NAMA Indonesia dan Ibnu Hartomo muncul di sidang pengadilan kriminal New York, pekan lalu. Itulah awal persidangan tiga warga Italia yang ditangkap polisi New York, 31 Januari tahun lalu. Mereka dituduh mencoba menjual promes "aspal" seharga ratusan juta dolar. Sial bagi ketiganya. Calon pembeli yang tampak begitu meyakinkan sebagai pengusaha, ternyata detektif urusan penipuan bisnis di AS. "Saya mendapat informasi tentang upaya menjual promes itu pada pertengahan Januari tahun lalu," kata detektif Frank Senerchia dalam kesaksiannya, Kamis pekan lalu. Dengan berpurapura sebagai pengusaha bonafide, Senerchia dan anak buahnya mengadakan serangkaian pertemuan bisnis dan pembicaraan telepon dengan ketiga warga Italia tersebut. Yang tak disangka oleh Roberto Esposito, Antonio Palmieri, dan Alexander Ambrogio, adalah bahwa semua percakapan telepon itu direkam polisi. Upaya penjebakan dianggap berhasil setelah ketiganya terekam mengatakan bahwa promes yang dikeluarkan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhamkamnas) itu pasti akan dibayar oleh Pemerintah Indonesia. Hanya, pembayarannya mungkin baru sebulan kemudian. Maka, begitu rekaman ini didapat, Senerchia dan anak buahnya segera menangkap mereka. Dari tas ketiga tersangka itu berhasil disita dokumen dan kliping media massa yang memberitakan bahwa promes yang ditandatangani Mayor Jenderal (purn.) Ibnu Hartomo itu dinyatakan Pemerintah Indonesia sebagai tidak sah. Dokumen sitaan ini sangat penting artinya bagi polisi. Pasalnya, soal sah dan tidaknya promes memang masih bisa diperdebatkan di pengadilan. Maklum, ketika menandatangani promes itu, Ibnu Hartomo masih resmi menjabat Deputi Bidang Pembangunan Jangka Panjang Wanhankamnas, instansi resmi Pemerintah Indonesia. Namun, Senerchia tahu bahwa promes ini tidak akan dibayar Pemerintah Indonesia karena Pemerintah Indonesia, tahun 1987, pernah menyidik kasus serupa. Lima sekawan kewargaan Eropa berhasil ditangkapnya dan dibuktikan bersalah oleh pengadilan New York karena menipu dengan mencoba menjual promes serupa. Tahun 1986, empat pengusaha Eropa pernah diadili di Inggris karena kasus serupa dan pengadilan memutuskan mereka tak bersalah. Jaksa tidak berhasil membuktikan promes itu palsu. Menurut hukum perdagangan internasional, promes yang diteken pejabat resmi suatu negara umumnya dianggap sah. Soal inilah yang membuat banyak pejabat Indonesia merasa pusing kepala. Maklum, promes yang diteken Ibnu Hartomo jumlahnya ratusan buah dengan nilai total sekitar 3,5 milyar dolar AS. Tahun lalu, misalnya, seorang pengacara di New York mengancam akan menuntut Pemerintah Indonesia bila tidak membayar promes yang dimiliki kliennya. Kasus serupa juga pernah muncul di Swiss, Spanyol, Korea, dan Italia. Menurut Ibnu Hartomo dalam kesaksian tertulisnya di pengadilan di Inggris, gara-gara ia tertipu pengusaha Palestina bernama Hasan A.F. Zubaidi. Pemimpin perusahaan Zubaidi Trading Company di Beirut ini menawarkan pinjaman berbunga rendah senilai 2 milyar dolar AS kepada Ibnu Hartomo, Agustus 1985. Sebagai jaminan, Ibnu diminta memberikan ratusan promes bernilai 1,4 sampai 25 juta dolar AS dengan kop surat Wangankamnas dan ditandatangani pejabat resminya dengan nilai total 3,5 juta dolar AS. Menurut kesaksian Ibnu Hartomo, promes itu hanya sebagai jaminan sampai ia memberikan promes yang dikeluarkan bank internasional yang bonafide dan direstui Pemerintah RI. "Tapi kalau itu jaminan, mengapa promes disebut berlaku untuk siapa pun dan tak dibatasi hanya untuk Zubaidi," kata Leonard A. Sclafani, pengacara New York yang mengancam akan menuntut Pemerintah RI itu. Apalagi promes tersebut diperkuat kesahihannya oleh Chalid Mawardi sebagai Dubes RI di Syria, tahun 1985. Dan keabsahan tanda tangan itu diperkuat pula oleh Kementerian Luar Negeri Pemerintahan Assad. Chalid Mawardi mengakui sebagai penandatangan dokumen tersebut. Namun, ia menyatakan hanya meneken tiga dokumen masing-masing bermilai 2,8 juta dolar AS. "Saya tidak tahu menahu soal promes itu. Karena diminta teken untuk menyaksikan bahwa beliau benar-benar pejabat kita, ya, saya teken," kata Ketua Tanfidziyah PBNU ini kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Maklum, ketika itu Ibnu Hartomo -- yang masih ipar Presien Soeharto ini -- memang masih menjadi pejabat di Wanhankamnas. Celakanya, tanda tangan ini memang memperkuat keabsahan promes. Walhasil, kendati Pemerintah RI telah menyebarluaskan pengumuman tentang tidak berlakunya promes tersebut di dunia internasional, dokumen ini ternyata masih beredar di kalangan pengusaha. Ini wajar saja. Soalnya tidak semua orang memerhatikan pengumuman di dunia internasional. Contohnya, Ibnu Hartomo sendiri tidak tahu sebelumnya bahwa pada tahun 1970-an, intitusi internasional The Council on International Banking menyebarluaskan pengumuman bahwa Zubaidi adalah penipu berkaliber internasional. Warga Yordania yang punya bisnis di Beirut dan bertempat tinggal di Damascus ini diketahui menjanjikan pinjaman berbunga lunak dengan meminta sejumlah biaya jaminan. Begitu jaminan diterima, ia pun menghilang. Dan Ibnu Hartomo pun kena tipu. Empat promes berkepala surat Windsor Trust bernilai masing-masing 500 juta dolar AS yang diberikan Zubaidi setelah menerima promes Wanhankamnas ternyata tidak berharga sama sekali. Zubaidi menyatakan promes tersebut dapat dicairkan di Bank Nova Scotia, di kepulauan Grand Cayman. Ternyata, ketika Ibnu datang ke bank tersebut, manajernya menyatakan tidak tahu menahu soal promes Windsor Trust ini. Sungguh sayang Ibnu Hartomo tidak mencari informasi dahulu tentang Zubaidi sebelum melakukan transaksi. Menurut sumber TEMPO yang pernah lama di Syria, Zubaidi yang bertubuh besar, berkumis, dan agak botak itu sangat dikenal di Syria. Selalu didampingi pengawal bersenjata, tokoh ini dikenal dekat dengan penguasa Syria. Ketika diwawancarai TEMPO lima tahun silam, Ibnu Hartomo mengatakan bertanggung jawab atas kasus ini. "Karena saya yang menandatanginya," katanya. Hal ini diperkuat oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang mengakui telah mendapat laporan tentang kasus ini. "Jadi salah alamat kalau yang dituntut adalah Pemerintah Indonesia. Itu adalah tanggung jawab Pak Ibnu sendiri," katanya kepada Linda Djalil dari TEMPO pekan lalu. Bambang Harymurti (Washington DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini