PESAWAT Dakota milik Penas berantakan di Lapangan Terbang Juanda
Surabaya minggu lalu. Muncul pertanyaan: mengapa pesawat seperti
itu masih diberi 'surat kelaikan'?
Seperti pesawat terbang, gagasan tentang bentuk sebuah negara
juga harus diperiksa kelaikannya -- sebelum dikenakan pendapat
pro dan kontra atasnya. Sudah tentu kelaikan itu tidak
ditentukan oleh secarik kertas, cap jabatan dan tanda tangan
pejabat tertentu. Atau oleh sejumlah tenaga ahli yang
mensiasatinya dari berbagai disiplin ilmu. Melainkan oleh
perkembangan sosial-politis bangsa yang akan membentuk negara
itu sendiri.
Amerika Serikat mengambil bentuk negara federal, karena memang
itu diperlukan untuk mengatur seminimal mungkin keragaman antara
kesemua negara bagiannya di wilayah yang begitu luas. Di negeri
kita justru kebalikannya yang terjadi: keragaman begitu besar,
hingga hari ini, justru membawa kepada bentuk negara kesatuan.
Kerapian administrasi Prancis membawa kepada stabilitas keadaan
di tengah kehidupan politik yang labil selama beberapa dasawarsa
abad ini. Tapi ia menjadi birokrasi yang mencekik di India.
Kelaikan gagasan "negara Islam" (NI), harus juga ditinjau
seperti itu. Kalau tidak, hasilnya adalah kesimpulan yang tidak
mengenai sasaran.
Iran, Pakistan, Lybia
Kecurigaan yang sudah menjurus kepada ketakutan, sudah terungkap
begitu, lama dan begitu luas ke alamat gagasan NI -- di banyak
negara. Termasuk di sini. Padahal dalam kenyataan, gagasan itu
sendiri sudah begitu mengecil pendukungnya, hingga praktis sudah
tidak layak lagi mendapat perhatian seperti yang diberikan para
pejabat tinggi pemerintahan di banyak negara. Kalau begitu,
mengapa ia masih begitu ditakuti?
Dua jawaban dapat diberikan: kemungkinan berkembangnya pengaruh
eksternal, dan peluang pembalikan keadaan internal. Pengaruh
eksternal dapat dilihat dari perkembangan di Iran, Pakistan dan
Lybia. Penolakan terhadap modernisasi, di ketiga negara itu,
mengambil bentuk diambilnya gagasan NI secara total -- dengan
segala akibatnya. Dikhawatirkan pengaruhnya juga akan menjalar
ke negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim.
Ketakutan seperti itu jelas sekali melandasi kudeta militer yang
terakhir di Turki, di bawah pimpinan Jenderal Kenan.
Adapun peluang internal dapat dilihat pada sengitnya persaingan
memelihara dan merebut kekuasaan -- di antara kelompok-kelompok
yang memerintah. Apalagi kalau pemerintahan dikuasai, atau
setidak-tidaknya didominasi, oleh kaum militer. Gaddafi langsung
meng-'lslam'kan Lybia -- ketika kedudukannya terancam.
Sebaliknya Ziaul Haq membawa Pakistan kepada bentuk NI, untuk
merebut kekuasaan dari tangan mendiang Zulfikar Ali Bhutto. Yang
ditakuti adalah: besarnya peluang sekelompok kecil opsir militer
untuk membuat koalisi politik dengan pihak gerakan yang memiliki
aspirasi keagamaan Islam -- guna mendirikan NI, sebagai jalan
untuk berkuasa sendiri.
Kedua sebab di atas dapatlah digunakan untuk mengukur kelaikan
gagasan NI bagi suatu bangsa atau negara-karena ia juga
merupakan sebuah perkembangan sosial-politis. Keduanya dapat
diterapkan di mana saja, termasuk di negeri ini. Bagaimanakah
kelaikan gagasan NI untuk Indonesia?
Gerakan Sempalan
Sebab eksternal rasanya tidak begitu berpengaruh terhadap
kemungkinan negeri ini menjadi sebuah NI. Apa yang terjadi di
Iran, Lybia dan Pakistan, tidak begitu banyak pengaruhnya
terhadap perkembangan di sini. Mungkin karena memang keragaman
kita sebagai bangsa tidak memungkinkan berkembangnya gagasan NI
sendiri. Toleransi antara sesama anak bangsa ini begitu besar,
sehingga sulit untuk melihat munculnya sebuah pemerintahan yang
akan dapat dengan tegar memaksa orang mengikuti kehendaknya
sendiri saja. Kalau pun dapat, tidak akan berumur lama.
Sedang peluang internal juga sedikit sekali terdapat di kalangan
pemegang pemerintahan. Sulit terbayangkan kelompok perwira ABRI
yang akan berkomplot dengan sejumlah orang muslim yang berniat
mendirikan NI. Yang dimaksud: kelompok perwira yang memegang
kendali pemerintahan efektif, atau yang ada kemungkinan
melakukan kudeta. Penyebaran kekuatan militer, dengan rentangan
begitu luas di antara semua Kowilhan yang ada, memungkinkan
perlawanan dari pihak yang akan digulingkan atau diberontak.
Dengan demikian, kalaupun dapat dilakukan kudeta di ibukota,
kekuasaan baru yang didirikan masih harus menyandarkan diri pada
kerelaan daerah-daerah dengan keragaman budaya begitu besar. NI
tidak dapat dibentuk di sini dengan cara kudeta-melalui
persekongkolan dengan sejumlah politisi gerakan keagamaan.
Bahkan dengan sejumlah ulama berpengaruh besar sekalipun!
Jelaslah, gagasan NI tidak memiliki kelaikan di negeri ini.
Sehingga sebenarnya agak mengherankan betapa masih besarnya
ketakutan atas "bahaya" berbagai gerakan sempalan yang
disinyalir 'ingin mendirikan negara Islam'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini