Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kampus Negeri Bertarif Selangit

Universitas papan atas di Indonesia berlomba memasang tarif tinggi. Niatnya ingin jadi Robin Hood.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anda mau memasukkan putra-putri ke universitas paling top di republik ini? Mau menimba ilmu di Universitas Indonesia? Gampang. Masuk Institut Teknologi Bandung pun bisa. Begitu pula Universitas Gadjah Mada. Syaratnya, Anda memiliki cukup banyak duit untuk membiayai putra atau putri Anda menjajal berbagai tes masuk. Syukur-syukur, anak Anda bisa lolos lewat jalur biasa yang relatif lebih murah.

Jika kurang sabar, anak Anda bisa langsung mencoba seleksi lewat jalur khusus. Walaupun biayanya jauh lebih tinggi, persaingan lewat gerbang ini tidak terlalu ketat.

Seleksi lewat jalan tol itu sudah mulai dilakukan. Institut Teknologi Bandung, misalnya, telah menggelar tes masuk bagi calon mahasiswa yang melamar lewat jalur khusus pada awal Juni lalu. Hasilnya akan diumumkan pada awal Juli. Ada dua jalur khusus di ITB, yakni Jalur Kemitraan Nusantara dan Sekolah Bisnis Manajemen. Biaya pendidikan mahasiswa yang masuk lewat jalur tersebut memang tinggi. Uang pangkalnya saja Rp 45 juta untuk Jalur Kemitraan dan Rp 60 juta buat Sekolah Bisnis.

Universitas Indonesia pun memiliki program serupa, namanya Program Prestasi dan Minat Mandiri dengan sumbangan akademik Rp 25-75 juta. Demikian juga Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. UGM membuka jalur Penelusuran Bibit Unggul dengan uang pangkal Rp 100-200 juta. Ada juga Kelas Internasional yang sebenarnya disediakan untuk mahasiswa asing. Tapi mahasiswa lokal yang mau mencicipi kuliah di sana pun tidak dilarang. Biayanya sungguh mencengangkan. Mereka mesti membayar sumbangan US$ 10 ribu (sekitar Rp 96 juta) dan biaya kuliah US$ 2,5 ribu (sekitar Rp 24 juta) per tahun.

Adanya program eksklusif tersebut membuat Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) UGM, Romi Ardiansyah, mengelus dada. ”UGM sudah bukan lagi kampus perjuangan. Hanya anak orang kaya yang bisa masuk ke sini,” katanya.

Itu sebabnya, BEM-KM UGM mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung pada 4 Februari lalu. Intinya, mereka minta Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 tentang penetapan UGM sebagai badan hukum milik negara (BHMN) dibatalkan. ”Secara legal formal, kami menolak UGM jadi BHMN,” kata Romi. PP tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Bukan hanya UGM, universitas lain seperti UI, ITB, dan Institut Pertanian Bogor juga telah dinobatkan sebagai BHMN pada tahun yang sama. Dengan status itu, universitas bebas berkreasi menggali sumber-sumber pendanaan untuk membiayai pendidikan. Salah satu caranya adalah membuka program eksklusif bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga kaya.

Mahasiswa yang berasal dari keluarga pas-pasan bisa masuk lewat jalur reguler yang dikenal dengan nama Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, yang akan digelar pada Juli nanti. Biayanya memang lebih kecil, tapi tidak bisa dibilang murah. Mereka tetap ditarik sumbangan akademik sebesar Rp 5 juta sampai Rp 25 juta. Ongkos kuliahnya beragam. UI memungut Rp 1,5 juta untuk mahasiswa eksakta dan Rp 1,2 juta untuk noneksakta per semester. Adapun uang kuliah di ITB sekitar Rp 1,7 juta per semester.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, kebijakan mengutip sumbangan yang besar dari mahasiswa kaya bertujuan menciptakan sistem yang adil. Sebab, perguruan tinggi juga tak mengabaikan mahasiswa pintar yang papa. ”Jadi, terjadi subsidi silang,” katanya.

Memang, di universitas yang berstatus BHMN selalu dibuka pula pintu khusus bagi mahasiswa pintar dari keluarga yang kurang mampu. Ambil contoh UGM. Universitas ini membuka jalur penelusuran bibit unggul tidak mampu. Si mahasiswa yang lolos seleksi tak akan dibebani uang pangkal. Selain itu, universitas membebaskannya dari biaya kuliah selama delapan semester.

Di UGM, jumlah mahasiswa yang mendapat beasiswa mencapai 13 persen dari 6.000 mahasiswa baru. Sebanyak 18 persen masuk lewat program khusus, dan sebagian besar mahasiswa melamar melalui jalur reguler.

Begitu pula di ITB. Menurut Rektor ITB, Djoko Santoso, mahasiswa kurang mampu yang mendapat beasiswa adalah 102 orang. Sekitar 300 mahasiswa masuk lewat ”jalur tol” dan sebagian besar, sejumlah 1.930, masuk melalui jalur reguler.

Masuk lewat jalur reguler tidaklah gampang, apalagi bagi mahasiswa dari keluarga tak kaya. Romi mengambil contoh yang terjadi di UGM. Saat mendaftar, calon mahasiswa sudah disodori formulir Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang mencantumkan angka Rp 5-20 juta. ”Dari sini, sudah terlihat nuansa seleksi berdasarkan ekonomi. Tak ada jaminan bagi si miskin bisa kuliah,” katanya.

Romi selalu menyimak keluhan yang masuk ke posko BEM-KM yang setiap tahun dibuka saat penerimaan mahasiswa baru. Dari sinilah dia menyimpulkan UGM belum siap menjadi BHMN. Malah, menurut dia, BHMN dijadikan sandaran untuk membebani mahasiswa dengan berbagai pungutan yang tinggi.

Protes yang sama juga muncul di ITB. Presiden Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, Muhammad Syaiful Anam, menegaskan, kenaikan biaya kuliah sejak berlakunya BHMN telah memberatkan mahasiswa. Tapi reaksi mahasiswa ITB tidak begitu keras jika dibandingkan dengan mahasiswa dari kampus lain seperti UGM. Soalnya, mahasiswa ITB hanya punya 1 dari 20 suara di Majelis Wali Amanah di ITB. ”Jadi, posisi tawar kami memang masih lemah,” katanya.

Satu hal yang disesalkan Anam, kini ITB menjadi sulit dijangkau oleh semua lulusan SMA. ”Padahal, sebelum statusnya berubah, siapa pun yang ingin masuk ITB punya peluang yang sama tanpa harus terbebani biaya kuliah yang selangit,” ujarnya.

Sang rektor, Djoko Santoso, menepis anggapan Anam. Menurut dia, ITB memberi peluang besar bagi calon mahasiswa yang tidak mampu dengan memberikan beasiswa. ”Dari total mahasiswa S-1 sebanyak 10 ribu, 4.000 di antaranya ditujukan bagi mahasiswa tak mampu,” katanya.

Lagi pula, menurut Djoko, seluruh sivitas akademika di ITB sudah menerima status universitas ini sebagai BHMN. Konsep ini dinilainya cukup baik bagi masa depan universitas. ”Jika ada tawaran Anda untuk memilih berpikir bebas dan berkreasi sendiri atau didikte, semuanya pasti memilih untuk bebas,” katanya.

Pendapat senada disampaikan Rektor UGM, Sofian Efendi. Dia juga menepis anggapan pola seleksi di UGM didasarkan atas faktor kemampuan ekonomi. Bahkan, menurut Sofian, para rektor di universitas yang berstatus BHMN telah menjadi Robin Hood. ”Mengambil dana dari mereka yang mampu untuk mereka yang tidak mampu,” katanya. ”Jadi, sudah cukup adil.”

Namun, persoalan lain yang muncul tidak bisa dianggap enteng. Misalnya di UI, antara mahasiswa kaya dan mahasiswa miskin seperti air dan minyak, sukar menyatu. Kondisi kampus malah seperti memihak kepada si kaya. Kantin-kantin murah sudah diubah menjadi tempat makan yang nyaman—”Hingga kami tak mampu menjangkaunya,” kata Wisnanda Haris, mahasiswa Jurusan Komunikasi FISIP UI, kepada Lis Yuliawati dari Tempo.

Mahasiswa semester 11 itu mengatakan, kampusnya bukan lagi tempat berlomba-lomba jadi pintar. ”Yang menonjol justru mahasiswa jet set yang suka pamer harta,” katanya. Roh UI yang biasanya peka terhadap keluhan rakyat dinilainya telah tercerabut. ”Perhatian pada persoalan sosial-politik bakal hilang. Mereka mulai tidak peduli.”

Yang juga jadi soal, apakah perubahan status ke BHMN akan mendongkrak mutu pendidikan tinggi? Sayangnya, hal ini tidak bisa segera bisa dinilai. ”Baru kelihatan 10 tahun mendatang,” kata Satryo Soemantri Brodjonegoro. Dia menuturkan, konsolidasi saja butuh waktu lima tahun. Jadi, hasil perbaikan mutu pendidikan baru terlihat lima tahun berikutnya.

Kendati begitu, Satryo yakin perguruan tinggi di Indonesia bisa bersaing dengan universitas di negara-negara lain dalam waktu tiga tahun mendatang. ”Kita bisa cari celahnya. Saya tetap melihat ada peluang untuk itu,” katanya.

Nurlis E. Meuko, Jalil Hakim (Jakarta), Rana Akbari Fitriawan (Bandung), dan Syaiful Amin (Yogyakarta)


Ongkos Kuliah di Tiga Universitas

BETAPA mahalnya menjadi sarjana di negeri ini. Tak hanya membayar uang kuliah setiap semester, kini mahasiswa harus pula memberikan sumbangan akademik yang jumlahnya tak kecil, Rp 5 juta sampai Rp 25 juta. Sumbangan dan uang kuliah akan lebih besar lagi jika ia masuk dalam program non-reguler, yang namanya bervariasi di tiap universitas.

Semua itu belum termasuk biaya hidup mahasiswa, yang juga semakin tinggi. Minimal orang tua mesti membekali mereka Rp 500 ribu tiap bulan untuk membayar kos, makan, dan kebutuhan lainnya. Inilah perkiraan biaya pendidikan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada.

Universitas Indonesia Jalur Program Prestasi dan Minat Mandiri (non-reguler)

  • Uang pangkal: Rp 25 juta-Rp 75 juta
  • Uang kuliah: Rp 7,5 juta per semester

    Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (reguler)

  • Sumbangan peningkatan mutu akademik: Rp 5 juta-25 juta
  • Uang kuliah (eksakta): Rp 1,47 juta per semester
  • Uang kuliah (non-eksakta): Rp 1,2 juta per semester

    Biaya Lainnya

  • Dana kesejahteraan dan fasilitas mahasiswa: Rp 75 ribu per semester
  • Dana pelengkap pendidikan: Rp 475 ribu
  • Matrikulasi: Rp 300 ribu

    Biaya hidup mahasiswa per bulan (minimal)

  • Indekos: Rp 350 ribu
  • Makan: Rp 300 ribu
  • Transportasi: Rp 300 ribu

    Institut Teknologi Bandung Jalur Kemitraan Nusantara ITB (non-reguler)

  • Sumbangan akademik: Rp 45 juta
  • Uang kuliah pokok: Rp 1,8 juta per semester
  • Uang kuliah tambahan: Rp 650 ribu per semester
  • Biaya bridging program: Rp 5 juta

    Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (reguler)

  • Sumbangan akademik: sesuai dengan kemampuan
  • Uang kuliah pokok Rp 1,7 juta per semester
  • Uang kuliah tambahan Rp 650 ribu per semester

    Jalur Sekolah Bisnis dan Manajemen

  • Sumbangan akademik: Rp 60 juta
  • Uang kuliah: Rp 625 ribu per satuan kredit semester (SKS)

    Biaya hidup Mahasiswa Per Bulan (minimal)

  • Indekos: Rp 200 ribu
  • Makan: Rp 225 ribu
  • Transportasi: Rp 200 ribu

    Universitas Gadjah Mada Kelas Internasional

  • Sumbangan akademik US$ 10 ribu (sekitar Rp 96 juta)
  • Uang kuliah mahasiswa asing: US$ 5.000 (sekitar Rp 48 juta) per tahun
  • Uang kuliah mahasiswa Indonesia: US$ 2.500 (sekitar Rp 24 juta) per tahun

    Jalur Penelusuran Bibit Unggul

  • Sumbangan akademik: Rp 100 juta-200 juta
  • Uang kuliah: Rp 500 ribu per semester, ditambah Rp 75 ribu per SKS

    Jalur Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu

  • Sumbangan akademik: bebas
  • Uang kuliah: bebas selama 8 semester

    Jalur Penelusuran Scholastic

  • Sumbangan akademik: Rp 80 juta
  • Uang kuliah: Rp 500 ribu per semester, plus Rp 75 ribu per SKS

    Jalur Ujian Masuk (Reguler)

  • Sumbangan akademik: Rp 5 juta-20 juta
  • Uang kuliah: Rp 500 ribu per semester, ditambah Rp 75 ribu per SKS

    Biaya Hidup Mahasiswa Per Bulan (minimal)

  • Indekos: Rp 200 ribu
  • Makan: Rp 225 ribu
  • Transportasi: Rp 150 ribu
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus