MASIH ingat Islam Jamaah? Organisasi eksklusif yang pernah dilarang di Indonesia pada 1972 itu, sejak November 1990, berubah nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Sebelum diubah menjadi LDII, organisasi keagamaan yang didirikan pada 1941 oleh K.H. Nurhasan Al Ubaedah itu dikenal dengan nama Lembaga Karyawan Dakwah Islam (Lemkari). Bukan saja LDII tidak dilarang, tapi peresmian gedung Wali Barokah di Pondok Pesantren LDII, Burengan, Kediri, Jawa Timur, Kamis dua pekan lalu, dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Bisa jadi, ajaran yang dulu menyebabkan Islam Jamaah dilarang kini mungkin sudah diubah. Misalnya saja, dulu para anggota diharuskan taklid pada imam, yakni Nurhasan itu. Lalu, anggota Islam Jamaah tak dibenarkan salat berjemaah di luar lingkungan Islam Jamaah sendiri. K.H. Misbach, Ketua Majelis Ulama Jawa Timur, belum bisa memastikan. "Sejauh ini, kami masih belum menelitinya," kata K.H. Misbach. Yang jelas, lokasi kegiatan LDII masih tetap di tempat Lemkari melakukan kegiatannya sebelum organisasi itu dibekukan. Dulu, ada tiga alasan yang menyebabkan Majelis Ulama Jawa Timur minta kepada Gubernur Jawa Timur untuk membekukan Lemkari. Yakni, organisasi itu memberikan doktrin kepada jemaahnya agar taat kepada amir (pemimpinnya) melebihi ketaatan kepada Pemerintah. Lalu, Lemkari mengajarkan pengikutnya untuk tidak salat berjamaah dengan golongan lain. Dan terakhir, jemaah Lemkari sering mengkafirkan golongan lain. Semua tuduhan itu dibantah oleh H. Mansur, 45 tahun, pimpinan Pondok LDII, di Kediri itu. Menurut Mansur, pondoknya tidak melarang santrinya berjemaah dengan umat Islam di luar pondok. Bahkan ia sendiri, pada bulan puasa tahun lalu, ikut bertarawih bersama jemaah lain. Begitu pula sebaliknya, masjid-masjid yang dibangun LDII (tadinya Lemkari) kini dikunjungi oleh orang yang bukan jemaahnya. Itu terlihat di Masjid Jami' Ar Roiyaan, Yogyakarta, misalnya. Di masjid yang luas bangunannya sekitar 380 meter persegi itu, setiap malam, hampir dipenuhi sekitar 200 jemaah, yang sebagian besar bukan anggota LDII. Mereka semua mengaji tafsir Quran dan Hadis, persis seperti yang diajarkan Nurhasan al Ubaedah, pendiri Islam Jamaah. Tapi Muhtadi, 50 tahun, Ketua Dewan Pimpinan LDII Yogyakarta, menolak bila LDII disangkut-pautkan dengan Islam Jamaah. Banyak hal yang telah dibuang, katanya. Misalnya kultus individu, yang mungkin terjadi dalam pengajian di masjid-masjid, dihindarkan. Itu dilakukan dengan jalan menggantiganti pengisi ceramah. Untuk menghindari agar tidak terulang lagi kultus individu, seperti yang dilakukan terhadap Nurhasan Al Ubaedah, sistem organisasi diubah. Kalau dulu, pada zaman Islam Jamaah, memakai sistem keamiran, sekarang menjadi organisasi biasa yang memiliki ketua, sekretaris, dan bendahara. Setidaknya, LDII kini punya penjelasan untuk hal-hal yang dulu tak dijelaskan oleh sang Amir Nurhasan. Misalnya, soal kecenderungan kawin sesama jemaah, seperti yang dituduhkan Majelis Ulama Jawa Timur dulu. Menurut Ketua Umum LDII Hartono Slamet, itu soal psikologis saja. Wajar kalau timbul rasa suka antaranggota yang saling mengenal setiap minggu di pengajian. Kemudian soal keluhan para orangtua, yang anaknya jadi ekstrem setelah ikut pengajian Islam Jamaah atau Lemkari. Umpamanya, suka mengkafirkan tetangganya, dan tidak mau memakai pakaian yang tersentuh oleh pakaian orang di luar jamaahnya, sebelum dicuci kembali. Semua ini, kata Hartono Slamet, juga karena alasan psikologis. Kalau seorang anak yang tadinya tidak mengenal hukum agama lalu mempelajarinya, dan setelah paham, ia akan menjalankan peraturan itu secara kaku. Siapa yang dilihatnya tak berperilaku persis seperti yang disebutkan dalam hukum agama, dicapnya bukan Islam. Padahal, kata Hartono, sikap seperti itu tidak diajarkan kepada mereka. Terlepas dari kelemahan itu, organisasi keagamaan ini ternyata punya daya tarik bagi orang-orang awam yang ingin belajar agama Islam. Alasannya cukup sederhana. Menurut H. Mansur, pimpinan pondok LDII Kediri itu, pengajaran agama di LDII tidak terlalu rumit. Para murid diajar mengaji langsung pada materi agama: Quran dan Hadis yang sudah diterjemahkan. Di sini, ada enam kitab hadis yang diajarkan kepada jemaah: Buchari, Muslim, Nasyai, Tarmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Daud, yang disebut Kitabus Shitah. Cara ini sengaja dilakukan oleh LDII karena yang dibutuhkan oleh jemaah adalah amal. Jemaah ingin langsung mempraktekkan ajaran agamanya. Maka, organisasi ini punya dewan guru, yang khusus mengajarkan agama kepada jemaah yang hanya membutuhkan pengamalan semata. Mungkin karena ini, pada 1989, pengikut jemaah ini berjumlah 30 juta orang, menurut catatan Departemen Agama. Meskipun LDII telah mengadakan perubahan terhadap ajaran-ajaran yang tidak disukai masyarakat muslim lainnya, tanda-tanda perubahan itu belum terlihat secara jelas bagi orang luar. Yang jelas, kehadiran tokoh-tokoh LDII di Kediri, dalam salat tarawih bersama jemaah lain di pendopo Kota Madya Kediri, sudah dilihat banyak orang. Namun, ada pula sebagian yang belum berubah. Di beberapa tempat di Kediri, dan mungkin juga di daerah lain, misalnya Jakarta, masih ada kelompok yang hanya mau melakukan salat jemaah dengan kelompok LDII. Dengan kata lain, di samping kelompok terbuka yang sudah banyak meninggalkan ajaran Nurhasan, di tubuh LDII, masih terdapat golongan yang tertutup yang berpegang pada ajaran Islam Jamaah sebagaimana yang diajarkan oleh Amir Nurhasan Al Ubaidah sejak 1941 sampai ia meninggal pada 1982. Julizar Kasiri, Siti Nurbaiti (Jakarta), Zed Abidien (Surabaya), dan Moch. Faried Cahyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini