PERTEMUAN dua aktivis Peristiwa Malari 1974 di Pondok Paus 100, Putri Duyung, itu sungguh unik. Hariman Siregar, 42 tahun, bekas Ketua Dewan Mahasiswa UI, memilih pertemuan itu untuk merayakan 18 tahun Malari bersama eksponen Malari. Sedangkan Syahrir, 47 tahun, pelopor Grup Diskusi UI ketika itu, rupanya ingin sekadar merayakan tahun baru bersama rekan-rekannya dari Yayasan Padi dan Kapas serta dari ECFIN (Institute for Economic and Financial Research). Ciil, begitu Syahrir biasa dipanggil, adalah pimpinan Yayasan Padi dan Kapas serta managing editor ECFIN. Toh tetap ada kesamaan: keduanya menetapkan tanggal 15 Januari, Rabu malam pekan lalu, untuk acara yang berlangsung di tempat yang sama, kawasan Pantai Ancol, Jakarta Utara, itu. Jadi, perlu ada pembagian tempat. Hariman Siregar berkumpul bersama sekitar 40 orang undangannya, antara lain stafnya di Klinik Baruna, Jakarta, di ruangan dalam pondok itu. Dan Ciil menjamu sekitar 75 orang tamunya di luar pondok, yang duduk di beberapa kursi yang disusun melingkar, di bawah tenda yang terang benderang dan diembus angin laut. Acara berlangsung hangat, akrab, dan "dinamis". Maksudnya, ada saja tamu-tamu yang akhirnya harus berpindah-pindah, dari tenda Ciil ke pondok Hariman. Maklum, banyak tamu yang mengenal kedua tokoh ini secara akrab. Seorang eksponen Angkatan 1966, secara berseloroh, sempat berkomentar, "Wah, saya harus pasang timer, 15 menit di sini dan 15 menit di sana." Pembicaraan pun berkembang. Di ruangan dalam, sejak awal, sudah ramai dengan derai tawa ketika Hariman bercerita soal kejadian-kejadian lucu di tahanan Malari dulu. Misalnya, bagaimana ia "bersekongkol" dengan Aini Chalid, salah satu anggota Dema UI, dalam permainan bulu tangkis di tahanan, sampai kepala Ciil kena smash. Padahal, Aini adalah partner Ciil di lapangan. Di luar pondok, Ciil, ekonom bergelar doktor lulusan Harvard itu, membicarakan masalah-masalah sekarang: soal pajak dan RAPBN atau soal Aljazair yang tengah bergolak. Sebenarnya, Hariman sudah memperingati Malari sejak 1978 di Pondok Paus 200. Hanya pada 1989 ia terpaksa melewatinya karena Ketua Umum Persija Selatan ini tengah membawa kesebelasannya ke Yogya. Syahrir juga giat mengadakan diskusi ilmiah setiap Januari tiba, di tempat yang berpindah-pindah. Nah, tahun ini, muncul ide Syahrir untuk ikut menyewa salah satu dari tiga Pondok Paus, untuk "mendampingi" acara Hariman. Buat apa? "Terus terang, gue mau jail aja," ujar Ciil sembari terkekeh. Kedua tokoh ini memang sudah "jarang ketemu" sejak 1985 karena ada "silang pandangan". Hariman yang segera mencium gelagat ini segera membooking dua tempat, Paus 100 dan 200 sekaligus. Namun, akhirnya, keduanya sepakat untuk berkumpul, dan pembayaran dibagi dua. Barangkali, inilah yang menurut Ciil dalam pidatonya sebagai, "Kawin paksa...yang saya sama sekali tak keberatan." Inilah gaya dua tokoh Malari dalam berteman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini