Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWI Kanti tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat mendengar kabar ini: Undang-Undang Administrasi Kependudukan sudah direvisi sekitar sebulan lalu. Tokoh penganut kepercayaan Sunda Wiwitan ini merasa ditilap. "Kapan dibahasnya? Tidak ada sosialisasi," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "DPR dan pemerintah diam-diam membahasnya, tak melibatkan masyarakat," dia menambahkan.
Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sjarifuddin, tak kalah sengitnya. Dia mempersoalkan perubahan diam-diam aturan undang-undang tersebut yang amat krusial bagi penganut aliran kepercayaan. "Saya kesulitan mengakses proses revisi itu di Senayan," ujarnya.
Para aktivis antidiskriminasi keyakinan—termasuk Dewi dan Nia—mempersoalkan revisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang muncul tiba-tiba. Mereka tak pernah dilibatkan dalam pembahasan yang berlangsung selama lima bulan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan perubahannya dalam Sidang Paripurna DPR pada 26 November lalu. Tiga puluh hari setelah itu, undang-undang hasil revisi mulai berlaku.
Revisi ini dianggap pijakan penting untuk mengubah kondisi lantaran isi undang-undang tersebut selama ini dipandang diskriminatif oleh pemeluk aliran kepercayaan. Sejauh ini tak ada rujukan pasti mengenai jumlah penganut aliran kepercayaan—karena sebagian besar penganut terpaksa mencantumkan salah satu agama resmi di kolom agama pada kartu tanda penduduk mereka. Padahal, "Bisa sampai ratusan aliran kepercayaan di Indonesia," ucap Abdon, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Indonesia, kepada Tempo.
Nah, para penganut menginginkan keyakinan mereka diakui dan dilindungi negara. Antara lain, melalui pencantuman kolom agama di KTP dan syarat pernikahan pemeluk kepercayaan. Sudah puluhan tahun mereka menanti janji pemerintah memposisikan penghayat kepercayaan sejajar dengan penganut agama-agama resmi di Indonesia. Namun janji ini tak kunjung dipenuhi. "Tanpa mengakui hak-hak penghayat kepercayaan, undang-undang ini melanggengkan diskriminasi," Nia menegaskan.
Revisi memang dilakukan dan diputuskan menjelang akhir November lalu. Tapi perubahannya dipandang tak menyentuh kepentingan para pemeluk aliran kepercayaan. Walhasil, Dewi, Nia, dan kawan-kawannya kecewa. Yang diubah hanya ketentuan seputar pembuatan KTP untuk mempermudah masyarakat mencoblos pada saat Pemilihan Umum 2014.
Kepemilikan KTP adalah syarat menÂcoblos bagi pemilih yang belum masuk daftar pemilih tetap. Pengurusan dokumen kependudukan pun digratiskan. Pendek kata, pemerintah sigap menjemput bola dalam pengurusannya. "Ini terobosan baru," ujar Ketua Panitia Kerja Perubahan UU Administrasi Kependudukan Arief Wibowo kepada Tempo di ruang kerjanya, Selasa pekan lalu.
Menurut anggota Komisi Pemerintahan dari Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juhaini, revisi undang-undang dilakukan untuk memperbaiki pelayanan publik, bukan menyoal keyakinan. Maka tak ada masukan dari masyarakat yang berkaitan dengan isu diskriminasi berkeyakinan. "Kalau masalah agama dan keyakinan, itu urusan Kementerian Agama dan presiden," katanya.
SUDAH lama kaum penghayat mengupayakan revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Bahkan Dewi aktif melobi pemerintah dan DPR sejak 1997. Tujuannya agar pemerintah segera mengakhiri kondisi diskriminatif terhadap penganut kepercayaan. Agama resmi yang diakui pemerintah selama ini ada enam: Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu, dan Protestan.
Salah satu tuntutan para penganut aliran kepercayaan adalah ada pencantuman kolom kepercayaan, selain agama, di KTP dan pengesahan pernikahan berdasarkan hukum adat. Legalitas pernikahan dengan hukum adat membuat mereka berhak atas akta nikah dan pencantuman nama orang tua secara lengkap pada akta lahir. "Supaya anak penghayat (aliran kepercayaan) tak digolongkan hasil pernikahan liar," ucap Dewi.
Belakangan, muncul keinginan menghilangkan kolom agama di KTP. Dewi mengatakan pernah tiga kali berganti KTP gara-gara urusan identitas keyakinan. Pada KTP pertama, perempuan 37 tahun ini bercerita, dicantumkan beragama Islam. Dewi memprotes karena tak sesuai dengan kenyataan. Data KTP lalu diganti menjadi tanda minus (-) di kolom agama. "Saya tetap tak mau menerima." Terakhir kolom agama diisi dengan "aliran".
Permasalahan tak akan selesai hanya dengan mengosongkan kolom agama bagi pemeluk kepercayaan—seperti yang disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Jika persoalannya hanya pencantuman, menurut Dewi, mengapa diskriminasi masih berlanjut walau banyak penganut kepercayaan mencantumkan agama di KTP. "Apa yang ada dalam pemikiran pemerintah mengenai kami?" ujarnya.
Dewi menyatakan mengalami kejadian pahit ketika mulai berumah tangga. Pada usia pernikahannya yang sudah 11 tahun, cicit Pangeran Madrais, pendiri Sunda Wiwitan, ini tak memiliki akta nikah. Petugas catatan sipil beralasan pernikahan Dewi tak sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Aturan ini mengharuskan pasangan penganut aliran kepercayaan menjadi anggota organisasi aliran kepercayaan yang diakui pemerintah.
Seorang siswi kelas II sekolah menengah pertama di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, juga mengaku tertekan karena aliran kepercayaan yang ia peluk. Wiwin—begitu dia minta disapa—menolak peraturan sekolah yang mengharuskan dia berbusana muslimah karena ia penganut Sunda Wiwitan.
Sudah kebal dengan ejekan teman-temannya, Wiwin pernah mengalami tekanan hebat sebelumnya. Kepada ibunya, ia mengancam akan menurunkan paksa lambang Garuda Pancasila di kelas kalau terus dipaksa berpindah keyakinan. "Apa artinya Bhinneka Tunggal Ika kalau saya dipaksa terus?" ujar pelajar 14 tahun ini.
Arief Wibowo, yang juga Wakil Ketua Komisi Pemerintahan di DPR, mengakui fraksinya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, keok dalam mengupayakan penghapusan diskriminasi terhadap kaum penghayat. Delapan fraksi lain tak menyokong usulan menghapus pasal-pasal yang mereka kemukakan. "Makanya, dalam pengesahan, kami mengajukan nota keberatan." Arief mengakui baru menyadari bahwa ternyata publik lebih menyoroti isu kepentingan penghayat kepercayaan ketimbang soal mempermudah pengurusan KTP.
PDI Perjuangan menempuh pola serupa pada 2006 ketika undang-undang itu disahkan. Kala itu, pada awal pembahasan, fraksi partai banteng keberatan terhadap pasal-pasal yang mereka pandang diskriminatif, termasuk mengusulkan kolom agama/kepercayaan dalam KTP. Tapi akhirnya Fraksi PDIP mengikuti suara mayoritas fraksi.
Kini para penghayat kepercayaan berencana mengajukan uji materi undang-undang hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi. "Jaringan kami sedang membahas judicial review ke Mahkamah Konstitusi," ucap Dewi. Apa kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi? "Di luar enam agama itu, kosongkan saja kolomnya," ujarnya. Toh, ia melanjutkan, sudah puluhan tahun penganut kepercayaan mencantumkan salah satu agama resmi dalam KTP.
Maria Rita, Sundari, Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo