PENANTIAN Rukhanah kian panjang saja. Keinginan perempuan 56 tahun ini untuk segera berkumpul kembali dengan keempat anaknya praktis amburadul. Sebabnya, Fathur Rahman Al-Ghozi, salah satu anaknya, masih harus berada di Filipina setidaknya sampai sepuluh tahun mendatang.
Kepastian itu didapat Kamis pekan silam setelah Hakim Marivic Trabajo Daray di Pengadilan Santos City, Filipina, menjatuhkan vonis 10-12 tahun padanya atas tuduhan kepemilikan 1,2 ton bahan peledak. Setelah vonis itu, sehari kemudian giliran Hakim Abdul Wahid di Pengadilan Zamboanga City, Filipina, mengetok palu: hukuman 4-6 tahun penjara untuk kasus pemalsuan paspor Filipina.
Mendengar vonis itu, Fathur cuma menerawang ke langit-langit pengadilan. Sedangkan di kursi pengunjung, Mohammad Zainuri, ayah Fathur, yang hadir dalam persidangan itu, terlihat pasrah menerima putusan pengadilan Filipina itu. "Ini risiko dari kegiatan usahanya. Kami sudah berusaha meringankan hukumannya, tetapi begitulah putusan pengadilan di Filipina," ujar anggota DPR Daerah Kabupaten Madiun itu.
Fathur memang sulit berkelit. Bukti-bukti yang didapat polisi telah menjeratnya. Pengacara cuma berhasil meminimalkan hukumannya. Dengan mengaku bersalah memiliki 1,2 ton bahan peledak, tuntutan 20 tahun penjara menyusut menjadi 10-12 tahun.
Begitu pula dalam kasus pemalsuan paspor. Ada bukti sangat kuat ia menggunakan paspor palsu. "Karena itu, saya menyarankannya supaya mengaku bersalah sehingga hukuman yang ia terima adalah hukuman yang sangat minimal untuk tingkat pelanggarannya," kata Confesor Salsano, pengacara Fathur.
Pengakuan ini juga membawa "berkah". Untuk tuduhan lainnya, yakni kepemilikan 17 pucuk M-16, yang ditolak Fathur, jaksa meminta pengacara Fathur memasukkan semacam pembelaan bahwa Fathur tidak memiliki pengetahuan dan tidak ada hubungan dengan senjata api ini. Hasilnya, keyakinan mereka bahwa Fathur memiliki senjata api langsung luntur. Naga-naganya, nama Fathur akan dihapus dalam kepemilikan senjata api itu. "Saya yakin bahwa untuk kasus ini namanya akan benar-benar bersih," kata Salsano.
Dengan demikian, total jenderal Fathur menangguk total vonis 18 tahun penjara. Lantas, apakah hukuman itu harus dijalaninya dengan cara mencicil? Ternyata tidak. Untuk kembali bebas, Fathur tak perlu menunggu sampai rambutnya ditumbuhi uban. Seorang pejabat di kantor kejaksaan Filipina mengatakan bahwa hukuman yang akan dijalani adalah yang paling berat. Artinya, dia cuma kena pasal kepemilikan bahan peledak.
Ada satu harapan lagi. Hukum Filipina memungkinkan Fathur dideportasi ke negeri asalnya. "Atau bisa juga, melalui kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Filipina, dia dibebaskan dulu kemudian menjalani hukumannya di Indonesia," kata Salsano kepada Martua Manullang dari Tempo News Room.
Namun ternyata itu tidak mudah. Menurut Kepala Penerangan KBRI di Manila, untuk bertindak pihak pemerintah masih melihat-lihat kondisi. Yang dimaksud Triyogo Djatmika, staf KBRI, mereka masih menunggu lanjutan tuduhan kasus lain, yakni peledakan bom di Manila pada 30 Desember 2000 alias "Rizal Bomb Day". Fathur juga dituduh terlibat dalam kegiatan jaringan Al-Qaidah, yang disebut pemerintah AS sebagai organisasi terorisme internasional.
Meskipun Fathur menolak tuduhan terlibat dalam kasus ini, hal itu tak kontan membuatnya aman dari gempuran vonis berikutnya. Selain itu, dibanding kasus lainnya, vonis tuduhan pengeboman ini merupakan yang paling berat, yaitu hukuman mati atau minimal penjara seumur hidup. Rencana persidangan ini belum diketahui. "Nanti, kalau persidangannya sudah beres dan kita tahu secara pasti berapa lama jangka waktu hukuman yang akan dijalani Al-Ghozi, barulah kami akan menentukan langkah-langkah yang akan diambil," Triyogo memaparkan.
Langkah pemerintah ini sangat diharapkan Rukhanah agar keinginannya kembali berkumpul dengan semua anaknya bisa terwujud, sekalipun terhalang jeruji besi. "Yang terpenting bagi saya, kelak dia bisa kembali berkumpul dengan kami," katanya lirih.
Irfan Budiman, Dwidjo Maksum (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini