Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sakit Si Miskin Makin Sakit

Obat untuk rakyat miskin dibatasi. Pemerintah berdalih menertibkan.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sepekan ini Tantowi, 37 tahun, tergolek di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Wahidin, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Sejak diserang nyeri lambung disertai muntah dan berak darah Senin pekan lalu, warga Balungmojo, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, itu langsung dilarikan ke Puskesmas Kecamatan Puri.

Dokter puskesmas angkat tangan dan menyarankan pekerja serabutan itu dibawa ke RSUD Dr Wahidin. Oleh sanak saudaranya, Tantowi kemudian dilarikan ke rumah sakit milik Pemerintah Kota Mojokerto itu. Meskipun dirawat di kelas tiga, Tantowi mengaku mendapat pelayanan memadai.

Hanya, harga obatnya yang tak terjangkau. Dalam tiga hari, keluarga itu harus merogoh hampir Rp 1 juta untuk biaya kamar, pemeriksaan darah, obat, dan makan. Padahal, ”Penghasilan suami saya hanya Rp 20 ribu per hari,” kata Jaenab, istri Tantowi, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Dengan berutang sana-sini, Jaenab akhirnya dapat membayar biaya pengobatan suaminya. Yang jadi masalah, dokter belum memutuskan kapan Tantowi boleh pulang. Pihak rumah sakit menyarankan Jaenab mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) agar mereka mendapat pelayanan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) yang dikelola PT Askes. Perlu waktu dua hari Jaenab mengurus kartu miskin.

Setelah SKTM dikantongi, biaya pengobatan keluarga ini ditanggung rumah sakit. Tapi tak semua obat bisa diberi gratis. Untuk obat pembeku darah, misalnya, Jaenab harus merogoh kocek sendiri, Rp 75 ribu harganya. ”Obat pembeku darah tidak masuk daftar obat yang diganti Askeskin,” kata Irianti, Kepala Bidang Pelayanan dan Perencanaan RSUD Dr Wahidin.

Nasib lebih nahas dialami Dimas Agung Suryanto. Selasa pekan lalu, bayi berusia empat bulan itu terpaksa dibawa pulang oleh orang tuanya setelah menjalani perawatan tiga bulan di RSU Dr Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur. ”Saya dipaksa membawa pulang oleh rumah sakit,” kata Luluk Kholifah, ibu Dimas.

Ketika dibawa ke rumah sakit, April lalu, tubuh Dimas kurus kerontang. Anak itu dinyatakan menderita hernia, dan ada tumor di punggungnya. ”Kata dokter, ada kelainan saraf,” kata Bambang Suryanto, ayah Dimas. Karena pekerjaannya hanya mencari katak, warga Desa Mangliawan, Kabupaten Malang, itu mengajukan fasilitas Askeskin.

Dengan kartu Askeskin itulah dokter melakukan serangkaian pengobatan. Termasuk akan mengoperasi benjolan di punggung Dimas serta memasang alat pelurus tulang belakang. Penyakit hernianya akan diurus belakangan.

Sesuai dengan janji dokter, Dimas mestinya bisa dioperasi pada pertengahan Mei lalu. Tapi, ketika tiba jadwal operasi, dokter membatalkannya dengan alasan tak cukup waktu. Dokter berjanji operasi akan dilakukan Juni, tapi ini pun batal dengan alasan yang sama.

Pada awal Juli, Bambang menagih janji operasi anaknya. Seorang dokter menyatakan Dimas baru bisa dioperasi jika alat pelurus tulang punggung untuk anak ini tersedia. Esoknya, dokter malah menyatakan tak sanggup mengoperasi karena alat pelurus tulang punggung tidak masuk fasilitas yang diganti Askeskin. Alat itu harganya Rp 8 juta. Dengan hati remuk, Bambang membawa pulang anaknya.

Tantowi dan Dimas hanyalah bagian kecil dari 10 juta lebih orang miskin di Jawa Timur yang mestinya mendapatkan pengobatan gratis dari negara. Tapi, untuk menyantuni kesehatan kaum miskin ini, pemerintah semakin ”pelit” mengucurkan dana. Kebijakan ini setidaknya tecermin dari munculnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 417, yang diberlakukan awal Juli ini.

Keputusan ini dimaksudkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat. Namun, bagi masyarakat, SK tersebut diartikan membatasi jumlah obat yang digunakan untuk keluarga miskin. Sebab, dalam keputusan itu, pemerintah hanya menetapkan 358 jenis obat untuk pasien miskin. Padahal, sebelumnya, obat yang disediakan ada 720 jenis.

Dalam daftar obat yang dihapus itu ada obat untuk penyakit vital seperti kanker, jantung, dan hemofilia. CT scan juga tak ditanggung. Tentu banyak pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan ini. ”Kami sangat kecewa,” kata Yayuk Emilia, Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Jawa Timur.

Bagi Yayuk, selama ini, penderita hemofilia terbantu dengan biaya yang ditanggung Askeskin. Soalnya, obat hemofilia termasuk jenis obat mahal. ”Tapi, kalau kemudian harus membayar, mana kami mampu?” katanya.

Selain memberatkan pasien, aturan baru ini membuat pusing pengelola rumah sakit daerah. Tanpa pembatasan jenis obat itu pun, keuangan rumah sakit daerah sudah megap-megap karena mereka juga menutup kekurangan biaya obat untuk kaum miskin. ”Rata-rata rumah sakit daerah nombok Rp 32 ribu per kepala per hari,” kata Hanna Permana Subanegara, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Daerah.

Karena itu, baik Yayuk maupun Hanna minta aturan itu ditinjau kembali. Desakan serupa dilayangkan anggota Komisi E DPRD Jawa Timur. ”Kami minta SK 417 tersebut direvisi,” kata Rofi Munawar, wakil ketua komisi itu. Sebab, jika SK itu tidak dicabut, rakyat kecillah yang jadi korban.

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari bukan tak memahami kegelisahan itu. Tapi, dia berdalih, aturan yang dibuatnya justru menertibkan penggunaan obat-obatan dalam melayani kesehatan masyarakat miskin. Sebab, katanya, selama ini telah terjadi penggelembungan klaim obat-obatan. ”Mestinya obat generik, tapi diberi obat bermerek,” kata Siti.

Zed Abidien, Bibin Bintariadi, Kukuh S.W. (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus