Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN terakhir, Yefta Kammi terpaksa bolak-balik menyeberang laut dari tempat tinggalnya di Pulau Arar, Distrik Mayamuk, untuk pergi ke pusat pemerintahan Kabupaten Sorong di Distrik Aimas. Sebuah pemberitaan media lokal pada Agustus lalu membuat Kepala Adat Marga Kammi—salah satu marga di suku Moi—itu gusar. Berita itu menyebutkan bahwa pemerintah telah membebaskan lahan seluas 338,5 hektare di lokasi pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yefta, hingga saat ini, masyarakat adat suku Moi dari marga Kammi sebagai pemilik tanah ulayat di Mayamuk baru melepaskan lahan seluas 170 hektare. “Jadi, kami ingin minta data lahan mana yang dibilang pemerintah telah dilakukan pembebasan itu,” kata Yefta kepada Tempo di rumahnya pada Sabtu, 23 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pulau Arar terletak di Selat Sele sisi utara, selat di antara Pulau Salawati dan Semenanjung Doberai—wilayah yang menyerupai kepala burung di Papua. Perlu waktu 20 menit menyeberang laut dengan menaiki perahu nelayan untuk menuju ke daratan seluas 50 hektare itu.
Adapun KEK Sorong berada di seberang pulau itu, sekitar 2 mil laut ke arah selatan. Meski ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2016, KEK Sorong baru diresmikan pada Oktober 2019 dengan total luas mencapai 523,7 hektare. Pemerintah memproyeksikan KEK Sorong bisa menarik investasi senilai Rp 32,2 triliun untuk pengembangan industri logistik, agro industri, pertambangan, hingga galangan kapal.
Masyarakat Adat Suku Moi Marga Kammi, Yefta Kammi dan Oktaviani Desi Kalaibin, 23 September 2023. Dok. Tempo
Sabtu siang, 23 September lalu, Tempo sempat menengok area pengembangan KEK Sorong sebelum menyeberang ke Pulau Arar. Sebagian besar area yang disiapkan di KEK ini masih berupa lahan yang dipenuhi aneka pepohonan, seperti pisang dan sagu. Lahan itu terbagi dalam beberapa blok dengan jalan beraspal sebagai pembatasnya. Peta rencana induk KEK Sorong memang menunjukkan kawasan ini akan dikembangkan dalam beberapa kluster, seperti area pelabuhan logistik, terminal kontainer, serta zona industri menengah dan besar.
Namun pembangunan di area KEK hanya terlihat jelas di wilayah yang berhadapan langsung dengan Selat Sele. Di sana telah tersedia dermaga logistik yang dibangun bersebelahan dengan Pelabuhan ASDP Kabupaten Sorong—atau biasa dikenal sebagai Pelabuhan Arar. Dermaga logistik itu berderetan dengan sejumlah prasarana industri penghuni awal KEK Sorong, seperti fasilitas distribusi aspal curah PT Bumi Sarana Utama (Kalla Aspal), unit pengolahan kayu dan sawit PT Henrison Inti Putra, pabrik pengepakan semen PT Semen Gresik, serta area pemuatan LPG Petrogas (Basin) Ltd.
Karena sebagian area rencana pengembangan masih kosong, KEK yang baru berumur lima tahun itu tampak lengang. Truk pengangkut barang memang masih tampak melintas di dalamnya, meninggalkan jejak debu di sepanjang jalan utama yang dilaluinya. Namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Awal Agustus lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sempat berkunjung ke kawasan ini. Dia datang untuk mengikuti Rapat Koordinasi Teknis Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) se-Provinsi Papua Barat Daya. Dia menilai kondisi KEK Sorong tidak berubah sejak diresmikan. "Belum berkembang signifikan," kata Bahlil pada Jumat, 4 Agustus lalu.
Masalahnya, dalam rapat itu, pemerintah mengklaim pembebasan lahan untuk kebutuhan KEK Sorong telah mencapai 338,5 hektare atau sekitar 64,64 persen. Angka ini yang dipersoalkan oleh Yefta.
Pulau Arar, tempat tinggal Suku Moi, Marga Kammi, 23 September 2023. Dok. Tempo
Meski bermukim di Pulau Arar, marga Kammi memiliki tanah ulayat hingga ke daratan kepala burung Papua, termasuk di antaranya tanah yang menjadi lokasi pembangunan KEK Sorong. Kammi merupakan satu dari belasan gelek alias marga suku Moi, suku asli yang mendiami wilayah Kota Sorong, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Raja Ampat. Yefta menjabarkan, tanah ulayat marga Kammi mencakup area seluas 40 ribu hektare.
Menurut dia, marga Kammi tak menolak program pemerintah untuk mengembangkan KEK Sorong. Namun mereka menginginkan pengalihan hutan adat itu menggunakan skema sewa dalam kurun waktu tertentu, bukan jual-beli. “Cara ini untuk menjamin masyarakat juga bisa dilibatkan dalam pembangunan KEK,” kata pria berusia 42 tahun itu.
Anggota masyarakat adat marga Kammi, Oktavina Desi Kalaibun, mengatakan selama ini mereka memang lebih memanfaatkan hasil laut untuk kehidupan sehari-hari. Namun hutan adat di wilayah hak ulayat marga Kammi sangat penting karena menjadi sumber penghidupan tatkala cuaca sedang buruk. Di sana masyarakat menanam sagu, pisang, dan durian.
Di sisi lain, hutan adat marga Kammi juga penting bagi marga-marga lain. Perempuan berusia 35 tahun itu mengatakan marga Kammi selama ini mengizinkan marga lainnya berkebun di sebagian wilayah hutan adat mereka. “Jadi, bila hutan adat digusur, bukan hanya marga Kammi, marga lain, seperti marga Kokmala, juga akan terkena dampak,” kata Oktavina.
Rosita Kokmala, anggota masyarakat suku Moi dari marga Kokmala, mengamini pernyataan Oktavina itu. Selain memanfaatkan hasil laut, dirinya berkebun di hutan adat marga Kammi. “Kami biasanya menanam sagu,” kata Rosita, yang juga tinggal di Pulau Arar.
Menurut Rosita, banyak marga lain di Kampung Arar yang bermukim di hutan adat tersebut. Mereka sebelumnya sudah meminta izin secara lisan kepada kepala adat marga Kammi sebagai pemegang hak ulayat sah. “Mereka sebelumnya merupakan anak dari warga Pulau Arar. Mereka pindah karena di Pulau Arar sudah tak ada tanah lagi untuk membuat rumah,” ujarnya.
Rosita khawatir, bila hutan adat suku Kammi dirampas, dirinya dan warga lainnya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dia juga waswas terhadap potensi dampak buruk akibat menjamurnya industri skala besar dan menengah di Distrik Mayamuk. “Sekarang saja setiap naik air pasang terjadi banjir di Pulau Arar,” kata dia.
Masyarakat Adat Klagilit Mawera, Lazarus Klagilit. Dok. Tempo
Masyarakat Adat Terimbas Pengembangan KEK Sorong
Marga Kammi dan Kokmala bukanlah satu-satunya yang terancam oleh pengembangan KEK Sorong. Marga Klagilit Maburu juga kini ketar-ketir dengan rencana pemerintah membangun akses jalan penghubung KEK Sorong yang akan memakan hutan adat mereka.
Lazarus Klagilit, tokoh adat marga Klagilit Maburu, masih ingat peristiwa pada hari peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu. Kamis sore itu, Lazarus diberi tahu oleh kerabatnya bahwa sejumlah pegawai pemerintahan datang ke lokasi hutan adat mereka untuk melakukan pengukuran. Dia pun bergegas pergi untuk menemui para aparatur sipil negara tersebut.
“Saat ditanya mereka mau apa, mereka bilang, 'mau melakukan pengukuran batas hutan.' Kami bilang, 'kami sudah punya peta adat,'” kata Lazarus di Kampung Wonosobo, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong, 23 September lalu.
Lazarus merasa heran dengan kedatangan tamu tak diundang itu. Pasalnya, mereka mengaku sebagai pegawai Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Manokwari, sedangkan hutan adat marga Klagilit Maburu berada di wilayah Kabupaten Sorong. Rupanya, menurut Lazarus, pegawai tersebut mengukur untuk kepentingan proyek jalan penghubung KEK Sorong.
Masyarakat adat marga Klagilit selama ini menolak wilayah adat mereka dijadikan jalan akses KEK Sorong. Pasalnya, jalan itu akan merusak dusun sagu dan daerah keramat Klagilit.
“Langsung kami suruh pergi. Selama ini kami bertanya, KEK ini kawasan ekonomi khusus, tapi kami tak tahu khususnya untuk siapa? Yang pasti khususnya bukan untuk kami, masyarakat adat,” kata Lazarus.
Jalan penghubung utama KEK Sorong di Distrik Salawati, 23 September 2023. Dok. Tempo
Bagi marga Klagilit, hutan merupakan sumber kehidupan. Dia yakin, saat awal penciptaan dunia, hutan sudah diciptakan untuk masyarakat adat. Dari satu tempat, manusia menyebar ke penjuru dunia, lalu menetap di suatu lokasi. Dari lokasi itu, sudah ditentukan secara alami batas-batas hutan. Batas itu berupa sungai, gunung, hingga perbukitan. Selama itu pula masyarakat memanfaatkan hasil bumi dari hutan, seperti sagu dan keladi, serta hasil berburu. “Di hutan, kami tak perlu berkebun. Kami tinggal buang bibit saja, nanti tumbuh sendiri,” kata Lazarus.
Masyarakat adat Klagilit juga yakin ada tempat suci atau keramat di hutan mereka. Tempat itu tidak boleh diganggu dengan cara dirusak. Bila diganggu, akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat Klagilit. “Itu tempat suci. Kami tak mau mendapat dampak,” ujarnya.
Karena itu, menurut Lazarus, menjual hutan juga tak ada manfaatnya. Ganti rugi yang diberikan tidak akan setimpal karena akan habis dalam satu hingga dua tahun saja. Sementara itu, hutan akan diteruskan kepada anak cucu kami terus-menerus. “Kami tidak bodoh,” ujarnya.
Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat wilayah adat marga Klagilit Maburu-Mawera telah terverifikasi seluas 1.977 hektare. Marga Maburu-Mawera ini berjumlah 128 jiwa dari 35 keluarga. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sagu.
Pemuda adat suku Moi marga Klagilit, Yakob Klagilit, mengatakan masyarakat menolak investasi karena trauma dengan industri sawit di Kampung Wonosobo. Masuknya perusahaan sawit sejak 2003 justru membuat hutan rusak.
Menurut Yakob, pengelola KEK Sorong telah mensosialisasi rencana pembangunan akses jalan sejak 2017 di Balai Desa Kampung Wonosobo. Namun warga menolak proyek itu. “Masyarakat adat tak mau hutan keramat mereka rusak,” kata pria berusia 22 tahun ini.
Marga Klagilit, kata Yakob, kini menjadi satu-satunya subsuku Moi yang masih bertahan menolak pembangunan jalan. Tujuh hutan adat milik subsuku Moi lainnya telah diterabas dan disulap menjadi jalan. “Karena itu, kami khawatir, sewaktu-waktu akan ada kekerasan kepada kami,” kata Yakob.
Selama ini, Yakob mengatakan masyarakat adat Suku Moi Seigin telah melakukan beberapa cara untuk mempertahankan hutan adat mereka. Di antaranya, mereka membuat peta adat yang isinya menjelaskan bukti sejarah dan budaya suku Moi Seigin. “Suku Moi Seigin juga memperkuat pendidikan adat para pemuda untuk menguatkan rasa cinta terhadap hutan,” ujarnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Feki Wilson Mobalen, mengatakan mayoritas masyarakat suku Moi menduduki Kabupaten Sorong. Mereka, kata dia, semakin terancam oleh investasi yang semakin masif beberapa tahun terakhir, dari perkebunan sawit, minyak, gas bumi, hingga pertambangan. Semua sektor usaha itu mengambil alih hutan adat suku Moi. “Kalau terus dibiarkan, tidak ada lagi hutan untuk anak cucu suku Moi,” kata Feki.
Menurut Feki, pemerintah seharusnya menghormati dan tak bertindak sewenang-wenang atas wilayah adat suku Moi. Dia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang menguji Undang-Undang Kehutanan telah menegaskan bahwa hutan adat merupakan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat dan bukan lagi sebagai hutan negara. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Sorong sejak enam tahun lalu menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong.
Feki mengatakan masyarakat adat suku Moi sangat bergantung pada alam. Dusun-dusun sagu di hutan adat menjadi sumber penghidupan masyarakat. Begitu pula hutan menyediakan bahan pangan lainnya. “Bahkan, jika masyarakat membutuhkan keindahan, mereka ke hutan untuk melihat anggrek, burung, dan lainnya,” kata Feki. “Karena itu, dalam filosofi orang Moi, hutan adalah mama.”
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (tengah) didampingi Pj Gubernur Papua Barat Daya Muhammad Musaad (kanan) meninjau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, 4 Agustus 2023. ANTARA/Olha Mulalinda
Ancaman di Balik Rencana Investasi Asal Cina
Saat memberikan kata sambutan dalam forum Rapat Koordinasi Teknis DPMPTSP se-Provinsi Papua Barat Daya, awal Agustus lalu, Menteri Bahlil mengatakan KEK Sorong terancam dicabut statusnya oleh pemerintah pusat jika terus tak merealisasi investasi pada akhir tahun ini. Namun dia menjamin pencabutan status itu tidak akan terjadi.
Menurut Bahlil, sejauh ini sudah ada calon investor asal Cina yang siap menanamkan modalnya untuk membangun smelter nikel di KEK Sorong. Calon investor itu juga telah meneken nota kesepahaman dengan Pemerintah Kabupaten Sorong sejak April lalu. “Tapi mereka minta jaminan bahan baku,” kata Bahlil di Sorong, 4 Agustus lalu, yang diunggah di website Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Karena itu, Bahlil menilai pengembangan KEK Sorong membutuhkan sejumlah langkah yang akan menjadi solusi bagi permasalahan jaminan bahan baku tersebut. Pertama, kata dia, urusan lahan harus diselesaikan. "Kedua, inventarisasi izin usaha pertambangan yang tidak dioptimalkan," kata Bahlil. "Ketiga, bangun penghiliran di KEK, buat aturan pembatasan nikel agar tidak ke luar dari Sorong, tapi diolah di KEK. Pasti investor tertarik.”
Tempo telah berupaya meminta penjelasan lebih lanjut kepada Bahlil perihal rencana investasi di KEK Sorong tersebut. Namun ia tak merespons hingga berita ini diturunkan. Sebelumnya, pada Januari lalu, Pemerintah Kabupaten Sorong menyebutkan sudah ada lima investor asal Cina yang ingin menanamkan modalnya. Salah satu di antaranya adalah PT Hengsheng New Energy Material Indonesia.
Kepala Administrator KEK Sorong sekaligus Kepala Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sorong, Salmon Samori, juga menolak permohonan wawancara Tempo. “Saya trauma diwawancarai,” kata dia.
Salmon hanya membenarkan ada sejumlah investor asal Cina yang sudah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten dan PT Malamoi Olom Wobok (MOW), badan usaha milik daerah sebagai pengelola KEK Sorong. Sebagian investor yang menyatakan minat itu ingin membangun smelter nikel.
Adapun Direktur PT MOW, Gabriel Simanjuntak, tidak membalas pesan dan panggilan telepon Tempo perihal rencana serta realisasi investasi di KEK Sorong.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas. Greenpeace/Jurnasyanto Sukarno
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai desain proyek KEK Sorong sejak awal hanya memperhatikan kepentingan investasi dan meminggirkan masyarakat adat. Pola serupa, kata dia, juga terjadi di KEK lainnya karena pemerintah pusat memberikan banyak kemudahan lewat beragam kebijakan pro-investasi, terutama Undang-Undang Cipta Kerja.
Celakanya, Arie mengatakan, pengakuan atas masyarakat hukum adat sangat rendah di republik ini. “Pemerintah justru melegalkan praktik perampasan wilayah adat, yang disponsori oleh kepentingan investor dan oligarki,” kata Arie. “Mereka mengejar keuntungan tanpa mempedulikan hak masyarakat adat dan dampak investasi terhadap lingkungan.”
Menurut Arie, KEK Sorong jelas berpotensi merusak lingkungan hidup. KEK ini akan dikembangkan menjadi sentra pengolahan hasil industri kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan nikel yang tersebar di wilayah kepala burung Papua, termasuk di kepulauan Raja Ampat. Sektor-sektor usaha itu merupakan pemicu utama kerusakan hutan dan laut.
Dalam catatan Greenpeace, saat ini luas konsesi pertambangan nikel di wilayah Papua dan Papua Barat mencapai 49 ribu hektare. “Jadi, proyek KEK Sorong ini tidak hanya mengancam wilayah Sorong, tapi juga menjadi pintu masuk kerusakan lebih besar karena mempercepat pengerukan sumber daya alam di Papua,” kata Arie.
HENDRIK YAPUTRA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo