PERKELAHIAN antarpelajar, khususnya di Jakarta, akhir-akhir ini bikin pusing. Tak terkendalikan dan brutal. Bayangkan, mereka sudah mulai menyewa tangan-tangan bayaran, dan terjadilah pembunuhan. Aksi gaya intifadah -- melempar batu -- bagaikan tontonan sehari-hari. Bahkan nyaris menjadi mode. Banyak pihak lalu prihatin. Orangtua bingung, masyarakat resah, dan aparat pemerintah kelabakan. Selasa pekan lalu, satu slagorde siswa berseragam sekolah dari SMA 70 melangsungkan pertempuran massal dengan siswa-siswa STM Penerbangan di Blok M. Disaksikan sendiri oleh pimpinan SMA 70, perang batu itu konon menyertakan juga senjata tajam. Berlangsung seram, setelah terdengar isu bahwa SMA 70 bergabung dengan kelompok Boedoet untuk menggempur STM Penerbangan. Kelompok "Boedoet" adalah sekumpulan siswa-siswa SMA dan STM di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Aparat keamanan pun kontan meringkus puluhan pelaku. Menurut Abdul Basri, Wakil Kepala Sekolah SMA 70, kepada Gabriel Sugrahetty dari TEMPO, 15 siswa SMA 70 terjaring "operasi" pasukan resmi dari kepolisian. "Mereka ditelanjangi dan disuruh merangkak-rangkak," katanya. Akhir bulan lalu, kerusuhan serupa sempat terjadi di Jalan Budi Utomo. Sekumpulan siswa SMA 1, STM 1, dan STM 5 gontok-gontokan dengan batu lawan siswa-siswa SMA X. Tidak sedikit kepala yang benjut. Termasuk 3 buah mobil milik guru dan 3 buah lagi milik siswa penyok dicakar batu. Malah, papan nama SMA I pun ikut peot. Nahasnya, ada batu alam yang nyasar menghantam sebuah mobil milik seorang perwira menengah ABRI. Keruan saja, para pelajar lantas lari pontang-panting, bersembunyi di tiga gedung sekolah tersebut. Akibatnya, beberapa orang guru kena tampar, dan tidak sedikit siswa yang mencicipi sabetan kayu baso. Ada yang memar, kepala bocor, dan bahkan muntah darah. Sigit, siswa SMA 1, misalnya, kepalanya terpaksa dijahit. "Wajah saya kena sepatu lars, dan saya muntah darah," katanya. Lampu-lampu motor dan kaca gedung sekolah pun, tak ayal lagi, pada pecah berantakan. Perang batu secara massal, antarkelompok, belakangan ini memang semakin "nge-trend" dan mengkhawatirkan. Sampai-sampai Ketua DPD Golkar DKI Jakarta, Basofi Sudirman, meminta perhatian segenap jajaran organisasinya agar tanggap menghadapi masalah ini. Tak kurang dan Menpora Akbar Tanjung -- yang paling bertanggung jawab atas ihwal kepemudaan -- juga menyatakan siap membuka dialog terbuka dengan pelajar yang gelut itu dalam waktu dekat. "Selama ini agaknya memang kurang ada suasana dialog," kata Menpora. Apalagi ada campur tangan pihak ketiga yang diduga ingin memanfaatkan situasi. Disinyalir, kelompok ekstremlah yang mem-back-up kerusuhan ini. Maka, disebut-sebutlah perkelahian massal ini bisa mengeruhkan situasi. Kemungkinan sebagai kapak pemecah belah persatuan dan pengadu-domba sesama pelajar. Adanya campur tangan dari luar dibenarkan oleh Azhar Adjoeng, Wakil Kepala SMA X. "Memang ada anak-anak yang mengupah orang luar untuk melakukan pemukulan terhadap siswa-siswa dari sekolah lain," katanya. Biasanya, siswa-siswa itu dikoordinasikan untuk mengumpulkan sejumlah uang. Itulah sebabnya perkelahian kian brutal, sporadis, dan bahkan sadistis. Apalagi tidak sedikit copet-copet yang terjun sambil mengenakan baju seragam sekolah. Artinya, tidak tertutup kemungkinan makhluk-makhluk "panjang tangan" itu dilibatkan dalam perkelahian, sekadar untuk mendapatkan imbalan uang. Beberapa siswa kelompok Boedoet mengaku sering kena todong dan kecopetan. "Jadi, orang luar itulah sebenarnya yang suka bikin gara-gara," kata M. Abrool, siswa SMA I di Jalan Budi Utomo. Tapi keterlibatan pihak luar itu juga sekadar akibat. Menurut sumber TEMPO di Kanwil P dan K DKI, orang luar terpaksa didatangkan karena siswa-siswa yang masih duduk di kelas satu tidak tahan menghadapi teror yang dilakukan kakak kelasnya sendiri. Anak-anak yang masih berbau kencur itu biasanya diperas per orang Rp1.000. Bahkan kalau ada anak baru yang kelihatan pakai kalung dan bersepatu bagus dia langsung ditodong di depan sekolah. Lama-lama anak baru itu mengadu kepada gang atau abangnya yang ada di sekolah lain. Akibatnya, perkelahian massal dengan pihak luar tak terelakkan lagi. Coba saja perhatikan, aksi perkelahian biasanya menghangat pada bulan Agustus sampai Oktober, saat siswa kencur itu dikerjain. Anehnya, ini sering kurang diperhatikan, bahkan di luar perhitungan pimpinan sekolah. Kakanwil P dan K DKI Soegijo kemudian menganggap, "Perkelahian itu sudah di luar kemampuan kami untuk mengatasinya." Tindakan anak didiknya sudah dianggapnya brutal dan sporadis. Ia menggambarkan betapa ganasnya siswa Metropolitan sekarang. Hari ini ribut di Jakarta Selatan, besok hantam-hantaman di Jakarta Timur, lusa gasak-gasakan di Jakarta Pusat, dan seterusnya. "Kalau ada yang meragukan kemampuan saya, saya kembalikan kepada yang mengangkat saya. Silakan menilai. Begitu pula jika Gubernur menganggap saya tidak mampu menanggulangi masalah ini," ujarnya. Dalam hasil pengamatan Hotline Service Bersama -- sebuah biro konsultasi orang-orang yang mempunyai masalah lewat telepon -- perkelahian itu sekadar pelampiasan akibat broken home dan persaingan masuk perguruan tinggi yang kian ketat. Anak-anak "rumah berantakan" itu kemudian berkelompok -- terdiri dari 50 sampai 70 orang. "Inilah yang biasa disebut kelompok tukang berkelahi dan teler-teleran," kata Asri Hadi, Ketua Hotline Service Bersama, kepada Mukhlizardy Mukhtar dari TEMPO. Setiap hari, Asri mencatat sekitar 40 pengaduan masalah remaja, 26% di antaranya adalah menyangkut perkelahian antarpelajar. Tak hanya perkelahian, masalah lain pun menumpuk. Di belakang gedung SMA X, misalnya, adalah tempat pelacuran. Ada pula minuman keras dan obat bius. "Saya tahu persis bahwa anak-anak sekolah sering membeli minuman keras dan obat-obatan di situ," kata Azhar Adjoeng. Itulah sebabnya, menurut Suradiman, kepala SMA X, dilakukan kerja sama dengan tingkat RT dan kelurahan setempat. Soegijo mencatat ada sekitar 60 juta pil BK yang beredar di pasaran. Sementara itu, dari data yang diperoleh Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jalan Fatmawati, tercatat 70% penyedot obat-obatan terlarang adalah pelajar. Mereka juga banyak melakukan tindak kekerasan. Omong-omong, pihak P dan K sebenarnya sudah lama mengambil langkah-langkah pencegahan. Sudah lahir Badan Kontak Kerja Sama Antarsekolah, Pusat Pengendalian Gangguan Sekolah, dan Badan Pembina Keamanan Sekolah. Bahkan patroli sekolah pun ada. Tapi kondisi lingkungan Metropolitan memang kompleks. Sementara itu, para siswa sendiri masih tergolong rawan umur. Manusia dalam kelompok usia sebegitu konon, sedang mencari bentuk. Kebrutalan-kebrutalan itulah yang menghantui aparat keamanan belakangan ini. Dalam tempo setahun terakhir ini, menurut Kapolda Metro Jaya Mayjen. Poedy Syamsuddin, perkelahian antarpelajar sudah melampaui batas toleransi. "Pembunuhan," katanya. Kapolda lalu mengambil sikap keras, siap menyeret pelaku kerusuhan itu ke pengadilan. Maka, tak urung, banyak pihak memuji langkah yang bakal diayunkan Poedy Syamsuddin. Demikian pula Kapolda Jabar Mayjen. Sidharto, terpaksa memproses 3 siswa yang melakukan pengrusakan di Bandung, untuk diseret ke pengadilan. Karena perkaranya cukup parah, dan membawa-bawa senjata tajam, "Kami harus konsekuen. Pokoknya, pidana," kata Sidharto. Masalah ini sebenarnya membutuhkan penyelesaian bersama dan melibatkan beberapa instansi terkait. Kapolda Poedy Syamsuddin menyebut betapa pentingnya peran polisi, pendidik, ahli sosial, dan pemuka agama. Kakanwil DKI Soegijo pun akur. Bahkan ia pun menyetujui langkah beberapa pimpinan sekolah yang memecat siswa yang terlibat kerusuhan frontal itu. "Kembalikan saja mereka pada orangtuanya. Biar dididik dan menjadi tanggung jawab orangtuanya lagi," katanya. Agus Basri (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini