Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kelaikan Gagasan 'Negara Islam'

Wawancara dengan kolumnis abdurrahman wahid tentang kelaikan gagasan untuk mendirikan negara islam di indonesia. (nas)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAWAT Dakota milik Penas berantakan di Lapangan Terbang Juanda Surabaya minggu lalu. Muncul pertanyaan: mengapa pesawat seperti itu masih diberi 'surat kelaikan'? Seperti pesawat terbang, gagasan tentang bentuk sebuah negara juga harus diperiksa kelaikannya -- sebelum dikenakan pendapat pro dan kontra atasnya. Sudah tentu kelaikan itu tidak ditentukan oleh secarik kertas, cap jabatan dan tanda tangan pejabat tertentu. Atau oleh sejumlah tenaga ahli yang mensiasatinya dari berbagai disiplin ilmu. Melainkan oleh perkembangan sosial-politis bangsa yang akan membentuk negara itu sendiri. Amerika Serikat mengambil bentuk negara federal, karena memang itu diperlukan untuk mengatur seminimal mungkin keragaman antara kesemua negara bagiannya di wilayah yang begitu luas. Di negeri kita justru kebalikannya yang terjadi: keragaman begitu besar, hingga hari ini, justru membawa kepada bentuk negara kesatuan. Kerapian administrasi Prancis membawa kepada stabilitas keadaan di tengah kehidupan politik yang labil selama beberapa dasawarsa abad ini. Tapi ia menjadi birokrasi yang mencekik di India. Kelaikan gagasan "negara Islam" (NI), harus juga ditinjau seperti itu. Kalau tidak, hasilnya adalah kesimpulan yang tidak mengenai sasaran. Iran, Pakistan, Lybia Kecurigaan yang sudah menjurus kepada ketakutan, sudah terungkap begitu, lama dan begitu luas ke alamat gagasan NI -- di banyak negara. Termasuk di sini. Padahal dalam kenyataan, gagasan itu sendiri sudah begitu mengecil pendukungnya, hingga praktis sudah tidak layak lagi mendapat perhatian seperti yang diberikan para pejabat tinggi pemerintahan di banyak negara. Kalau begitu, mengapa ia masih begitu ditakuti? Dua jawaban dapat diberikan: kemungkinan berkembangnya pengaruh eksternal, dan peluang pembalikan keadaan internal. Pengaruh eksternal dapat dilihat dari perkembangan di Iran, Pakistan dan Lybia. Penolakan terhadap modernisasi, di ketiga negara itu, mengambil bentuk diambilnya gagasan NI secara total -- dengan segala akibatnya. Dikhawatirkan pengaruhnya juga akan menjalar ke negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim. Ketakutan seperti itu jelas sekali melandasi kudeta militer yang terakhir di Turki, di bawah pimpinan Jenderal Kenan. Adapun peluang internal dapat dilihat pada sengitnya persaingan memelihara dan merebut kekuasaan -- di antara kelompok-kelompok yang memerintah. Apalagi kalau pemerintahan dikuasai, atau setidak-tidaknya didominasi, oleh kaum militer. Gaddafi langsung meng-'lslam'kan Lybia -- ketika kedudukannya terancam. Sebaliknya Ziaul Haq membawa Pakistan kepada bentuk NI, untuk merebut kekuasaan dari tangan mendiang Zulfikar Ali Bhutto. Yang ditakuti adalah: besarnya peluang sekelompok kecil opsir militer untuk membuat koalisi politik dengan pihak gerakan yang memiliki aspirasi keagamaan Islam -- guna mendirikan NI, sebagai jalan untuk berkuasa sendiri. Kedua sebab di atas dapatlah digunakan untuk mengukur kelaikan gagasan NI bagi suatu bangsa atau negara-karena ia juga merupakan sebuah perkembangan sosial-politis. Keduanya dapat diterapkan di mana saja, termasuk di negeri ini. Bagaimanakah kelaikan gagasan NI untuk Indonesia? Gerakan Sempalan Sebab eksternal rasanya tidak begitu berpengaruh terhadap kemungkinan negeri ini menjadi sebuah NI. Apa yang terjadi di Iran, Lybia dan Pakistan, tidak begitu banyak pengaruhnya terhadap perkembangan di sini. Mungkin karena memang keragaman kita sebagai bangsa tidak memungkinkan berkembangnya gagasan NI sendiri. Toleransi antara sesama anak bangsa ini begitu besar, sehingga sulit untuk melihat munculnya sebuah pemerintahan yang akan dapat dengan tegar memaksa orang mengikuti kehendaknya sendiri saja. Kalau pun dapat, tidak akan berumur lama. Sedang peluang internal juga sedikit sekali terdapat di kalangan pemegang pemerintahan. Sulit terbayangkan kelompok perwira ABRI yang akan berkomplot dengan sejumlah orang muslim yang berniat mendirikan NI. Yang dimaksud: kelompok perwira yang memegang kendali pemerintahan efektif, atau yang ada kemungkinan melakukan kudeta. Penyebaran kekuatan militer, dengan rentangan begitu luas di antara semua Kowilhan yang ada, memungkinkan perlawanan dari pihak yang akan digulingkan atau diberontak. Dengan demikian, kalaupun dapat dilakukan kudeta di ibukota, kekuasaan baru yang didirikan masih harus menyandarkan diri pada kerelaan daerah-daerah dengan keragaman budaya begitu besar. NI tidak dapat dibentuk di sini dengan cara kudeta-melalui persekongkolan dengan sejumlah politisi gerakan keagamaan. Bahkan dengan sejumlah ulama berpengaruh besar sekalipun! Jelaslah, gagasan NI tidak memiliki kelaikan di negeri ini. Sehingga sebenarnya agak mengherankan betapa masih besarnya ketakutan atas "bahaya" berbagai gerakan sempalan yang disinyalir 'ingin mendirikan negara Islam'.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus