Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Chico Hakim, mengatakan bahwa partainya meyakini kedaulatan rakyat dalam pemilihan langsung merupakan bentuk maksimal partisipasi publik. PDIP percaya bahwa metode pemilihan langsung dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah atau pilkada, merupakan bagian dari perjuangan mahasiswa hingga aktivis untuk reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hari ini kami tentu bersikap untuk tetap mempertahankan sistem yang sudah ada,” kata Chico melalui pesan suara kepada Tempo pada Rabu, 18 Desember 2024. “Yang perlu diperbaiki adalah mental, moral dan etika para politikus.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PDIP, kata Chico, masih menunggu pembahasan lebih lanjut mengenai wacana pilkada lewat DPRD yang dilemparkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun PDIP sepakat jika perubahan sistem pilkada kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan langkah mundur demokrasi.
“Harapan kami tentu masyarakat sipil tetap lantang menyuarakan pendapatnya. Dan kami meyakini presiden yang berjanji akan menjunjung nilai-nilai demokrasi tentunya akan mendengar suara dari masyarakat,” kata Chico.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan usulan Presiden Prabowo Subianto tersebut berasal dari aspirasi yang kuat di masyarakat. Politikus Partai Amanat Nasional ini mengaku mendapat informasi bahwa ongkos pilkada kabupaten-kota mencapai puluhan miliar rupiah dan pilkada provinsi di atas Rp 1 triliun.
“Jelas ini tidak sehat dan merusak sistem politik dan demokrasi kita. Harus ada evaluasi menyeluruh. Namun evaluasi ini harus terarah, termasuk akar dari politik biaya tinggi,” kata mantan Wali Kota Bogor ini, Senin kemarin.
Ia mengatakan Kementerian Dalam Negeri akan membuka ruang publik untuk membahas berbagai opsi sistem pilkada, termasuk pemilihan lewat DPRD. Bima mengatakan pemerintahan Prabowo juga terbuka dengan konsep pilkada asimetris, yaitu pilkada langsung hanya diberlakukan di daerah yang memenuhi indikator tertentu.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan opsi perubahan sistem pilkada akan menjadi pertimbangan dalam perubahan Undang-Undang Pilkada. Perubahan Undang-Undang Pilkada itu menjadi satu paket dengan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan DPR yang menyiapkan naskah akademik dan draf revisi undang-undang tersebut. “Kami masih menunggu DPR mengajukan RUU-nya,” kata Supratman.
Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, mengatakan ide pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Undang-Undang Dasar tidak membedakan antara prinsip pemilu dan pilkada. Tapi prinsip pemilihan dalam konstitusi adalah jujur dan adil serta langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Koordinator gerakan JagaSuara2024 ini masih mengingat ketika DPR dan eksekutif bersepakat mengubah sistem pilkada dari DPRD ke pemilihan langsung. Salah satu pertimbangannya adalah terjadi jual-beli suara partai politik ataupun anggota DPRD saat pemilihan di parlemen. “Salah satu faktor dulu kenapa mau diubah karena banyak permainan uang. Itu gelap sama sekali. Rakyat betul-betul tidak bisa mengikuti dan mengetahui proses pemilihan di DPRD,” ucap Hadar, Senin kemarin.
Selain itu, ada gap antara aspirasi rakyat dan keinginan anggota DPRD ataupun partai politik. Dengan demikian, keinginan rakyat tentang calon kepala daerah kerap berbeda dengan kehendak anggota Dewan.
Ia melanjutkan, biaya politik dalam pilkada menjadi tinggi antara lain akibat politik uang. Karena itu, Hadar mengusulkan agar berbagai perilaku buruk peserta pilkada ataupun partai politik dalam pilkada itu seharusnya diubah. Hadar juga menyarankan sistem pilkada langsung dibuat lebih sederhana untuk menghemat anggaran.
Pilihan Editor: Respons Jokowi dan Gibran setelah Resmi Dipecat oleh PDIP