Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kenapa Rakyat Marah Di Jenggawah

Ketidak puasan penduduk Jenggawah meledak menimbulkan aksi kekerasan hingga pasukan ABRI terpaksa di kerahkan. Akibat dari buntut sengketa tanah yang di HGU PTP XXVII Jember yang berlarut-larut. (nas)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"GOLKAR tidak menghendaki adanya praktek a la BTI dari sementara pihak yang berdalih memperjuangkan petani kecil," kata anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR Warsito Puspojo Desember lalu ketika mengomentari sengketa tanah garapan di Jenggawah di PT Perkebunan XXVII Jember. Akhir tahun lalu, terjadi semacam 'sengketa pendapat' antara FKP dengan FPDI dan FPP. FKP menyetujui tindakan PTP XXVII dan Pemda Jawa Timur menertibkan pengelolaan tanah garapan itu, sedang FPDI dan FPP meminta peninjauan kembali kebijaksanaan itu. Alasannya karena merugikan ribuan petani penggarap. (TEMPO, 30 Desember 1978). Pekan lalu masalah serupa muncul lagi. Pangkopkamtibda Jawa Timur Mayjen Witarmin Jum'at lalu menyatakan pola massa aksi yang terjadi di Jenggawah antara 23 - 26 Juli lalu mirip dengan pola gerakan PKI di masa Orla dulu. Aksi yang terjadi dinilai sistimatis dan terjadi peningkatan yang terencana. Diungkapkannya, ada oknum-oknunl eks BPT/PKI yang terlibat dalam aksi itu, walau tingkat kekaderannya masih belum tinggi. Turun Temurun Tentang peranan sisa-sisa G-30-S/PKI ini sedang dilakukan pendalaman lebih lanjut. "Tapi di balik itu kita harus lebih mewaspadai adanya tokoh eks G-30-S/PKI yang berperanan sebagai pemikir dan dalang dari aksi-aksi yang dilancarkan," ujar Witarmin. Dikatakannya, sinyalemen ini bukan untuk mencari-cari atau dengan gampang mengkambinghitamkan PKI, tapi didasari oleh hasil penelitian yang telah dilakukan. Apa yang terjadi, hingga setelah lama tak dipakai, kini muncul lagi tuduhan "didalangi PKI"? "Peristiwa Jenggawah" yang meledak akhir Juli lalu sebetulnya adalah buntut dari sengketa tanah yang belakangan ini bertubi-tubi muncul di daerah yang dikenal sebagai basis PPP. Tanah yang diramaikan ini semula dikuasai perkebunan tembakau Belanda NV Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) seluas 3.274,6888 Ha. Pada 1918 penduduk setempat diperbolehkan membuka hutan di tanah ini dengan perjanjian 5 bulan dalam 2 tahun mereka harus menanaminya dengan tembakau yang kemudian dibeli LMOD. Sembilanbelas bulan sisanya boleh ditanami padi atau palawija lain. Tidak ada perjanjian berapa lama hak garap ini diberikan. Kenyataannya pengarapan ini dilakukan turun temurun hingga tidak terhindarkan adanya tanah yang berpindah tangan atau disewakan. Hak Guna Usaha (HGU) tanah ini kemudian jatuh pada PTP XXVII. Pada 5 Agustus 1971 Direksi PTP mengeluarkan keputusan yang membatasi hak garap menjadi 5 tahun, tidak boleh diperjualbelikan dan harus patuh pada peraturan PTP. Penertiban ini ternyata kurang berhasil. Pada 1977 usaha penertiban itu dilakukan lagi lewat Tim Penertiban Tanah Garapan HGU PTP XXVII yang antara lain bertugas mengadakan pendaftaran kembali penggarap. Hasilnya: pada 15. Juli 1978 Direksi PTP mengeluarkan keputusan -- yang diketahui Bupati Jember -- yang antara lain membatasi luas tanah garapan per kapling menjadi 0,3 Ha. Tujuannya untuk pemerataan pendapatan bagi para penggarap. Semula ada 5537 penggarap dengan luas tanah garapan yang berbeda-beda, ada yang lebih dari 2 Ha. Setelah pengkaplingan kembali, tercatat 6632 penggarap yang masing-masing mendapat 0,3 Ha. Hingga jumlah tanah yang dikaplingkan 1.989,6 ha. Karuan saja petani yang semula mendapat hak garap lebih merasa dirugikan. Sumber kericuhan lain adalah sisa tanah yang luasnya sekitar 1.280 Ha. Segera timbul desas-desus sisa tanah itu telah dibagi-bagikan pada para pamong desa dan sebagian lagi telah disewakan. Karuan pengaduan segera dilayangkan pada Gubernur Jawa Timur dan juga langsung ke DPR RI. Tapi Guhernur Soenandar Prijosudarmo membantah adanya pejabat yang dapat bagian. Kelebihan tanah direncanakan untuk kebun pembibitan dan gudang. "Selama belum bisa membangun gudang dan kebun pembibitan itu, tanah itu digarap daripada nganggur," katanya pada TEMPO 10 Desember lalu. Namun heboh itu ada hasilnya. Soenandar yang turun sendiri ke Jember dan berbicara dengan para petani pada 8 Desember lalu memperhaiki keputusan Direksi PTP. Petani yang semula mendapat tanah garapan luas, penetapan kaplingnya dipertimbangkan pula bagi anak-anaknya yang sudah dewasa, di samping diberi kesempatan memilih letak tanah garapnya. Clurit Yang tercapai ternyata penyelesain semu. Insiden terus berlangsung di lapangan terutama antara penggarap lama dan baru. Pebruari lalu misalnya terjadi pembabatan kedelai seluas 2 ha disusul perkelahian massal pada Mei lalu. Pada 2 Juni lalu sekitar 400 penduduk dukuh Cangkring Baru Kecamatan Jenggawah menghalang-halangi pentraktoran tanah HGU PTP XXVII hingga pengemudi traktor luka-luka. Lusanya, 4 Juni, kejadian serupa terjadi di desa Klontongan, Kecamatan Jenggawah. Puncak insiden dimulai 23 Juli lalu. Aminah, seorang janda berusia 43 tahun, dibantu sejumlah penduduk membabat kedelai milik Hemi yang menjadi penggarap baru di bekas tanah Aminah. Siang itu juga Aminah diperiksa di Kosek Jenggawah. Dua jam kemudian puluhan rakyat Cangkring berbondong-bondong ke rumah lurah Jenggawah dan kebayan Desa Gayasan yang sejak lama sudah tidak disukai. Di sini mereka mencabut papan nama, menurunkan kentongan dan melakukan perusakan. Karena tidak bisa ketemu dengan Lurah Amir yang bekas ABRI itu, mereka langsung ke kantor Koramil. Mereka menuntut Aminah dibebaskan, pengkaplingan kembali dibatalkan dan Kepala Desa diberhentikan. Tidak ketemu yang dicari, mereka menuju ke kantor Kosek sambil tetap membawa senjata tajam khas Madura: clurit. Para petugas Kosek terpaksa melepaskan Aminah karena massa sulit diajak berkompromi. Pecat Lurah Esok harinya Muspida Jember rapat. Di samping sepakat untuk menganggap "aksi rakyat sudah menjadi masalah politik", juga diputuskan penanganan selanjutnya akan dilakukan Muspida. Disepakati juga untuk mengirim mobil unit penerangan untuk memberi penjelasan pada rakyat serta untuk menahan kembali Aminah serta 2 tokoh yang diduga menggerakkan massa sehari sebelumnya: H. Achmad dan Imam Chudori. Tapi hari itu juga tanaman kedelai milik petani penggarap baru bernama Misto di Desa Jenggawah dibabat massa yang dipimpin Imam Chudori. Malam-nya, begitu Achmad dan Chudori diambil, kentongan segera dibunyikan dan disambut kentongan-kentongan lain. Mobil militer yang dipakai menangkap dikepung rakyat yang bersenjatakan clurit dan dikempesi bannya. Tapi beberapa petugas akhirnya berhasil lolos membawa 3 orang tadi ke Jember. Bantuan pasukan yang segera didatangkan juga dikepung, ban truk dikempesi serta kacanya dihancurkan. Menjelang dinihari massa rakyat yang umumnya suku Maura bisa dihalau. Tapi esoknya, 25 Juli, terjadi gerakan lagi. Puluhan rakyat menuju rumah lurah dan Balai Desa Cangkring dan Kawening sambil berteriak: "Patinggi pa'mbu, patinggi pa'ambu" (Pecat lurah). Karena lurah tidak ada, mereka hanya menghancurkan kaca dan membakar kedelai yang mereka keluarkan dari rumah lurah. Rumah seorang anggota Koramil Jenggawah sempat juga dirusak. Malamnya ternyata masih ada gerakan. Sepuluh gudang tembakau milik PTP yang masih kosong dibakar. Menurut Mayjen Witarmin pelakunya adalah anak-anak muda usia belasan tahun yang diperintah seorang pedagang tembakau dari Kecamatan Wirolegi. Peristiwa yang lebih parah tidak terjadi karena pasukan ABRI segera dikerahkan ke daerah yang letaknya 15 km dari Jember ini. "Itu tindakan anarkis dan mereka telah menjadi hakim-hakim lapangan. Selaku ABRI saya merasa tersinggung sekali. Apalagi mereka berani menahan beberapa anggota Brimob yang bertugas dan merusak kendaraan petugas," kata Witarmin pekan lalu. Dijelaskannya, untuk mengatasi keadaan telah dikerahkan 6 peleton pasukan tempur dari Korem 083/Malang-Besuki. Sebanyak 35 pelaku telah ditahan dan seorang masih dalam pencarian. Menurut Witarmin, dari penelitian sementara didapat petunjuk dalam kasus ini telah terjadi pemanfaatan oleh beberapa politisi parpol. Seorang anggota DPRD tingkat 11 Jember telah akti mengadakan rapat di rumahnya untuk mengatur kegiatan menentang pengkaplingan kembali. Bekerjasama dengan unsur parpol lain ia kemudian kasak-kusuk mengadakan pengaduan ke berbagai instansi. Kerjasama antar unsur parpol ini, menurut Witarmin, karena pihak parpol berusaha tampil sebagai "pahlawan" yang ingin membela kepentingan rakyat. Bupati Jember yang baru Kol. Supono dalam keterangannya akhir Juli lalu antara lain mengatakan: "Sebenarnya kalau masih ada rakyat yang merasa dirugikan atau belum menerima kapling baru supaya meminta langsung pada bupati. Tapi sampai 22 Juli lalu tidak ada satu usul pun dari petani." Tidak adanya usul petani itu tampaknya bukan karena para petani telah puas. "Mana ada petani yang berani ke bupati. Bertanya pada lurah saja dibentak-bentak," ujar Muhi, seorang petani yang ditemui TEMPO. "Mestinya jangan cuma menunggu usul rakyat. Aparat pemerintah seperti bupati harus mengecek apakah kebijaksanaan gubernur sudah benar-benar jalan atau belum. Sebab kenyataannya memang masih banyak yang belum dilaksanakan," ujar HM Suwardi anggota DPR dari PP yang meninjau Jenggawah setelah peristiwa itu terjadi. Beberapa petani lain yang ditemui umumnya rnengaku dirugikan oleh pengkaplingan kembali ini. Mereka juga menyesalkan peninjauan tim DPRD Jember yang hanya berlangsung singkat dan tidak mendalam, hingga tidak bisa mengetahui bahwa sebagian besar rakyat tidak puas dengan kebijaksanaan baru. Nayati misalnya. Janda dengan 3 anak ini semula menggarap 3 Ha. Tapi sekarang hanya mendapat 0,3 Ha sekalipun seharusnya ia mendapat tambahan 3 x 0,3 Ha lagi. Karena itu awal Mei lalu Nayati nekad saja menggarap tanahnya yang lama, tapi ketika kedelainya berumur 10 hari dirusak oleh Kasmin, seorang pamong desa yang tahu Nayati menggarap tanah bukan haknya lagi. Yang rupanya juga membuat gusar rakyat adalah kenyataan, banyak pamong desa yang mereka lihat menggarap tanah lebih luas lagi setelah 1977. Bahkan, kata beberapa petani, ada yang menyewakannya pada orang luar. Banyak penggarap yang percaya semua peristiwa itu berpangkal pada ekses-ekses Pemilu 1977. Menurut mereka, pada 1977 pamong desa melarang para petani menggarap 70 Ha tanah PTP setelah mereka tidak mau membubuhkan cap jempol sebagai tanda masuk Golkar. Beberapa yang melawan ditahan sedang padi yang hampir panen dicabut oleh pamong desa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus