Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat hati menyemangati sang buah hati, Hani terkaget-kaget mendapati cerita anaknya seusai ujian nasional sekolah menengah pertama pada Senin pekan lalu. Sang anak, Eko, siswa SMP 2 Depok, Jawa Barat, bercerita tentang naskah soal bahasa Indonesia yang terbagi dua, bersampul dan tidak bersampul. Ada pula perintah, jika ada soal ganda, siswa diminta mengerjakan soal di naskah tidak bersampul. "Saya butuh waktu setengah jam untuk memahami cerita anak tentang bersampul dan tidak bersampul itu," ujarnya Kamis pekan lalu.
Ia semakin heran ketika membaca heboh "bersampul dan tidak bersampul" itu di jejaring Facebooknya. Salah satu perintah menyebutkan: Apabila ada nomor soal yang sama (antara naskah ber-cover dan naskah tidak ber-cover), yang dikerjakan hanya soal dari naskah yang tidak bersampul. Jangan mengerjakan soal dengan nomor yang sama dari kedua naskah. Naskah tidak bersampul itu antara 1-12 dan 38-50, sedangkan naskah bersampul 13-43. "Perintahnya ribet," ujarnya.
Ruwetnya petunjuk soal itu membuat pengawas ujian di SMP 4 Bogor sempat salah memberi perintah kepada siswa. Lia, ibu Iyan, siswa SMP itu, menuturkan sang pengawas memberi perintah agar siswa mengerjakan soal 13-44 yang bersampul lebih dulu. Namun, setelah selesai mengerjakan semua soal, baru ada perintah bahwa, untuk soal ganda, siswa harus mengerjakan soal di naskah tidak bersampul. Iyan terpaksa menghapus jawaban awal soal 39-44 dan kembali mengerjakan soal nomor yang sama dari naskah tidak bersampul. "Untung anak saya masih bisa menyelesaikan soal, meski waktunya terbuang sia-sia," ujar Lia.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyebut ada 24 nomor soal ujian bahasa Indonesia yang diralat yang dikumpulkan di soal tak bersampul. "Itu jumlah yang terlalu banyak dan tak mempertimbangkan psikologis anak," ujar Retno. Federasi, misalnya, menemukan ada anak yang menangis seusai ujian.
Ia mengatakan murid mengalami tekanan psikologis sejak penyusunan soal yang terpisah-pisah. Soal itu pun ada yang lengkap dan ada yang berlebih. Tekanan itu bertambah karena petunjuk yang tak jelas. Ada juga laporan nomor soal yang berbeda tapi soalnya sama. "Sampai tiga nomor," ujarnya. "Pengawas telah berusaha memahami petunjuk, tapi itu tetap bisa memakan waktu hingga satu jam di ruangan."
Federasi, kata Retno, menerima 152 laporan keluhan pada hari pertama ujian nasional SMP dari 22 perwakilan Federasi ataupun di luar kantor Federasi. Laporan pada hari kedua, saat ujian matematika, hanya 32. Laporan pada hari pertama terkait dengan kekacauan perintah, nomor yang tidak ada, kekhawatiran orang tua anaknya tidak lulus, hingga masih adanya soal tentang Gubernur Jakarta Joko Widodo di beberapa kota.
Untuk apa soal yang sebetulnya sudah lengkap di soal bersampul mesti diralat separuhnya di soal tak bersampul? Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Haryono Umar mengatakan koreksi soal dilakukan setelah munculnya nama Jokowi di soal ujian nasional bahasa Indonesia SMA pada 15 April lalu, yang menimbulkan polemik. "Pak Menteri minta di soal SMP jangan sampai ada," ujarnya.
Badan Penelitian dan Pengembangan pun kemudian bergerak melakukan pengecekan. Badan ini, kata dia, menemukan ada banyak tokoh di soal SMP, bukan cuma Jokowi. "Bahkan ada yang sudah almarhum," ucapnya. Badan Standar Nasional Pendidikan kemudian menindaklanjuti temuan Badan Penelitian dan Pengembangan dengan mengganti soal. Perubahan soal itu disampaikan ke kepala sekolah, yang meneruskannya ke pengawas. Pengawas inilah yang menjelaskan kepada siswa. "Persoalannya, komunikasinya ada yang sampai dan ada yang tidak," ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh enggan mengomentari ruwetnya petunjuk soal ujian nasional bahasa Indonesia tingkat SMP itu. Dia menganggap ujian nasional sudah selesai sehingga tak perlu dipersoalkan lagi. Nuh, yang tengah berada di Sorong, Papua Barat, Kamis pekan lalu, juga enggan menjelaskan mengapa sampai ada dua jenis soal yang terpisah, yakni yang bersampul dan tidak bersampul.
Terhadap munculnya kebingungan siswa dalam memahami petunjuk soal yang ruwet, Nuh menuding pengawas ujian tidak bisa menjelaskan ke siswa secara gamblang. "Artinya, si pengawas sendiri ndak tahes (sehat)," katanya.
Erwin Zachri, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo