Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Malari: apa yang terjadi

Peristiwa 15 januari '74 diperingati Hariman Siregar,juga Sjahrir.Mereka sempat ditahan lima tahun. Ada yang berpendapat malari adalah permainan Psi-Masyumi, juga pertentangan Ali Moertopo-Soemitro.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGAT Peristiwa 15 Januari 1974 alias Malari? Pada hari yang nahas itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta dibakar orang. Lebih dari seratus gedung dirusak. Dalam peristiwa yang bisa disebut "hari antiJepang" itu, sekitar 800 mobil dan 200 sepeda motor dari Toyota sampai Suzuki dihancurleburkan. Sebelas jiwa melayang, 17 luka parah, 775 orang ditangkap. Sebanyak 160 kilogram emas amblas dari berbagai toko di daerah pecinan, mulai Senen sampai Glodok di Jakarta Barat. Semua terjadi selama kunjungan dua hari PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta. Sehari setelah tamu ini negara meninggalkan Bandar Udara Halim Perdanakusuma yang dijaga ketat oleh tentara, suasana panas mulai mereda. Tapi buntutnya cukup serius: lima koran terkemuka dan dua majalah di Jakarta diberangus. Sejumlah tokoh, di antaranya Prof. Sarbini Sumawinata, Dorodjatun KuntjoroJakti, Buyung Nasution, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, Laksamana Muda Mardanus, Sjahrir, Hariman Siregar, ditahan. Kini, setelah 18 tahun berlalu, dan 15 Januari 1992 melintas, selalu muncul pertanyaan: apa yang sesungguhnya dihasilkan oleh Malari? Jawabnya sulit. Sebab, Malari telah melibatkan banyak "pemain" dengan sasaran yang berbeda. "Malari adalah puncak dari berbagai konflik yang ada saat itu," ujar seorang yang terlibat. Awal konflik, sekitar pertengahan 1973, bisa ditandai dengan tumbuhnya berbagai diskusi yang mengkritik strategi pembangunan pemerintah, yang dianggap lebih banyak mengurusi angka pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan sosial. Suatu kritik yang memang lagi populer kala itu. Ekonom kondang MahbubulHaq, asal Pakistan, yang memuji konsep pemerataan di RRC, bahkan menjadi buah bibir para mahasiswa dan ekonom di Indonesia. Pada 24 Oktober, di kampus Salemba ada lagi diskusi yang menghadirkan tokoh dari berbagai angkatan. Ada bekas Wali Kota Jakarta Sudiro, ada Menlu Adam Malik, tokoh pers B.M. Diah, tokoh '66 Cosmas Batubara, sampai Ketua DMUI Hariman Siregar. Hasil diskusi inilah yang kemudian dibacakan di TMP Kalibata, lalu dikenal sebagai Petisi 24 Oktober. Isinya, yang paling pokok, perlu disusun strategi pembangunan baru, yang lebih seimbang, baik di sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Adalah Jenderal Soemitro, Panglima Kopkamtib, yang ditugasi oleh Presiden untuk berkeliling kampus di Jawa, agar menenangkan suasana. Pertengahan November 1973, di depan mahasiswa di Yogyakarta, Soemitro melontarkan soal pola kepemimpinan baru. Dalam pola baru ini, pemimpin dari tingkat paling tinggi sampai desa akan mampu berkomunikasi dua arah dengan rakyat. Kepemimpinan baru nanti, kata Soemitro, harus mampu menyelesaikan masalah kelemahan komunikasi sosial. Ucapan itulah yang rupanya telah disalahtafsirkan, terutama di kalangan kampus, sebagai tandatanda akan adanya penggantian pimpinan nasional. Peristiwa penting lain adalah kedatangan Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda dan Ketua IGGI Jan Pieter Pronk di Jakarta, 22 November 1973. Jajang Pamuntjak diutus menyerahkan sekuntum bunga carnation putih pada Pronk di Halim Perdanakusuma. Ternyata, mahasiswi FISUI itu juga disuruh menyelipkan selembar surat permintaan dari beberapa mahasiswa yang ingin bertemu dengan Menteri Pronk. "Gue sempat ditariktarik pihak keamanan dan langsung dihalau," cerita Jajang -- kini istri dramawan Arifin C. Noer -- pada TEMPO pekan lalu. Lusanya, datang utusan dari Kedubes Belanda untuk menyampaikan kesediaan Jan Pronk untuk bertemu dengan mahasiswa. Pertemuan Pronk dengan lima aktivis UI berlangsung di sebuah kamar di HI, Jakarta. Pronk diberi gambaran tentang pembangunan ekonomi di Indonesia yang mereka anggap berjalan timpang. Hingga ada yang nyeletuk, "Mister Pronk, bantuanmu dan IGGI hanya menambah ketergantungan dan korupsi . . .," yang oleh Pronk kabarnya dijawab, "Apakah Anda ingin saya menghentikan bantuan?" Di seputar saat itulah mulai marak ketidaksenangan terhadap modal Jepang. Menurut Sjahrir, mantan demonstran itu, investor Jepang memang terkenal pongah waktu itu. "Kehidupan mereka di sini sangat eksklusif," ujarnya. Suasana antiJepang juga terjadi di beberapa negeri tetangga seperti Filipina dan Muangthai. Tapi, banyak pengamat menilai, ada faktor penting yang ikut mendorong pecahnya Malari. Yakni, "rivalitas" antara Jenderal Soemitro dan Mayor Jenderal Ali Moertopo, Aspri Politik Presiden Soeharto. Ali, yang ketika itu populer sebagai Ketua Opsus -- tak lama setelah Malari dibubarkan oleh Presiden -- memang banyak pendukungnya. Antara lain CSIS, yang lebih dikenal dengan sebutan "Tanah Abang". Adalah Ali dan Soedjono Humardani (keduanya sudah almarhum) yang mendirikan lembaga CSIS itu, 20 tahun silam. Ketika ditemui TEMPO pekan lalu, Soemitro mengenang ucapannya yang agak berapiapi kepada Ali Moertopo. "Saya pernah panggil Ali, setelah dengar dari Pak Harto. Saya bilang, kamu bintang dua, saya bintang empat. Tapi, kalau kamu ingin jadi presiden, itu hakmu, asal jangan membangun kekuatan untuk menjatuhkan Pak Harto. Kalau kamu membangun kekuatan, kamu berhadapan dengan saya." Adalah Harry Tjan Silalahi, tokoh Orde Baru dan seorang pendiri CSIS, yang tak percaya Ali ingin menjadi presiden. "Baik Ali maupun Soemitro tidak bisa dan tidak berani melepaskan diri dari Soeharto. Keduanya mendukung Soeharto. Tapi keduanya bersaing ingin merebut peran sebagai orang paling dekat dengan Soeharto," katanya. Pendapat Harry ada benarnya. Tapi rivalitas dua jenderal itu sudah merembet sampai ke UI. Alilah yang dituding ingin "masuk" ke Salemba. Massa kampus yang terkenal dengan jaket kuningnya itu sebagian besar adalah anggota HMI. Tapi di kampus Salemba itu pula ketika itu lahir Grup Diskusi UI. Pendirinya 17 orang, antara lain Sjahrir dan Juwono Sudarsono. "GDUI setidaknya bisa memberikan suatu warna lain, di samping HMI yang besar pengaruhnya ketika itu," kata seorang pendirinya. Hariman Siregar, calon dokter yang banyak temannya, juga anggota GDUI. Dia tak punya kelompok, tapi didukung oleh kelompok-kelompok nonHMI. Dan akhirnya, GDUI sepakat mendukung Hariman sebagai Ketua Dema yang selama itu dipegang oleh HMI. Namun, ujar seorang pengamat, "Dia mau jalan sendiri saja, sulit diatur." Dan ternyata, Hariman memang sudah sering bertandang ke Tanah Abang menemui Ali Moertopo. "Pendukung saya sebenarnya, ya, GMNI, PMKRI, dan Pak Ali," kata Hariman sembari tertawa pekan lalu. Hubungan Hariman dengan Ali Moertopo berlangsung lewat jalur Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia, yang dikenal dekat dengan Golkar. Sejak 1972, Hariman sudah diangkat sebagai Sekjen IMKI lewat kongres di Makassar. Dia juga sering tampil di berbagai forum yang dikunjungi Ali Moertopo. "Saya diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan," kata Hariman, yang kini memimpin Persija Selatan. Tapi riwayat Hariman dengan Ali Moertopo tak berlangsung lama. Ketika terpilih sebagai Ketua Dema, ia menolak permintaan agar "membersihkan" HMI dari kepengurusannya. "HMI kan mendapat suara nomor dua terbanyak, ya, saya angkat Yudil Herry (anggota HMI -- Red.) sebagai Sekjen, dong," kata Hariman. UI, seperti pada zaman Orde Lama, kembali menjadi ajang kepentingan politik di luar kampus. Konon, ada aktivis yang memesan agar Dema UI tak menyerang lagi soal strategi pembangunan yang merupakan produk Bappenas. Ada lagi yang justru meminta Bappenas sebagai sasaran gerakan. "Menjelang Oktober, sudah begitu banyak gerakan di luar. Saya pikir, saya harus konsolidasi dulu ke dalam kampus. Saya buat diskusidiskusi," ujar Hariman, yang saat itu baru 23 tahun. Dengan dukungan konsep GDUI, Hariman berangkat ke berbagai kampus untuk menggalang massa. Akhirnya, Dema UI bikin kesepakatan dengan 10 kampus untuk bertemu Presiden pada 26 Desember 1973, ingin bertanya tentang strategi pembangunan RI yang dianggap timpang itu. Lusanya, Presiden ternyata bersedia menerima pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Di luar dugaan, dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Mensesneg Sudharmono, terlontar beberapa pertanyaan yang kasar dan menudingnuding. "Saya jadi bingung," kata Hariman. Pak Harto, yang ketika itu tampak kalem, menutup pertemuan singkat itu dengan menyerahkan Buku RAPBN kepada mahasiswa. Tak berhenti sampai di situ, para mahasiswa pun ingin menyambut rencana kunjungan PM Tanaka dengan demonstrasi besar. Sebenarnya, ketika itu tuntutan Dema UI untuk berdialog dengan PM Tanaka sudah diterima, dan dijadwalkan pada 15 Januari. Tapi, "Saya ditekan temanteman dari seluruh Indonesia itu. Kalau datang, berarti pengkhianat. Akhirnya, dialog diganti dialog jalanan," cerita Hariman. Dia mengaku sangat bingung menerima desakan ini. "Saya stres," kata Hariman. Pada pagi 15 Januari itu, dia sampai membuka bajunya yang dibasahi keringat. Dan meledaklah malapetaka itu. Letjen. (Purn.) Sutopo Juwono, Kepala Bakin pada zaman itu, bercerita: "Yang jelas, sebagian dari yang ditahan ada yang mengaku sebagai orangnya Ali Moertopo. Tapi jangan dikira semua orangnya AM. Sebagian tidak." Bahkan, Jenderal Nasution pun disebut-sebut punya peran. Tentang ini, Nasution tegas menjawab, "Saya tidak menggerakkan mahasiswa. Prinsip saya, jangan generasi muda didikte. Apa komentar Hariman, yang bersama Sjahrir sempat ditahan selama lima tahun? "Saya sadar benar, memang banyak yang menunggangi gerakan mahasiswa." Malari akhirnya hanya menciptakan skenario-skenario. Ada teori yang mengatakan ini permainan PSIMasyumi yang ingin come back lewat anak-anak muda di kampus. Ada teori pertentangan Ali MoertopowSoemitro, ada pula yang bilang ini aksi mahasiswa yang antiJepang. Bagaimana ini semua bisa dibuktikan, itulah bagian paling "gelap" dari Malari. Sebuah "harga" yang sangat mahal untuk peristiwa yang menelan banyak korban itu. Toriq Hadad, Leila S. Chudori, Sandra Hamid, Ivan Haris, Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus