Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luhut Binsar Panjaitan agaknya puasa bicara setelah gagal masuk Kabinet Kerja. Tatkala Tempo meminta wawancara pada Selasa pekan lalu, purnawirawan letnan jenderal TNI itu menyahut dalam satu kata saja. "Watimpres," ujarnya via telepon. Lalu Luhut memutus sambungan. Jawaban sekalimat itu muncul sekitar sepekan setelah Presiden Joko Widodo melantik kabinetnya. Ajakan bertemu lewat anggota staf persnya pun ditolak dengan alasan, "Untuk saat ini belum ada waktu interview."
Ketidakpastian posisi Luhut—menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Kepala Kantor Kepresidenan seperti rumor yang beredar sebelumnya—tak terjawab sampai sekarang. Jumat pekan lalu, ia dipanggil lagi oleh Presiden Joko Widodo. Tapi tak ada keterangan apa yang mereka bicarakan.
Andi Widjajanto, mantan Deputi Tim Transisi yang belakangan ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet Kerja, tak menerangkan perihal jabatan Luhut. Adapun tentang siapa yang bakal mengisi kursi Kepala Kantor Kepresidenan, "Keputusannya ada di Presiden," ujar Andi setelah menemui Luhut di kantornya, di Wisma Bakrie, bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
Pembentukan Kantor Kepresidenan diperkirakan baru tiga bulan lagi. Nomenklatur dan anggaran lembaga baru itu baru dimasukkan ke Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015—akan dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan ini.
Dari beberapa orang yang mengetahui proses penyusunan kabinet, datang informasi yang menyebutkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri termasuk yang "memotong" sehingga Luhut tak mendapat kursi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Megawati keberatan karena Luhut dianggap terlalu mendominasi Presiden Jokowi.
Kedekatan Luhut dengan Jokowi sudah terjalin lama lewat jalur bisnis. "Dari semua calon menteri, hanya Pak Luhut yang saya kenal baik," kata orang dekat Luhut menirukan ucapan Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi pun mengakui kedekatan itu. Luhut turut menyokong Jokowi dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012. Dalam kampanye pemilihan presiden lalu, dia menggelar acara menggalang dukungan masyarakat Batak di Pulomas, Jakarta Timur.
Megawati kemudian memilih Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Jenderal Purnawirawan Wiranto sebagai penggantinya. Tapi Wiranto terbentur masalah dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Jatah Wiranto diserahkan kepada politikus Hanura, Saleh Husin, sebagai Menteri Perindustrian. Hanura juga menempatkan Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dikabarkan, Luhut menyorongkan Laksamana Purnawirawan Tedjo Edhy Purdijatno, yang kemudian berhasil menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Tedjo politikus Partai NasDem dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut pada 1 Juli 2008-9 November 2009. Kepada Tempo, Luhut membantah kabar bahwa ia mengajukan banyak calon menteri, termasuk Tedjo, kepada Jokowi. "Saya tak dalam posisi mengajukan calon," kata mantan anggota Dewan Penasihat Tim Transisi ini kepada Tempo, dua pekan lalu.
Kubu Mega juga mengelak. Menurut Ketua PDIP Bambang Wuryanto, Mega tak pernah mengintervensi Jokowi dalam penyusunan kabinet. "Apalagi Pak Luhut bukan kader PDIP," ujar politikus yang dekat dengan Puan Maharani ini, Jumat pekan lalu.
Di kabinet, Puan—putri Megawati—didapuk menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Menurut Pacul, begitu nama sapaan Bambang Wuryanto, berbeda kasusnya kalau calon menteri adalah kader partai banteng. Untuk menjadi menteri, kata Pacul, kader harus direkomendasi Mega. Tanpa rekomendasi Mega, Maruarar Sirait, Ketua PDIP yang juga putra salah satu pendiri partai, Sabam Sirait, gagal menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika.
Bambang Wuryanto mengaku tak tahu mengapa Ara—nama panggilan Maruarar—tak direkomendasi partai. Tapi beberapa politikus PDIP mengatakan dia terlalu frontal melawan Puan. Ketika Puan hendak ditunjuk sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR, Ara termasuk yang ngotot menolak dengan alasan Puan kurang matang berpolitik. Ara juga disebut-sebut terlalu berani mewacanakan Ketua Umum PDIP bisa saja bukan trah Sukarno.
Sabtu pagi dua pekan lalu, sehari sebelum pengumuman anggota kabinet, beredar daftar menteri lewat pesan pendek yang mencantumkan nama Ara. Daftar itu disebut hasil terakhir pembahasan di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, tempat tinggal Mega, pada Jumat malam. Benar juga, pada Sabtu pagi itu, 25 Oktober, Presiden Jokowi menghubungi Ara untuk mengabarkan namanya masuk nominasi.
Namun Jokowi mesti menunggu rekomendasi dari Mega karena nama Ara tak ada dalam rekomendasi PDIP. Restu partai diberikan kepada enam orang tanpa Ara, yakni Rini Soemarno, Puan, Susi Pudjiastuti, Yasonna Laoly, Ryamizard Ryacudu, dan Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. "Jawaban dari Bu Mega ditunggu sampai Minggu jam sebelas," ujar orang yang tahu kisah ini.
Kabinet akan diumumkan pada Ahad sekitar pukul 15.00, tapi kabar baik bagi Ara belum juga datang. Mengenakan kemeja putih, Ara merapat ke Teuku Umar. Ia menunggu lama, tapi Mega tak kunjung menemuinya. Sekitar pukul 14.00, dia melompat ke Istana. Beberapa calon yang namanya akan diumumkan, termasuk Puan, sudah di sana. Menurut Andi Widjajanto, Ara lalu masuk ke ruang kerja Presiden.
Mega pun memprotes ke Istana. "Beliau menanyakan siapa yang memasukkan nama Ara," kata salah satu orang di Istana yang tahu persis peristiwa ini. Politikus PDIP, Aria Bima, adalah orang yang disebut-sebut membawa nama Ara ke Jokowi. Luhut ikut mendorong. Tapi Aria Bima membantah. "Kok, menempatkan saya seperti orang hebat?" ujarnya.
Anggota kabinet pun diumumkan pada Ahad petang tanpa nama Ara. Kursi Menteri Komunikasi diduduki Rudiantara, profesional bidang telekomunikasi dan mantan Wakil Presiden Direktur PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Seusai acara, Jokowi menyempatkan diri berbincang dengan Ara. Presiden juga mengantar Ara sampai ke mobil ketika hendak pulang.
Ara, yang sedang mendampingi ayahnya berobat di Singapura, memberikan penjelasan normatif. "Sebagai kader, saya tetap loyal kepada partai," katanya via pesan pendek, Jumat pekan lalu.
Lain lagi kisah Saldi Isra, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang. Dia gagal menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada 22 Oktober lalu, Saldi dan Jokowi berbincang selama sekitar 15 menit tentang hukum dan posisi Sekretariat Negara.
Beberapa orang di sekitar Presiden Jokowi menceritakan, Saldi dicoret karena sudah ada dua orang berdarah Minang yang pasti masuk kabinet, yakni Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Achir Chaniago serta Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek. "Suara Jokowi-JK di Sumatera Barat cuma sekitar 20 persen."
Saldi mengaku tak mau tahu alasan batalnya dia menjadi menteri. Kata Saldi, "Tidak masalah."
Jobpie Sugiharto, Pramono, Sunudyantoro, Tika Primandari, Indra Wijaya, Reza Aditya, Ananda Teresia, Andri El Faruqi (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo