MENTERI Keuangan Radius Prawiro memberi "pekerjaan rumah" kepada Kepala Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan, dan Neraca Pembayaran untuk mengutak-atik angka arus uang KAM. Tak kurang dari 12 skenario digelar pada kertas komputer, tapi angka paling realistis tampak pada skenario L. Dasar perhitungan yang dipakai adalah angka kelipatan pertambahan anggota (rate of increase) dab basic cashflow. Dari dua variabel utama itu, Badan Analisa Keuangan sampai pada kesimpulan, apabila kelipatan kenaikan anggota dan basic cashfolw lebih besar, berarti tenggang waktu cicilan lebih cepat, dan KAM harus makin cepat pula menepati janjinya, yang kemudian akan mempercepat proses kebangkrutannya. Tak seperti ekonom Kwik Kian Gie, yang berasumsi pertambahan anggota KAM bisa konstan, Badan Analisa Keuangan malah beransumsi keanggotaan KAM bakal mengalami penurunan setelah melewati masa jenuhnya. Berikut ini perhitungan Badan Analisa Keuangan. Bila setiap anggota diansumsikan mengambil satu paket, dan membanyar tabungan wajib Rp 260.000,00 secara mencicil, maka pada bulan pertama, masing-masing mereka telah memasukkan uang Rp 80.000,00 -- yang terbagi atas uang pendaftaran sebesar Rp 50.000,00, dan cicilan pertama Rp 30.000,00. Lalu, pada bulan-bulan berikutnya, selama enam bulan, mereka mengangsur Rp 30.000,00. Baru pada bulan ke delapan anggota yang masuk pada gelombang pertama itu memperoleh pencairan kreditnya sebesar Rp 5 juta. Itulah yang disebut perhitungan basic cashfolw. Perhitungan nasabah baru sesuai dengan asumsi kelipatan pertambahan anggota setiap periode. Dan, anggota baru ini setiap kali dijumlahkan dengan anggota lama, sehingga diperoleh anggota atau nasabah kumulatif. Sebagai contoh, pada periode pertama jumlah anggota 200 orang. Pada periode kedua asumsi kenaikan nasabah 2,50, sehingga jumlah anggota baru pada periode 2 = 2,50 x 200 = 500 nasabah. Nasabah kumulatifnya = 200 + 500 = 700. Begitu seterusnya. Perhitungan cumulative cashfolw merupakan jumlah akumulatif dari uang seluruh periode sebelumnya. Sebagai contoh, pada periode pertama, cashfolw kumulatif = 200 nasabah kumulatif x cashfolw dasar Rp 80.000,00 = Rp 16.000.000,00. Pada periode kedua, cashfolw kumulatif = Rp 40.000.000,00 (setoran 500 nasabah baru x Rp 80.000,00) + Rp 6.000.000,00 (200 nasabah mencicil a Rp 30.000) = Rp 46.000.000,00. Demikian seterusnya. Bila Anda perhatikan Skenario L pada tabel di atas, angka di dalam tanda kurung "( )" itu menunjukan bahwa kas KAM mengalami defisit. KAM mulai membayar pencairan kredit kepada 200 nasabah pertamanya pada periode kdelapan. Ongkowidjaja mesti membayar 200 x Rp 5.000.000,00 = Rp 1 milyar. Pada saat itu ada 45.394 nasabah baru, sehingga keseluruhan nasabahnya ada 94.380. Uang masuk ke kas Ongko ada Rp 5,095 milyar, dikurangi dengan Rp 1 milyar untuk pencairan kredit 200 paket = Rp 4,095 juta. Secara kumulatif, ternyata kas Ongko berjumlah Rp 9,264 milyar. Angka ini sekaligus menunjukkan bahwa perhitungan Kwik, yang menyimpulkan KAM telah defisit pada bulan ketujuh, terbukti tak benar menurut perhitungan Badan Analisa Keuangan ini. Pada periode ke-11, di kas KAM masih tertumpuk uang Rp 4,973 milyar. Saat itu, ia baru membayar Rp 13,800 milyar. untuk 2.760 nasabah periode keempat. Pada periode ke-11 ini nasabah Ongko sudah mandek pada jumlah 166.813. Pada periode ke-12, KAM mengalami defisit yang tak tanggung-tanggung. Pemasukan Rp 4,682 milyar periode itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kewajiban membayar percairan kredit Rp 30,360 milyar untuk 6.072 nasabah periode kelima, yang jatuh tempo bulan itu. Ia sesungguhnya mengalami defisit Rp 25, 678 milyar. Tapi bisa agak kecil lantaran kasnya masih ada Rp 4,973 milyar sisa periode sebelumnya, sehingga defisit sesungguhnya yang dialami menjadi Rp 20,704 milyar. Sejak periode ke-12 inilah defisit KAM berlipat-lipat tak terkirakan. Pada periode ke-17, saat KAM mesti mengeluarkan uang Rp 68,009 milyar untuk 13.602 nasabah periode ke-10, defisit mereka sudah mencapai Rp 790.692 milyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini