Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kembali ke Tahun

Orang Jawa, dalam sejarahnya, mempunyai 2 versi penanggalan, yaitu versi tahun Saka & versi Sultan Agung. Keduanya punya dasar perhitungan yang berbeda. Kalender Jawa murni, perhitungannya rumit.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH, pengembara Hindu itu pun datang ke Pulau Jawa, dan lahirlah, antara lain, kalender. Sejak tibanya Aji Saka itulah manusia Jawa punya penanggalan yang disebut "tahun Saka". Benarkah begitu ? Entahlah. Yang jelas, kalender ini tak sama dengan kalender Jawa yang sekarang dipakai. Yang sekarang ini terpengaruh oleh kalender Islam, dan merupakan produk kerajaan Mataram di abad ke-17. Maka, bisa diduga bahwa keinginan kembali ke kalender pra-Islam itu seperti yang akhir-akhir ini terdengar, mencerminkan keinginan untuk memperoleh apa yang "murni Jawa" -- atau, kalau tidak, apa yang bukan kreasi Mataram. Orang Jawa, dalam sejarahnya, memang punya dua versi penanggalan, yaitu versi tahun Saka dan versi Sultan Agung. Keduanya punya dasar perhitungan yang berbeda. Menurut Karkono Partokusumo, ahli Javanologi terkemuka di Yogyakarta, tahun Saka itu dimulai sejak 15 Maret tahun 78 Masehi. Dan, seperti halnya sistem tahun Masehi, perhitungannya didasarkan atas pengulangan waktu edar bumi mengelilingi matahari atau solar. Dalam legenda Jawa, tahun Saka dimulai dengan mendaratnya pengembara Aji Saka di Jawa. Tapi ada pula yang mengatakan, titik awalnya adalah pelantikan raja Salivahana (Aji Saka) di India. Hingga kini, kalender itu masih digunakan oleh penganut agama Hindu di Bali. Adapun yang sekarang disebut "tahun Jawa" adalah versi Sultan Agung, raja terbesar Mataram, yang memberlakukannya sejak 8 Juli 1633 Masehi. Ia mendasarkan perhitungannya pada waktu edar bulan mengelilingi bumi (lunar), seperti dalam penanggalan Islam. Perbedaan satu tahun sistem solar dan satu tahun sistem lunar biasanya berkisar sekitar 11 hari setiap tahunnya. Perubahan kalender Jawa oleh Sultan Agung itu dilakukan pada 1555 tahun Saka. Sang Raja mengumumkannya lewat sebuah dekrit tepat pada saat tahun baru Islam, 1 Muharam 1403 Hijriah. Dalam kalender Jawa, hari itu lebih dikenal sebagai 1 Suro tahun Alip 1555. Alasannya, menurut Karkono, "Sultan Agung melakukan itu untuk memusatkan kekuasaan agama dan politik pada dirinya." Dengan tujuan itu pula Sultan Agung tak hendak melepaskan unsur lama. Kalendernya ternyata tak 100% mengikuti sistem kalender Hijriah. Menurut Karkono, baginda ingin agar perayaan Grebe Mulud pada tahun Dal harus jatuh pada hari Senin Pon, yang dianggapnya sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad. Senin Pon? Orang Jawa mengenal 5 hari pasaran dalam seminggu -- Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Itu sebetulnya tak dikenal dalam kalender Islam. Tapi, seperti banyak unsur luar yang masuk ke Jawa, banyak hal jadi berbaur dengan warna setempat. Salah satunya adalah kepercayaan tentanK hari pasaran itu. Walhasil, nama bulan dan jumlah hari setiap bulan pada sistem kalender Sultan Agung ini pun tak sepenuhnya sama dengan sistem Hijriah. Karena itu, kalau ada pihak yang ingin kembali ke kalender Jawa murni, perhitungannya sangat rumit. Apalagi selain sistem tahun Saka, masih ada sistem penanggalan Jawa lain, seperti Pranatamangsa yang kendati juga menggunakan sistem solar memiliki 12 bulan yang berbeda dengan Saka. "Saya sendiri tak tahu bagaimana cara menghitungnya," kata Karkono. Bagaimanapun caranya, menyusun sebuah kalender berarti menghitung dan mengatur waktu kehidupan. Tak mengherankan bila menetapkan berlakunya sebuah kalender sering merupakan langkah pertama raja-raja yang berkuasa, baik di Jawa, di Cina, maupun di kekaisaran Romawi. Sebuah kalender mau tak mau akan menyangkut gerak di alam semesta dan dalam pertumbuhan manusia. Dengan kata lain, di sana ada soal kekuasaan, ada soal misteri. Apakah itu gerangan yang menyebabkan kalender jadi soal, di abad ke-17 dan di abad ke-20 ini, jawabnya hanya siapa tahu. Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus