan salah satu produsen obat sirop yang termasuk empat tergugat dalam sidang gugatan class action.
Dalam siaran pers pada November tahun lalu, BPOM telah mencabut sertifikat CPOB PT Afi Farma. Pencabutan itu sehubungan dengan temuan BPOM perihal penggunaan bahan baku pelarut propilena glikol dan produk jadi yang mengandung cemaran EG, yang diduga melebihi ambang batas aman. Reza menegaskan bahwa PT Afi Farma telah memenuhi prosedur yang berlaku. Menurut dia, hal tersebut bisa dibuktikan dengan dikeluarkannya izin edar oleh BPOM.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo