ADA yang kosong pada Undang-Undang Perkawinan 1974, yang sudah berusia 18 tahun itu. Ini tersirat dari jawaban Menteri Agama Munawir Sjadzali ketika ditanya wartawan sehabis upacara pelantikan 15 ketua pengadilan tinggi di Gedung Mahkamah Agung, Selasa dua pekan lalu, tentang kawin beda agama. Jawab Munawir, sampai saat ini belum ada ketentuan mengenai perkawinan antara pasangan yang berbeda agama. Sebab, Undang-Undang Perkawinan 1974, menurut Munawir, hanya mengatur perkawinan campur yang berkaitan dengan perkawinan antarwarga negara. Sementara itu, Pasal 2 Ayat 1 undang-undang itu menyebutkan bahwa perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. "Ini ditafsirkan bahwa hak mengawinkan muslim hanya pada Kantor Urusan Agama, dan di gereja bagi yang Kristen," kata Munawir. Dengan demikian, lanjutnya, Catatan Sipil tidak mempunyai hak mengawinkan pasangan yang beda agama. "Jadi, perkawinan beda agama tidak ada di sini," katanya pula. Lalu bagaimana, bila kenyataannya banyak terjadi perkawinan campur? Inilah, yang menurut Munawir perlu dicarikan rumusannya. Ia sendiri, sebagai menteri agama, mengaku belum berani mencarikan rumusan itu. Memang, sebagaimana dikatakan Munawir, Indonesia yang berpenduduk sekitar 185 juta ini, dan dijamin adanya kebebasan beragama, tidak selalu bisa dihindarkan adanya pernikahan dua orang yang berbeda agama. Itu memang tak akan jadi soal, bila saja tak menimbulkan masalah di kemudian hari. Contoh-contoh, menurut Dr. Zakiah Daradjat, seorang muslimah yang psikolog, pada harian Kompas, sudah terjadi. Satu keluarga, yang suami dan istrinya berbeda agama, suatu ketika mengalami kebingungan. Yakni, ketika seorang anak mereka meninggal. Padahal, karena perbedaan agama kedua orangtuanya, si anak belum bisa memutuskan akan memeluk agama apa. Jadi, tutur Zakiah Daradjat, anak itu akan dimakamkan dengan upacara menurut agama bapaknya atau ibunya? Tidak dikisahkan upacara pemakamannya kemudian. Yang dituturkan Zakiah, karena adanya masalah itu, akhirnya terjadi perceraian. Dari sudut kemanusiaan, tampaknya Undang-Undang Perkawinan 1974 perlu direvisi. Namun, tidak semua ahli setuju. Banyak tokoh-tokoh Islam yang menganggap, Undang-Undang Perkawinan 1974 sudah baik dan tidak perlu direvisi lagi. Yang berpendapat seperti itu, umpamanya Hakim Agung Bismar Siregar. Begitu pula Muhammadiyah, dalam sidang Tanwir pekan lalu, menegaskan, ". . . sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan 1974, perkawinan beda agama atau antaragama hanya mungkin dilakukan bila tidak bertentangan dengan ajaran agama pasangan yang bersangkutan. . . " Dengan kata lain, Muhammadiyah membolehkan perkawinan beda agama dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya, menurut Azhar Basyir, Ketua PP Muhammadiyah, dalam Surat Al Baqarah Ayat 221 dan Mumtahanah Ayat 10 dengan jelas disebutkan bahwa wanita muslim tidak boleh menikah dengan pria nonmuslim. "Ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi," kata Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun, ketentuan itu tidak berlaku bagi laki-laki muslim. Menurut Azhar Basyir, Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita nonmuslim, dengan sejumlah syarat. Surat Al Maaidah Ayat 5 menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab (nonmuslim). Di sini, yang dimaksud wanita ahlul kitab adalah mereka yang menganut agama Yahudi dan nasrani. Ketentuan itu, menurut Azhar Basyir, masih berlaku sampai sekarang karena masih ada orang-orang Yahudi dan nasrani, yang menjalankan agamanya seperti ketika Nabi Muhammad saw menerima ayat itu. Surat itu sifatnya "membolehkan," bukan "menganjurkan. Dan syaratnya, antara lain, keimanan laki-laki muslim itu sudah kuat, ia benar-benar sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas nafkah dan sebagainya, dan anak-anak mereka harus dididik secara Islam. Jika syarat seperti yang dikemukakan oleh Azhar itu tidak bisa dipenuhi, Islam tidak memperbolehkan terjadinya perkawinan campur itu. Namun, mengapa perkawinan beda agama hanya diperbolehkan bagi laki-laki muslim, dan wanitanya tidak? Menurut K.H. Ali Yafie, ahli fikih, hal itu berkaitan dengan toleransi Islam terhadap hak-hak seseorang dalam memilih agama dan status suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hal ini, sang suami, sebagai kepala rumah tangga, diharapkan bisa mengajak istrinya itu masuk Islam dengan cara tidak memaksa. Artinya, bila istrinya tidak bersedia, ia tidak boleh melarang istrinya itu menjalankan agamanya. Untuk memenuhi persyaratan yang dikemukakan Azhar Basyir di atas, memang tidak mudah. Kalau itu bisa dipenuhi, misalnya, masih ada syarat lain, yakni pernikahannya harus dilakukan secara Islam: ada wali, ijab kabul, dan wali hakim Islam. Kenyataan selama ini, jarang Kantor Urusan Agama yang berani mengawinkan calon pengantin yang berbeda agama. Sementara itu, tetap saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta. Akibatnya, timbul bermacam cara untuk menggolkan perkawinan, yang belum tentu sah menurut agama. Mereka ada yang sekadar memburu surat nikah, dan untuk itu bersedia pura-pura ganti agama. Apakah hal seperti ini akan kita biarkan? Mungkin itu yang jadi pikiran menteri agama. Julizar Kasiri, Priyono B. Sumbogo, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini