Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah menduga langkah polisi dalam menetapkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka.
Amnesty International Indonesia melihat penetapan status tersangka terhadap Haris dan Fatia membuat publik mempertanyakan jaminan negara terhadap hak masyarakat atas kebebasan berekspresi.
Penyidik Polda Metro Jaya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Haris dan Fatia pada Senin ini,
JAKARTA — Sejumlah organisasi masyarakat sipil telah menduga langkah polisi bakal menetapkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, cara polisi menetapkan Direktur Lokataru dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu sebagai tersangka sama seperti era Orde Baru. “Ini cara yang sama seperti era di masa lalu ketika ada yang bersikap kritis lalu dibungkam dengan pidana. Kalau sekarang pakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE," kata Isnur, kemarin, 20 Maret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi menetapkan Haris dan Fatia sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pemberitahuan tersebut disampaikan kepada keduanya pada Jumat malam, 18 Maret lalu.
Kasus ini bermula dari video yang diunggah di akun YouTube pada Agustus 2021 dengan judul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!". Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Kontras, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan YLBHI. Hasil riset lembaga ini mengulas bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI Angkatan Darat di balik pertambangan emas atau rencana eksploitasi daerah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.
Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena menganggap diduga telah mencemarkan nama dan menyebarkan berita bohong serta fitnah. Luhut melaporkan Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya pada September 2021 setelah melayangkan dua kali somasi tapi tidak ditanggapi. Laporan itu terdaftar di Polda Metro Jaya pada 22 September 2021.
Isnur menegaskan, dalam penelitian tersebut ditemukan korelasi berdasarkan dokumen dan anggaran dasar perusahaan. "Itu memang temuan kami bahwa penempatan militer ada korelasi terhadap usaha tambang di sana," ujarnya. "Dalam anggaran dasar dan dokumen hukum perusahaan tambang yang terlibat tambang di Papua, ada nama-nana perusahaan yang dimiliki pejabat saat ini."
Anggota tim advokat Haris dan Fatia itu mengatakan bahwa kliennya selama ini mengikuti proses hukum di kepolisian. Saat diundang untuk mediasi pun, Haris dan Fatia hadir. Menurut Isnur, justru Luhut yang tidak hadir karena alasan sedang berada di luar negeri. "Tapi ketika kami tidak bisa, dia bisa datang."
Isnur menengarai kasus ini telah diatur hingga menetapkan Haris dan Fatia sebagai tersangka. Hal itu terlihat dari laporan singkat Luhut di Polda Metro Jaya, yang tidak sampai setengah jam. Padahal, menurut Isnur, pemeriksaan seseorang yang melaporkan tindak pidana bisa memakan waktu hingga berjam-jam. "Saya menduga kuat ada struktur yang bermain dan punya kekuasaan," ujarnya.
Amnesty International Indonesia melihat penetapan status tersangka terhadap Haris dan Fatia membuat publik kembali mempertanyakan jaminan negara terhadap hak masyarakat atas kebebasan berekspresi. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, upaya menekan aktivis dengan tindakan hukum hanya karena sebuah diskusi terkait dengan seorang menteri jelas menggerus kebebasan berekspresi.
Pembungkaman lewat laporan, kata Usman, berpotensi menciptakan efek gentar yang dapat membuat orang lain enggan mengungkapkan kritik terhadap pihak yang berkuasa. "Menetapkan mereka sebagai tersangka hanya karena mendiskusikan temuan dalam laporan merupakan bentuk tekanan terhadap ekspresi kritik warga, termasuk pembela hak asasi manusia," ucapnya.
Usman menilai penetapan status tersangka itu malah memperlihatkan kurangnya keterbukaan negara dalam menanggapi kritik. Diskusi Haris Azhar dan Fatia di YouTube, kata dia, dilakukan berdasarkan laporan yang dikeluarkan gabungan organisasi masyarakat sipil yang melakukan kajian terhadap faktor-faktor pemicu pelanggaran hak asasi manusia di Papua. "Itu adalah sesuatu yang sah dan tidak boleh dipidanakan.”
Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan penetapan status tersangka ini sudah diperkirakan sebagai bagian dari upaya pembungkaman aktivis yang dilakukan penguasa. "Kami harap tidak ada penahanan," ujar Bivitri. "Saya menyoroti hukum yang digunakan penguasa untuk membungkam suara yang kritis dari aktivis."
Menurut dia, pembungkaman suara kritis dari masyarakat sipil lebih mengerikan daripada kudeta yang menggunakan tentara dan alat utama sistem senjata. Sebab, masyarakat bisa menganggap apa pun yang dilakukan penguasa benar karena atas nama hukum. “Kita ditipu dengan segala yang berbau hukum. Padahal itu tidak baik-baik saja."
Adapun Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan penetapan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka sudah sesuai dengan prosedur. Sebelum menetapkan Haris dan Fatia, polisi telah mengumpulkan alat bukti yang cukup. “Kami bekerja sesuai dengan fakta hukum bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka ada ketentuan, yaitu Pasal 184 KUHAP, minimal dua alat bukti," ujar Zulpan, saat dihubungi, Ahad, 20 Maret 2022. Haris dan Fatia akan diperiksa penyidik di Polda Metro Jaya pada Senin ini, 21 Maret 2022. "Keduanya diharapkan hadir," ujarnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo