Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Setara Institute Halili mengatakan, munculnya surat edaran yang mewajibkan murid baru di SD Negeri Karangtengah Kabupaten Gunung Kidul menggunakan seragam muslim merupakan cerminan sekolah negeri yang gagal menjaga keberagaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, ralat yang keluar setelah surat edaran itu tersebar luas merupakan alibi dan pembelaan diri dari sekolah setelah protes dari masyarakat sipil. Ralat dari surat edaran yang mengubah dari kewajiban menjadi anjuran dinilai Halili juga tak cukup efektif untuk mengatasi praktek diskriminasi.
“Polanya sama mengubah dari wajib menjadi anjuran. Itu klise dan tidak cukup mengatasi masalah yang terus berulang di Yogyakarta,” kata Halili yang dihubungi Tempo, Selasa, 25 Juni 2019.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta itu mengamati maraknya surat edaran diskriminatif sekolah negeri yang membawa simbol-simbol agama tersebut muncul sejak 2015. Surat edaran serupa menggambarkan ekspresi sekolah yang kontraproduktif dengan semangat keberagaman. Sekolah negeri yang didanai negara, kata dia seharusnya mampu menjadi etalase atau simbol keberagaman.
Sekolah negeri, kata dia, diperuntukkan bagi siswa-siswi dari berbagai latar belakang agama dan etnis. "Celakanya, pemahaman kepala sekolah, guru, dan orang tua tentang pentingnya menjaga keberagaman dan kesetaraan masih lemah," ujar Halili.
Dia mendesak pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan untuk bersikap tegas terhadap sekolah yang mengeluarkan aturan diskriminatif melalui surat edaran tersebut. Dinas Pendidikan seharusnya berupaya keras melawan berbagai bentuk kebijakan anti-keberagaman yang dituangkan dalam bentuk surat edaran dan aturan lainnya. “Sistemnya harus dibenahi agar tak terulang,” kata Halili.
Ia menambahkan, kewajiban menggunakan seragam Muslim merupakan fenomena penguatan konservatisme di dunia pendidikan. Simbol-simbol keagamaan yang dipakai dalam surat edaran sekolah itu, menurut Halili, menandakan otoritas sekolah tak paham tata kelola sekolah negeri.
Setara Institute pernah membuat riset yang menunjukkan lembaga pendidikan menjadi aktor pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam sepuluh tahun terakhir. Menurut Halili, lembaga pendidikan banyak yang bermasalah karena belum mempromosikan kehidupan kegamaan yang berperspektif pada penghormatan Hak Asasi Manusia dan demokrasi.
Halili menyatakan menguatnya konservatisme di lembaga pendidikan, termasuk kewajiban penggunaan seragam sekolah muslim terjadi karena pemerintah daerah tidak punya perspektif yang kuat tentang multikulturalisme dan toleransi. "Yogyakarta yang dikenal sebagai The City of Tolerance mengalami paradoks karena terjadi penguatan intoleransi," ujar dia.