Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Berbagai kampus mengapresiasi rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyederhanakan proses akreditasi perguruan tinggi. Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Pujiyono, menyebut proses penilaian akreditasi selama ini amat memakan waktu dan sumber daya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia memaparkan, di tahap persiapan saja, akreditasi memerlukan waktu hingga setahun. Sedangkan tahapan yang paling memusingkan adalah penyusunan borang. Sebab, pihak kampus harus mengerahkan banyak dosen untuk menyusun dokumen yang memuat profil program studi, mahasiswa, rekapitulasi rencana, serta pencapaiannya. "Paling rumit menyusun borang," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Pujiyono, kegiatan serupa harus diulangi oleh perguruan tinggi saban lima tahun. Padahal, ucap dia, sepanjang tahun-tahun tersebut kampus tak mengalami penurunan kualitas yang menjadi alasan perubahan nilai akreditasi. Fakultas Hukum UNS, dia mengimbuhkan, sudah mengantongi nilai A sejak 20 tahun silam.
Puji mengatakan, selain dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), Fakultas Hukum UNS meminta penilaian dari lembaga akreditasi internasional, yakni ASEAN University Network-Quality Assurance. Ia menganggap instrumen penilaian mutu yang dipakai lembaga ini lebih bagus ketimbang versi BAN PT. "Standar mutunya lebih bagus, meski tidak gratis," kata Puji. Dia menyebutkan akreditasi dari BAN PT tidak dipungut biaya.
Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Negeri Makassar, Muharram, mengeluhkan kesulitan senada. Selama ini, dia mengatakan, universitas yang ingin memperoleh akreditasi harus membuat borang dan menjalani bimbingan teknis. Dia menyebut, untuk satu program studi, pihak universitas bisa menghabiskan waktu sebulan guna mengisi borang. "Bahkan ada yang bisa sampai enam bulan untuk akreditasinya. Belum lagi mempersiapkan borang," kata dia. Proses itu juga menelan biaya yang tak sedikit, sekitar Rp 25-75 juta per program studi.
Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, mengapresiasi upaya pemerintah menyederhanakan regulasi di jenjang pendidikan tinggi. Menurut dia, proses akreditasi saat ini cukup menguras sumber daya kampus. "Penyederhanaan akreditasi ini sangat penting karena beban administrasi menjadi berkurang signifikan, sehingga energi dan waktu lebih banyak dipakai untuk meningkatkan mutu (pendidikan)," kata Agustinus.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Nizam, mengemukakan bahwa saat ini Kementerian tengah menyusun regulasi yang memberi hak kepada kampus untuk mendapat nilai A jika sudah terakreditasi oleh lembaga penilai internasional yang diakui pemerintah. Perguruan tinggi juga mendapat perpanjangan akreditasi secara otomatis selama lima tahun jika tak ada persoalan ataupun penurunan jumlah mahasiswa atau dosen.
Dia mengakui akreditasi menjadi beban administrasi tersendiri lantaran prosesnya masih dilakukan secara manual. Persoalan kedua adalah masih ada kampus yang membutuhkan akreditasi, tapi tidak pernah mendapatkannya. "Sedangkan yang tak merasa perlu tapi dipaksakan untuk reakreditasi. Padahal kualitas mereka tak menurun," ujar Nizam.
Ketua Majelis Akreditasi BAN PT, Dwiwahju Sasongko, mengatakan keluhan terhadap proses akreditasi oleh perguruan tinggi lahir karena pemerintah mewajibkan adanya penilaian. Sementara itu, di beberapa negara, akreditasi bukanlah proses yang wajib bagi perguruan tinggi.
Idealnya, menurut Sasongko, kewajiban penilaian mutu berasal dari masing-masing kampus, sehingga motivasi yang muncul adalah upaya memperbaiki diri secara terus-menerus. Sedangkan di Indonesia, dia berujar, akreditasi masih perlu diwajibkan lantaran beberapa perguruan tinggi masih berperan sebagai pencetak ijazah. AHMAD RAFIQ (SURAKARTA) | DIDIT HARYADI (MAKASSAR) | ROBBY IRFANY
Kampus Keluhkan Rumitnya Proses Akreditasi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo