"GOLKAR tidak menghendaki adanya praktek a la BTI dari
sementara pihak yang berdalih memperjuangkan petani kecil,"
kata anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR Warsito Puspojo
Desember lalu ketika mengomentari sengketa tanah garapan di
Jenggawah di PT Perkebunan XXVII Jember. Akhir tahun lalu,
terjadi semacam 'sengketa pendapat' antara FKP dengan FPDI dan
FPP. FKP menyetujui tindakan PTP XXVII dan Pemda Jawa Timur
menertibkan pengelolaan tanah garapan itu, sedang FPDI dan FPP
meminta peninjauan kembali kebijaksanaan itu. Alasannya karena
merugikan ribuan petani penggarap. (TEMPO, 30 Desember 1978).
Pekan lalu masalah serupa muncul lagi. Pangkopkamtibda Jawa
Timur Mayjen Witarmin Jum'at lalu menyatakan pola massa aksi
yang terjadi di Jenggawah antara 23 - 26 Juli lalu mirip dengan
pola gerakan PKI di masa Orla dulu. Aksi yang terjadi dinilai
sistimatis dan terjadi peningkatan yang terencana.
Diungkapkannya, ada oknum-oknunl eks BPT/PKI yang terlibat dalam
aksi itu, walau tingkat kekaderannya masih belum tinggi.
Turun Temurun
Tentang peranan sisa-sisa G-30-S/PKI ini sedang dilakukan
pendalaman lebih lanjut. "Tapi di balik itu kita harus lebih
mewaspadai adanya tokoh eks G-30-S/PKI yang berperanan sebagai
pemikir dan dalang dari aksi-aksi yang dilancarkan," ujar
Witarmin. Dikatakannya, sinyalemen ini bukan untuk mencari-cari
atau dengan gampang mengkambinghitamkan PKI, tapi didasari oleh
hasil penelitian yang telah dilakukan.
Apa yang terjadi, hingga setelah lama tak dipakai, kini muncul
lagi tuduhan "didalangi PKI"? "Peristiwa Jenggawah" yang meledak
akhir Juli lalu sebetulnya adalah buntut dari sengketa tanah
yang belakangan ini bertubi-tubi muncul di daerah yang dikenal
sebagai basis PPP.
Tanah yang diramaikan ini semula dikuasai perkebunan tembakau
Belanda NV Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) seluas
3.274,6888 Ha. Pada 1918 penduduk setempat diperbolehkan membuka
hutan di tanah ini dengan perjanjian 5 bulan dalam 2 tahun
mereka harus menanaminya dengan tembakau yang kemudian dibeli
LMOD. Sembilanbelas bulan sisanya boleh ditanami padi atau
palawija lain.
Tidak ada perjanjian berapa lama hak garap ini diberikan.
Kenyataannya pengarapan ini dilakukan turun temurun hingga
tidak terhindarkan adanya tanah yang berpindah tangan atau
disewakan.
Hak Guna Usaha (HGU) tanah ini kemudian jatuh pada PTP XXVII.
Pada 5 Agustus 1971 Direksi PTP mengeluarkan keputusan yang
membatasi hak garap menjadi 5 tahun, tidak boleh
diperjualbelikan dan harus patuh pada peraturan PTP. Penertiban
ini ternyata kurang berhasil.
Pada 1977 usaha penertiban itu dilakukan lagi lewat Tim
Penertiban Tanah Garapan HGU PTP XXVII yang antara lain bertugas
mengadakan pendaftaran kembali penggarap. Hasilnya: pada 15.
Juli 1978 Direksi PTP mengeluarkan keputusan -- yang diketahui
Bupati Jember -- yang antara lain membatasi luas tanah garapan
per kapling menjadi 0,3 Ha. Tujuannya untuk pemerataan
pendapatan bagi para penggarap. Semula ada 5537 penggarap
dengan luas tanah garapan yang berbeda-beda, ada yang lebih
dari 2 Ha. Setelah pengkaplingan kembali, tercatat 6632
penggarap yang masing-masing mendapat 0,3 Ha. Hingga jumlah
tanah yang dikaplingkan 1.989,6 ha.
Karuan saja petani yang semula mendapat hak garap lebih merasa
dirugikan. Sumber kericuhan lain adalah sisa tanah yang luasnya
sekitar 1.280 Ha. Segera timbul desas-desus sisa tanah itu telah
dibagi-bagikan pada para pamong desa dan sebagian lagi telah
disewakan. Karuan pengaduan segera dilayangkan pada Gubernur
Jawa Timur dan juga langsung ke DPR RI.
Tapi Guhernur Soenandar Prijosudarmo membantah adanya pejabat
yang dapat bagian. Kelebihan tanah direncanakan untuk kebun
pembibitan dan gudang. "Selama belum bisa membangun gudang dan
kebun pembibitan itu, tanah itu digarap daripada nganggur,"
katanya pada TEMPO 10 Desember lalu.
Namun heboh itu ada hasilnya. Soenandar yang turun sendiri ke
Jember dan berbicara dengan para petani pada 8 Desember lalu
memperhaiki keputusan Direksi PTP. Petani yang semula mendapat
tanah garapan luas, penetapan kaplingnya dipertimbangkan pula
bagi anak-anaknya yang sudah dewasa, di samping diberi
kesempatan memilih letak tanah garapnya.
Clurit
Yang tercapai ternyata penyelesain semu. Insiden terus
berlangsung di lapangan terutama antara penggarap lama dan baru.
Pebruari lalu misalnya terjadi pembabatan kedelai seluas 2 ha
disusul perkelahian massal pada Mei lalu. Pada 2 Juni lalu
sekitar 400 penduduk dukuh Cangkring Baru Kecamatan Jenggawah
menghalang-halangi pentraktoran tanah HGU PTP XXVII hingga
pengemudi traktor luka-luka. Lusanya, 4 Juni, kejadian serupa
terjadi di desa Klontongan, Kecamatan Jenggawah.
Puncak insiden dimulai 23 Juli lalu. Aminah, seorang janda
berusia 43 tahun, dibantu sejumlah penduduk membabat kedelai
milik Hemi yang menjadi penggarap baru di bekas tanah Aminah.
Siang itu juga Aminah diperiksa di Kosek Jenggawah.
Dua jam kemudian puluhan rakyat Cangkring berbondong-bondong ke
rumah lurah Jenggawah dan kebayan Desa Gayasan yang sejak lama
sudah tidak disukai. Di sini mereka mencabut papan nama,
menurunkan kentongan dan melakukan perusakan. Karena tidak bisa
ketemu dengan Lurah Amir yang bekas ABRI itu, mereka langsung ke
kantor Koramil. Mereka menuntut Aminah dibebaskan, pengkaplingan
kembali dibatalkan dan Kepala Desa diberhentikan.
Tidak ketemu yang dicari, mereka menuju ke kantor Kosek sambil
tetap membawa senjata tajam khas Madura: clurit. Para petugas
Kosek terpaksa melepaskan Aminah karena massa sulit diajak
berkompromi.
Pecat Lurah
Esok harinya Muspida Jember rapat. Di samping sepakat untuk
menganggap "aksi rakyat sudah menjadi masalah politik", juga
diputuskan penanganan selanjutnya akan dilakukan Muspida.
Disepakati juga untuk mengirim mobil unit penerangan untuk
memberi penjelasan pada rakyat serta untuk menahan kembali
Aminah serta 2 tokoh yang diduga menggerakkan massa sehari
sebelumnya: H. Achmad dan Imam Chudori.
Tapi hari itu juga tanaman kedelai milik petani penggarap baru
bernama Misto di Desa Jenggawah dibabat massa yang dipimpin
Imam Chudori. Malam-nya, begitu Achmad dan Chudori diambil,
kentongan segera dibunyikan dan disambut kentongan-kentongan
lain. Mobil militer yang dipakai menangkap dikepung rakyat yang
bersenjatakan clurit dan dikempesi bannya. Tapi beberapa petugas
akhirnya berhasil lolos membawa 3 orang tadi ke Jember. Bantuan
pasukan yang segera didatangkan juga dikepung, ban truk
dikempesi serta kacanya dihancurkan. Menjelang dinihari massa
rakyat yang umumnya suku Maura bisa dihalau.
Tapi esoknya, 25 Juli, terjadi gerakan lagi. Puluhan rakyat
menuju rumah lurah dan Balai Desa Cangkring dan Kawening sambil
berteriak: "Patinggi pa'mbu, patinggi pa'ambu" (Pecat lurah).
Karena lurah tidak ada, mereka hanya menghancurkan kaca dan
membakar kedelai yang mereka keluarkan dari rumah lurah. Rumah
seorang anggota Koramil Jenggawah sempat juga dirusak.
Malamnya ternyata masih ada gerakan. Sepuluh gudang tembakau
milik PTP yang masih kosong dibakar. Menurut Mayjen Witarmin
pelakunya adalah anak-anak muda usia belasan tahun yang
diperintah seorang pedagang tembakau dari Kecamatan Wirolegi.
Peristiwa yang lebih parah tidak terjadi karena pasukan ABRI
segera dikerahkan ke daerah yang letaknya 15 km dari Jember ini.
"Itu tindakan anarkis dan mereka telah menjadi hakim-hakim
lapangan. Selaku ABRI saya merasa tersinggung sekali. Apalagi
mereka berani menahan beberapa anggota Brimob yang bertugas dan
merusak kendaraan petugas," kata Witarmin pekan lalu.
Dijelaskannya, untuk mengatasi keadaan telah dikerahkan 6
peleton pasukan tempur dari Korem 083/Malang-Besuki. Sebanyak 35
pelaku telah ditahan dan seorang masih dalam pencarian.
Menurut Witarmin, dari penelitian sementara didapat petunjuk
dalam kasus ini telah terjadi pemanfaatan oleh beberapa politisi
parpol. Seorang anggota DPRD tingkat 11 Jember telah akti
mengadakan rapat di rumahnya untuk mengatur kegiatan menentang
pengkaplingan kembali. Bekerjasama dengan unsur parpol lain ia
kemudian kasak-kusuk mengadakan pengaduan ke berbagai instansi.
Kerjasama antar unsur parpol ini, menurut Witarmin, karena pihak
parpol berusaha tampil sebagai "pahlawan" yang ingin membela
kepentingan rakyat.
Bupati Jember yang baru Kol. Supono dalam keterangannya akhir
Juli lalu antara lain mengatakan: "Sebenarnya kalau masih ada
rakyat yang merasa dirugikan atau belum menerima kapling baru
supaya meminta langsung pada bupati. Tapi sampai 22 Juli lalu
tidak ada satu usul pun dari petani."
Tidak adanya usul petani itu tampaknya bukan karena para petani
telah puas. "Mana ada petani yang berani ke bupati. Bertanya
pada lurah saja dibentak-bentak," ujar Muhi, seorang petani yang
ditemui TEMPO. "Mestinya jangan cuma menunggu usul rakyat.
Aparat pemerintah seperti bupati harus mengecek apakah
kebijaksanaan gubernur sudah benar-benar jalan atau belum. Sebab
kenyataannya memang masih banyak yang belum dilaksanakan," ujar
HM Suwardi anggota DPR dari PP yang meninjau Jenggawah setelah
peristiwa itu terjadi.
Beberapa petani lain yang ditemui umumnya rnengaku dirugikan
oleh pengkaplingan kembali ini. Mereka juga menyesalkan
peninjauan tim DPRD Jember yang hanya berlangsung singkat dan
tidak mendalam, hingga tidak bisa mengetahui bahwa sebagian
besar rakyat tidak puas dengan kebijaksanaan baru.
Nayati misalnya. Janda dengan 3 anak ini semula menggarap 3 Ha.
Tapi sekarang hanya mendapat 0,3 Ha sekalipun seharusnya ia
mendapat tambahan 3 x 0,3 Ha lagi. Karena itu awal Mei lalu
Nayati nekad saja menggarap tanahnya yang lama, tapi ketika
kedelainya berumur 10 hari dirusak oleh Kasmin, seorang pamong
desa yang tahu Nayati menggarap tanah bukan haknya lagi.
Yang rupanya juga membuat gusar rakyat adalah kenyataan, banyak
pamong desa yang mereka lihat menggarap tanah lebih luas lagi
setelah 1977. Bahkan, kata beberapa petani, ada yang
menyewakannya pada orang luar.
Banyak penggarap yang percaya semua peristiwa itu berpangkal
pada ekses-ekses Pemilu 1977. Menurut mereka, pada 1977 pamong
desa melarang para petani menggarap 70 Ha tanah PTP setelah
mereka tidak mau membubuhkan cap jempol sebagai tanda masuk
Golkar. Beberapa yang melawan ditahan sedang padi yang hampir
panen dicabut oleh pamong desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini