Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMPON itu terapung di perairan Ambalat, sekitar 79 mil dari pantai Tarakan, Kalimantan Timur, sejak setahun lalu. Kumpulan daun nipah dan kelapa yang terikat ke dasar laut itu dibikin Supardi, juragan kapal Aldi Jaya, dan tiga nelayannya, untuk memikat ikan-ikan kecil, yang akan mengundang ikan-ikan besar calon tangkapan mereka.
Namun, Ahad dua pekan lalu, ketika mereka sedang memancing ikan di ”Tarakan City”, sebutan bagi rumpon itu, sebuah kapal perang Malaysia menghampiri. Seorang askar meminta Supardi naik untuk diinterogasi.
Serdadu itu menuduh Supardi memancing di perairan Malaysia, seraya menyodok-nyodok jidat nelayan itu. Padahal, ”Saya memasang rumpon itu seizin Dinas Perikanan dan Kelautan Tarakan dan TNI Angkatan Laut,” kata Haji Syamsul, Jumat pekan lalu. Pak Haji adalah juragan lokal yang memodali Supardi.
Tentara Malaysia juga memeriksa isi kapal Aldi Jaya. Setelah puas, mereka menggiring kapal itu ke selatan, ke arah perairan Maratua.
Perairan Ambalat memang sedang panas-panasnya waktu itu. Sehari sebelumnya, kapal dagang Baung-3509 milik Malaysia memasuki perairan Ambalat sejauh 7,3 mil, dan diusir sejam kemudian oleh KRI Untung Surapati. Sepekan sebelumnya, KRI Untung Surapati dan KRI Hasanuddin-366 juga mengusir dua kapal dagang Malaysia dari Ambalat dan perairan Nunukan.
Malaysia juga menerabas lewat udara. KRI Untung Surapati dan KRI Hasanuddin mendeteksi satu helikopter dan satu pesawat Beechcraft jenis intai maritim milik Malaysia memasuki wilayah udara Indonesia.
Dalam catatan Tentara Nasional Indonesia, sejak Januari lalu sedikitnya sembilan kali Malaysia memasuki wilayah Indonesia. Pada 2008, Malaysia bahkan lebih dari 23 kali melakukan pelanggaran, dan pada 2007 sampai 76 kali pelanggaran.
Angkatan Laut mengerahkan enam kapal dan Angkatan Udara mengirim dua pesawat Boeing 737 dan satu pesawat tempur Sukhoi 27/30 untuk berpatroli di perairan Ambalat. ”Kehadiran kapal-kapal perang kita di sana mempersempit ruang bagi Malaysia,” kata Kepala Dinas Penerangan Koordinasi Armada Kawasan Indonesia Timur, Letnan Kolonel Laut Khusus Toni Syaiful.
Hasjim Djalal, mantan diplomat yang anggota dewan pakar untuk perundingan Ambalat, menilai kehadiran kapal-kapal Malaysia itu sebagai upaya meningkatkan pengawasan dan pertahanan untuk mengklaim kawasan sengketa ini. ”Hal semacam ini biasa dalam pergaulan internasional,” katanya. ”Ini juga sinyal bagi Indonesia yang terkesan kurang memperhatikan perbatasan karena sibuk dengan pemilihan umum.”
Menangkap sinyal itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak tinggal diam. ”Posisi kita jelas,” katanya di tengah lawatan ke Korea Selatan, Selasa pekan lalu. ”Yang kita klaim itu adalah wilayah Indonesia.”
Wakil Presiden Jusuf Kalla tak kalah garang. ”Bila perundingan buntu, tak ada kata lain, kita harus siap perang melawan Malaysia,” kata calon presiden itu.
Tapi Presiden juga meminta Departemen Luar Negeri mengintensifkan perundingan batas wilayah dengan negara tetangga itu. Sejak 2005, tim perunding kedua negara telah bertemu 13 kali, tapi belum membuahkan kesepakatan apa pun.
Anehnya, Kuala Lumpur adem ayem. Hingga Jumat pekan lalu, hampir tak ada media cetak dan elektronik Malaysia yang mengangkat heboh Ambalat ini. ”Kami ingin semua pihak menahan diri dari tindakan provokatif,” kata Wakil Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, sebagaimana dikutip kantor berita Bernama.
Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi malah mengandaikan perkara ini sebagai masalah rumah tangga. ”Saya yakin kita bisa menyelesaikan masalah ini lewat perundingan,” kata Zahid di Kuala Lumpur, Rabu pekan lalu.
Zahid mengusulkan pemecahan alternatif bagi kedua pihak sambil menunggu penetapan batas negara di Ambalat. ”Saya usulkan tentara Indonesia dan tentara Malaysia tidak mendekati wilayah konflik itu,” katanya.
Sengketa ini berpangkal pada masalah membuat garis di Laut Sulawesi yang menunjukkan batas wilayah masing-masing. ”Ambalat bukan pulau, tapi dasar laut,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno. ”Ini yang perlu ditekankan.”
Dasar laut itu berada di kedalaman 2,5 kilometer di perairan Laut Sulawesi, 80 mil laut dari lepas pantai Kalimantan Timur. Menurut hukum Indonesia dan hukum internasional, batas kedaulatan wilayah Indonesia hanya sampai 12 mil dari garis pangkal kepulauan, dan hak Indonesia hingga 24 mil terbatas pada penegakan hukum di bidang imigrasi, bea cukai, karantina, kesehatan, dan pengelolaan sumber daya alam.
”Di luar 24 mil itu, hak negara terbatas pada pengelolaan sumber daya alam,” kata Arif, ketua tim perunding Ambalat sejak 2005. ”Pihak asing bebas berlayar atau terbang di atasnya.”
Kawasan ini diperkirakan kaya minyak dan gas bumi. Indonesia sudah mengklaimnya dengan memberikan konsesi eksplorasi minyak ke berbagai pihak sejak 1960-an, seperti Japex Jepang, ENI Italia, serta Unocal dan Chevron dari Amerika Serikat.
Masalah muncul ketika Malaysia membuat peta baru secara sepihak pada 1979. Dalam peta itu, Malaysia mengklaim wilayah perairan itu sebagai miliknya, dan menyebutnya Blok XYZ. Indonesia menyebut kawasan yang sama sebagai Blok Ambalat dan Blok East Ambalat.
Indonesia memberikan konsesi eksplorasi minyak di Blok Ambalat kepada ENI pada 1999, dan Blok East Ambalat kepada Unocal pada 2004. Malaysia baru mulai memberikan hak untuk mengeksplorasi minyak di kawasan itu kepada Shell (perusahaan gabungan Inggris dan Belanda) pada Februari 2005.
Langkah Malaysia ini langsung diprotes Indonesia, dan menaikkan suhu politik kedua negara. Pemimpin Libya Muammar Qadhafi bahkan menelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi untuk menunjukkan keprihatinannya, dan mengharapkan kedua negara menyelesaikan sengketa Ambalat secara damai.
Sejak itulah kedua negara membentuk tim perunding yang bertemu secara rutin tiga-empat bulan sekali. Masing-masing meliputi 15-20 orang, berasal dari berbagai instansi. ”Perundingan sudah mengalami kemajuan,” kata Arif Havas Oegroseno. ”Kita sudah melakukan exercise garis (upaya menentukan garis perbatasan).”
Alumnus Harvard Law School, Amerika Serikat, ini menyatakan perundingan tentang perbatasan memang lama dan tak bisa ditentukan tenggatnya. Indonesia dan Vietnam, misalnya, membutuhkan 30 tahun untuk menyelesaikan masalah perbatasan di Laut Cina Selatan.
Arif juga mengakui, perundingan Indonesia-Malaysia tak selalu mulus. ”Suasananya naik-turun.” Tapi, ia menegaskan, posisi Indonesia kuat secara legal dan faktual. ”Secara faktual, kita telah mengelola wilayah itu sejak 1960-an.”
Meski demikian, Arif mengingatkan, kehadiran TNI Angkatan Laut dan polisi perairan di Ambalat tetap diperlukan. ”Untuk memperkuat posisi berunding kita,” katanya.
Indonesia juga tak perlu membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional. ”Karena posisi kita kuat, cukup dengan bilateral saja,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah.
Pemerintah Malaysia tampaknya lebih memilih diam dalam menanggapi kasus ini. Upaya wartawan Tempo di Kuala Lumpur menghubungi berbagai pihak di kantor kementerian luar negeri Malaysia, termasuk pejabat Penyelidikan Perjanjian dan Perundangan Antarbangsa, pada Jumat lalu tak ditanggapi.
Datuk Adnan Osman, sekretaris bagian Asia Tenggara, enggan memberikan jawaban langsung. Adapun Edwar Jules, kepala bagian media, dan Ayaue Pachi, kepala bagian konsulat, menolak berkomentar. ”Bukan saya yang berhak berbicara,” kata keduanya.
Setelah kencang sesaat, suasana Ambalat kembali kendur. Para nelayan di pantai Tarakan, termasuk Supardi dan awak kapalnya, kembali melaut setelah hampir sepekan terdarat. ”Kalau tak melaut, mau diberi makan apa anak-istrinya?” kata Haji Syamsul.
Kurniawan, Safwan Ahmad, Firman Hidayat, Gunanto ES, Darlis, Titis Setianingtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo