Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Citra TNI justru akan terpuruk jika membela anggota yang nyata-nyata melanggar aturan.
Pengerahan pasukan untuk menggeruduk markas Polretabes Medan merupakan bentuk obstruction of justice.
Reformasi belum menyentuh sistem peradilan militer.
JAKARTA – Institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sorotan setelah melepaskan Mayor Dedi Hasibuan dari dugaan pelanggaran pidana. Padahal Dedi secara terang-terangan memobilisasi anak buahnya untuk menggeruduk markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan, Sumatera Utara. “Ini semakin menegaskan bahwa lingkup internal TNI harus direformasi,” kata Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, melalui keterangan tertulis, kemarin. "Dalam hal pelanggaran pidana umum, aparat TNI harus diposisikan setara di mata hukum dan tak boleh ada pengistimewaan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan Dedi ke Mapolrestabes Medan tidak ada hubungan dengan profesinya sebagai tentara. Ia justru diduga telah mengintervensi proses hukum dan mengintimidasi penyidik kepolisian. Tindakan ini bisa dikatakan sebagai bentuk nyata dari obstruction of justice.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, sependapat dengan Gufron. Menurut dia, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI semestinya tidak sekadar mendalami dugaan pelanggaran pidana dan disiplin yang dilakukan Mayor Dedi. “Tapi harus ditelusuri juga praktik pelindungan terhadap pelaku tindak pidana berkedok bantuan hukum,” kata Khairul.
Mayor TNI Dedi Hasibuan (kanan) di markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara, 5 Agustus 2023. Dok. Tempo
Pendalaman tersebut bersifat wajib karena Mayor Dedi mengklaim dirinya bertindak sebagai kuasa hukum dari tersangka yang ditahan polisi. Tersangka itu adalah Ahmad Rosyid Hasibuan, kerabat dekat Mayor Dedi. Untuk memberikan pendampingan hukum kepada Ahmad Rosyid, Dedi juga mengklaim telah mendapat izin dari atasannya. Klaim-klaim inilah yang harus dibuktikan dan sebenarnya tidak terlalu sulit. “Jadi, nanti bisa disimpulkan, dugaan merintangi proses hukum ini dilakukan sendiri atau ada keterlibatan atasannya,” kata Khairul. “Citra TNI di mata publik sudah baik. Jangan sampai tercoreng karena melindungi anggotanya yang bersalah.”
Polrestabes Medan menetapkan Ahmad Rosyid sebagai tersangka dalam perkara pemalsuan dokumen jual-beli tanah. Polisi menahan Ahmad Rosyid sejak 29 Juli 2023. Mendengar keponakannya ditahan, Mayor Dedi memohon kepada Kepala Hukum Komando Daerah Militer (Kakumdam) I/ Bukit Barisan, Kolonel Muhammad Irham Djannatung, untuk memberikan bantuan hukum kepada Ahmad Rosyid. Permohonan itu disampaikan secara tertulis pada 31 Juli 2023.
Berselang sehari setelah penyampaian permohonan itu, Ahmad Rosyid mengirim surat kuasa kepada 14 personel Kumdam I/Bukit Barisan untuk menjadi kuasa hukumnya. Kemudian, pada 3 Agustus 2023, Kolonel Muhammad Irham Djannatung mengirim surat permohonan penangguhan penahanan Ahmad Rosyid Hasibuan kepada Kapolrestabes Medan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan, Komisaris Teuku Fathir Mustafa, berkeberatan mengabulkan permohonan itu. Sikap inilah yang belakangan mendorong Dedi mengerahkan 31 tentara berseragam loreng untuk mendatangi Polrestabes Medan. Akhirnya, dengan berat hati, polisi mengeluarkan Ahmad Rosyid dari ruang tahanan.
(Dari kiri) Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Marsekal Muda Agung Handoko; Kapuspen TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono; dan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, memberikan keterangan pers kepada wartawan soal tindakan Mayor Dedi Hasibuan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, 10 Agustus 2023. ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Hamim Tohari, mengatakan Puspom TNI dan Puspom Angkatan Darat telah memeriksa Mayor Dedi. Hasilnya, tidak ditemukan unsur pidana. Karena itu, Dedi dikembalikan kepada Kodam I/Bukit Barisan untuk menjalani pemeriksaan atas dugaan pelanggaran disiplin.
Tempo berupaya meminta tanggapan dari Kepala Penerangan Daerah Militer I/Bukit Barisan, Kolonel Rico Julyanto, tentang pemeriksaan terhadap Dedi. Namun hingga semalam ia tidak menjawab pertanyaan yang dikirim lewat pesan instan.
Undang-Undang Peradilan Militer Harus Direvisi
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Julius Ibrani, mendorong agar regulator merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sebab, undang-undang ini justru sering digunakan untuk memberikan impunitas kepada anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. “Karena aktor dan penegak hukum sama-sama berasal dari kalangan militer,” katanya. “Tentu ini menjadi absolutisme terhadap reformasi sipil.”
Julius berpendapat bahwa perbuatan Mayor Dedi yang mengerahkan pasukan untuk menggeruduk kantor polisi jelas merupakan tindakan pidana. Sebab, pengerahan pasukan itu telah menghambat proses hukum yang sedang ditangani penyidik kepolisian. “Kalau dikatakan Puspom bahwa tidak ada pelanggaran pidana tapi ada pelanggaran etik, saya rasa ini tidak nyambung,” ujar Julius.
Sebab, kata Julius, jika memang ada indikasi pelanggaran etik, patut diduga terdapat pelanggaran pidana. Begitu juga sebaliknya. “Jika nanti di Kodam I/Bukit Barisan tidak ditemukan pelanggaran pidana dan etiknya, absolutisme tersebut menjadi amat kentara,” katanya. “Ini jelas merupakan gambaran korps membela korps yang pada akhirnya memberikan dampak tidak baik bagi sistem peradilan kita.”
ANDI ADAM FATURAHMAN | HENDRIK YAPUTRA | EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo