Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dan ongko ingin menemukan taman ... dan ongko ingin menemukan taman...

Profil Jusup Handojo ongkowidjaya, lakon utama dalam kasus KAM. Retorikanya sangat memikat para anggotanya. Ia ingin merombak sistem perbankan dan menghan curkan lintah darat. Konon pernah dihukum.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA mesin pendingin ruangan berkekuatan satu PK menempel di dinding. Tapi kamar seluas 50-an meter persegi di lantai dua bangunan pertokoan itu selalu gerah. Maklum. Di situ ada 12 pegawai dengan meja kerja berdempetan. Sedangkan tamu-tamu hampir tak berhenti masuk berebutan. Semua ingin bertemu dengan orang yang duduk di pojok kiri kamar yang pengap oleh asap rokok itu. Orang itu jangkung, dengan tinggi 1,8 meter dan berat 72 kilo, dan memang peran utama dalam lakon ini: Jusup Handojo Ongkowidjaja, 49 tahun. Sepintas, ia tak mengesankan. Kursi itu disetel terlalu rendah, dan tubuh jangkung ini tampak terbenam di balik meja kerja murahan, tua, yang bagian depannya bertempel tripleks. Asap rokok Gudang Garam hampir tak berhenti mengepul dari mulutnya. Kantor tiga tingkat ini memang amat sederhana. Tampaknya sesuai benar dengan perintah penguasanya: "Jangan beli barang-barang mahal. Karena uang itu dari keringat, air mata, dan tetes darah rakyat miskin," teriaknya dalam suatu rapat KAM, dua pekan lalu. Retorika itu memang mengesankan. Juga sosok dan gaya Ongko. Melalui dua pesawat telepon Ia menerima laporan atau memberi instruksi kepada 10 cabang KAM yang sudah berdiri di Bandung, Surabaya, Pontianak, dan lain-lainnya. Dari sini pula dia memberi keputusan dan perintah kepada ratusan pegawai di kantor itu, yang selalu dipanggilnya sebagai anak-anaknya. Dengan tanda tangannya sebuah paket kredit bisa keluar, dan dengan keputusannya pula seorang anggota bisa menerima pinjaman sebelum waktunya. Pendek kata, semua keputusan datang hanya dari sini. Tak aneh, kalau semua tamu berebutan ingin menemuinya. Dengan suara tinggi dan meledak-ledak dia bisa mengeluarkan keputusan memecat atau menskors seorang pegawai yang dianggapnya menyeleweng. Tak satu pun yang tampak pernah membantahnya, meskipun terkadang keputusannya bisa membingungkan. Paling-paling, cuma ada gerundelan. "Dia bilang dipecat, tapi SK-nya tak pernah keluar dan orang itu tetap bekerja," keluh seorang staf. Bila berbicara, nama Tuhan hampir tak pernah luput disebutnya. Tanyalah mengapa ia mendirikan KAM. Dengan lancar ia akan berkisah, begini: Sebagai pendeta, dulu, ia banyak sekali mendengarkan keluhan jemaat tentang kesulitan dan kemiskinan. Yang terjerat lintah darat tak pula sedikit. Dan Ongko hanya bisa memberi mereka doa. "Tapi akhirnya saya sadar bahwa doa saja tak cukup," katanya. Karena, menurut Ongko, ada sabda Yesus, yang berbunyi, "Janganlah kau hanya mengucapkan, semoga dalam kasih Tuhan Anda akan hangat kepada seorang yang kedinginan, padahal di rumah Anda banyak baju. . . ". Lalu ia sadar, baju itulah yang perlu dicarinya. Dia mengaku berkeliling di 19 negara Asia, Eropa, dan Amerika. Suatu hari di bulan Maret 1987, ketika hujan turun dengan lebatnya di Jakarta, tiba-tiba Ongkowidjaja mendapatkan semacam ilham. Dia pun meninggalkan bisnisnya, berjualan es tinju, dan mendekam terus di rumah selama empat bulan: menyusun angka-angka, membuat perhitungan perhitungan, sampai akhirnya jadilah proyek KAM yang menghebohkan itu. Tapi bukankah pernah disebutkannya bahwa ide KAM datang dari pemikirannya bersama Ibnu Hardjanto, seorang tokoh yang punya hubungan keluarga kepresidenan ? "Tidak yang sebenarnya KAM itu ide saya sendiri," kilahnya belakangan. Dengan bangga Ongko berkampanye bahwa inilah sistem yang mampu menghancurkan lintah darat, meningkatkan taraf hidup kalangan lemah, dengan dijiwai semangat gotong-royong yang sudah lama dikenal bangsa ini. Sistem kredit perbankan, menurut Ongko, sudah terbukti tak mampu memperbaiki nasib golongan ekonomi lemah, sebab hanya membantu orang-orang yang memang sudah kuat. Maka, berapi-api Ongko bicara, "Apa adil, kalau yang dapat kredit hanya orang yang punya harta sebagai agunan? Apa berperi kemanusiaan, kalau orang yang sudah pailit, dan tak mampu bayar utang, rumahnya malah disita. Lalu di mana orang itu dan keluarganya mesti tinggal?" Seruannya ke dalam hati, tapi bagaimana praktisnya? Bila bank menaburkan pinjaman tanpa jaminan, apa tak bangkrut? Ongko tak menjawab. Ia malah membalik soal "Apakah kalau ada jaminan pasti tak ada yang dirugikan?" Semua bank, katanya, boleh berdiri bila menyerahkan sejumlah dana di Bank Indonesia sebagai jaminan. "Tapi kenyataannya sudah berapa bank di sini bangkrut dan pemiliknya lari," desak Ongko, "kenapa BI tak membayar uang para deposan?" Lalu serunya sengit, "Padahal, orang mendepositokan uangnya di sana karena bank itu sudah dijamin BI." Sebab itu, bagi dia, semua jaminan itu tak berarti. "Lebih baik jaminannya ini saja," dia masih berteriak, sembari mengempaskan Kitab Bibel di atas meja. "Bacalah Mazmur 15: seorang pria yang sejati, apa yang diucapkannya harus dia penuhi, biarpun salah, apalagi benar." Sejalan dengan itu, katanya, KAM tak mengenal agunan -- juga bunga -- untuk sebuah paket kredit. Ongko yakin itu bisa dilakukan karena melihat bank Islam yang mengharamkan bunga bisa tumbuh di berbagai negara Islam, bahkan di Malaysia. Ongko boleh menyebut ihwal bank Islam, tapi, anehnya, sejak 11 Januari yang lalu, KAM sendiri memperkenalkan paket pengaman dalam sistem kreditnya: suatu cara untuk menjamin pengembalian kredit anggota dengan menggunakan jasa perbankan. Begitulah Ongko, tampaknya. Ucapan-ucapannnya, misalnya, tampak lebih mementingkan gelora daripada konsistensi yang bisa dipedomani para stafnya dalam menjalankan gerak organisasi. Hari ini dia bergelora menyerang praktek perbankan, yang dituduhnya sudah ketinggalan zaman. Sistem KAM-lah yang paling orisinil, baru, dan akan menimbulkan revolusi di bidang perbankan, katanya. Tapi beberapa hari kemudian, di hadapan para pengurus KAM, ia menyatakan bahwa KAM sedang berusaha merintis kerja sama dengan BRI dan Bank Bumi Daya untuk menyukseskan program yayasan itu. Apa yang ia cari, kiranya? Dan jelaskah yang ia cari itu? Ia memimpikan, KAM' suatu saat akan menyebar ke seantero dunia. Dan sebagai penggalinya dari kebudayaan Indonesia, dia akan tampil di mimbar PBB sebagai tokoh yang berhasil menciptakan sistem yang mampu mengatasi resesi dunia. "Kenapa putra Indonesia tak bisa suatu kali tampil di mimbar PBB merombak dunia perbankan?" ujarnya bersemangat. Cita-citanya mungkin tinggi, juga cakapnya. Tahu-tahu kepada TEMPO, Ongko mengaku memiliki saham di sebuah bank swasta di Jakarta, senilai US$ 2,4 juta. Di hadapan seluruh pengurus cabang dan perwakilan KAM, 7 Februari lalu, ia mengungkapkan berbagai program: Memberi kredit kepada tukang becak di Jakarta dan Surabaya, sampai mereka mampu beralih pekerjaan dan menyerahkan sendiri becak mereka ke kantor Kamtib Kota Madya. KAM juga, katanya akan segera membangun dua pabrik yang kelak memproduksi bahan perumahan sistem pasang jadi. Sebab, yayasan ini, kata Ongko, akan membangun 1.800 rumah anggota pensiunan ABRI di Jakarta Utara, di atas areal 1.500 ha. Ratusan perumahan juga akan dibangunnya di Lembang, Jawa Barat, Sintang dan Pontianak, Kalimantan Barat. Untuk meningkatkan taraf hidup anggota, katanya lagi, akan dibikinkannya kandang ternak cacing di rumah-rumah anggota. "Cacing bisa diekspor ke Singapura," katanya. Kalau perlu, anggota juga akan diajarinya memelihara tikus. Ada lagi rencana proyek 700 sapi perah di Depok. Belum cukup, mesin jam tangan akan diimpor dari Jepang atau Italia dan dibagikan pada anggota. Katanya, "Saya tinggal angkat telepon, mesin itu akan sudah datang." Sebab, perusahaannya di Singapura, yang ia sebut Lotar Corporation namanya, "sudah mendapat kredit dari MITI Jepang", dan sesen pun kredit itu belum dicairkannya. "Nanti kalau perlu kredit itu saya ambil untuk membiayai semua proyek itu," katanya. Dan hadirin pun - di antaranya orang berpangkat mayor bahkan kolonel purnawirawan - bertepuk. Ongko memang memiliki retorika. Kata-kata yang dipilihnya setiap berbicara di depan massa KAM dan setiap kali mengundang keplok - selalu bertaut dengan perasaan khalayak ramai: golongan ekonomi lemah, ekonomi kuat, kaum rentenir dan lintah darat, pemerataan, keadilan, dan sebagainya. Lalu ayat-ayat Bibel pun berlepasan. Tak ayal, nyalinya besar - mungkin kelewat besar buat ukuran dirinya. Atau Ongko tampak selalu berusaha memberi kesan bahwa dia pantas melakukan itu. Dia, misalnya, mengaku pernah mengusir tiga petugas yang bilang dari BI dan ingin memeriksa pembukuan KAM. "Satu sen pun tak ada kredit BI di sini, mereka mau periksa apa?" katanya. Dengan cambang tipis yang tumbuh tak beraturan, rambut jarang yang mulai beruban, serta baju batik yang selalu lusuh, Ongkowidjaja memang tak menampilkan kesan seorang manajer lembaga kredit yang sudah memutarkan uang belasan milyar rupiah. Ia lebih mirip seorang pembawa keyakinan - dan harapan. Sebuah tongkat besi dengan hulu dua kepala naga tampak selalu bersamanya. Tongkat itu dihadiahkan oleh utusan suku Baduy Dalam dari Banten yang menemuinya belum lama ini, katanya. Di samping meja kerjanya, tergantung akar-akar kayu yang sudah kering, dan di dekatnya ada jam dinding bergambar Yesus. Di situlah ada petikan dari Yesaya 41:13: "Sebab Aku Tuhan Allahmu memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu, "Jangan takut Akulah yang akan menolong engkau". Benar alimkah dia? Dilahirkan di Binjai, 20 km dari Medan, konon namanya dulu adalah Ong Hwing Hwa. Mengaku dilahirkan dengan shio naga, anak kelima dari delapan bersaudara ini menamatkan sekolah agama di Baptist School Medan, 1957. Sejak itu ia menjadi pengabar Injil di berbagai kota di Sumatera Utara dan Riau. Anak muda yang rajin membaca buku itu kemudian bekerja di perpustakaan Gereja Methodis Indonesia (GMI) Medan. "Dia anak baik dan kerjanya tekun," ujar Kosasih, seorang pendeta senior GMI di kota itu. Memang, riwayat hidupnya sering meragukan. Misalnya, selain mengklaim pernah jadi pendeta, ia sering mengaku dokter jiwa. Ia menyebut Universitas Airlangga, Surabaya, lulus tahun 1965. Tapi, pimpinan universitas itu membantah keterangannya. "Sejauh pelacakan yang kami lakukan tak dijumpai nama itu," ujar Prof. Soedarso Djojonegoro, Rektor Unair. Tambah Lusno, seorang pegawai administrasi Unair: "Bahkan semua nama yang punya awalan Ong saya kumpulkan, tapi kok nggak ada yang mendukung pengakuan Jusup Ongkowidjaja itu." Yang tampaknya pasti dalam riwayatnya yang berliku itu, Ongko pernah menghilang dari lingkungan GMI. Dikabarkan ia melanjutkan pelajarannya di Seminari Alkitab di Malang. Mengaku tamat dari sana, 1965, dia menyatakan pula pernah bertugas sebagai pendeta di beberapa gereja di Jakarta. Akhirnya ia pindah ke Gereja Kalam Kudus di Jalan Mayang, Medan, sejak 1967. Berkat kegigihannya, katanya, Ongko mengusahakan kredit dari sana-sini, hingga beberapa gereja dan sekolah Kalam Kudus berdiri di kota itu. Benarkah? Tokoh GMI, Kosasih, membenarkan. Tapi pimpinan Kalam Kudus Medan, Hetty Lumy, tampak ragu-ragu "Soalnya, saya bertugas di sini, 1971, setelah Pak Ongko di Jakarta," katanya. Namun, Hetty tak membantah kalau Ongko pernah menjadi aktivis gerejanya. Tapi, di tahun 1971, Ongko dipecat karena berselisih dengan para pengurus dalam masalah keuangan yayasan gereja "Saya sedihnya bukan main," katanya. Sejak itu, ia bergerak di bidang bisnis Didirikannya PT Ratu Gaya di Jakarta yang kemudian dikenal sebagai agen tunggal mesin fotokopi U-Bix. Bisnisnya menjulang. Xerox, yang semula merajai pasaran mesin fotokopi, ditumbangkannya. "Dia jadi milyuner dan ke mana-mana naik mobil Mercy," ujar seorang bekas temannya. Sayang, pada 1976, Ongko cekcok dengar PT APS Electronic, distributor U-Bix untuk Asia Tenggara. Perusahaan Singapura yang menunjuknya sebagai agen tunggal untuk Indonesia itu menuduhnya memalsukan berbagai suku cadang U-Bix agar merait untung lebih banyak. Maka, sekalipun di jualnya lebih murah, konsumen dirugikan dan nama U-Bix bisa jatuh. Dengan tuduhan itu, keagenan Ongko dicabut dan digantikan perusahaan lain. Selain itu, rupanya, diam-diam Ongko merakit sendiri mesin fotokopi di Tangerang, dengan suku cadang impor dari Korea Selatan dan Taiwan. "Onderdilnya 70% saya buat sendiri dan harganya lebih murah dari U-Bix," kilahnya. Produk itu diberi merk U-Mix. Tentu PT APS marah, lalu mengadukan Ongko ke kejaksaan. Akibatnya, pabrik itu ditutup. Malah, 31 Agustus 1977, Ongko ditangkap, dan sempat mendekam 93 hari di dalam sel. Kejahatan pemalsuan yang dituduhkan tak terbukti. Malah, menurut Ongko, dia tak bersalah sama sekali. Pertikaiannya dengan perusahaan Singapura itu hanya karena royalti yang dikenakan perusahaan itu terlalu tinggi. Meskipun Ongko tak dihukum karena memalsu, hakim tunggal yang mengadilinya, Hangky Ismu Azhar, memvonisnya tiga bulan penjara karena melakukan persaingan tidak sehat dengan merk U-Mix meniru U-Bix tadi. Ongko yakin, kalau kasus itu terjadi ketika semua pejabat sibuk kampanye produksi dalam negeri, belum tentu dia yang kalah. "Saya mencoba melawan modal asing itu dengan membuat produksi dalam negeri ternyata saya yang dikalahkan," katanya. Betapapun, sejak itu nama Ongko tenggelam. Dia mulai disebut setelah menjadi saksi perkara pemalsuan SK Menteri Sosial tentang surat izin undian SSB yang menyeret anggota DPR dari FPP, Fachrurrozy, sebagai tertuduh di pengadilan "Tapi dalam kasus itu saya pihak yang ditipu, bukan menipu," kata Ongko. Sekarang pun dia tak merasa akan menipu. Melalui KAM kembali dia berkibar. Apa yang dicari oleh ayah dari empat anak ini? "Sebelum mati saya ingin menemukan Taman Eden dan lokasi perahu Nabi Nuh," katanya. Ia memang lain dari yang lain. Amran Nasution (Jakarta), Bersihar Lubis (Medan), Wahyu Muryadi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus