Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika Menjadi Tokoh OPM

Bekas tokoh opm, 46, menjelaskan ketika dia menjadi tokoh opm.(nas)

5 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA berewok dan kumis lebat, ia memang tidak tampak angker lagi. Eusebius Martin Tabu, 46, yang dulu dikenal sebagai jenderal Pasukan Pembebasan Nasional merangkap Presiden Republik Papua Barat, sekarang kelihatan biasa dengan gigi depannya yang sudah ompong. Menyerah April 1980, Martin Tabu kini tinggal di mess Kodam Cenderawasih Jalan Bonang, Jakarta Pusat. Dia telah menikah lagi dengan Nining Yuningsih, 26. Dari perkawinannya dengan wanita Priangan itu Martin, yang kini menjadi petugas keamanan sebuah perusahaan real estate PT Alfita Utama di Jakarta, sudah dikaruniai seorang putri berusia tiga bulan, Eda Emilda. Sebelum tersesat masuk hutan, Martin Tabu adalah seorang bon. "Saya ini bon, yang menguasai lebih dari satu suku. Bon mempunyai tanggung jawab besar dan macam-macam. Setelah Ayah meninggal, saya menjadi bon di Yamas, Jayapura. Kalau dihitung, di Yamas dan sekitarnya saja ada 700 keluarga. Di bawah saya, ada beberapa camat. Kekuasaan saya mencakup tanah milik saya. Seluruh Jayapura, Kabupaten Jayapura dan termasuk perbatasan itu milik saya. Itu dari nenek moyang saya. Jadi, Obahorok dan saya kira-kira sama. Saya di Jayapura dan Obahorok di Wamena," katanya. Bertelanjang dada, mengenakan celana pendek, tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini mendapat gaji Rp 100.000 sebulan itu menawab pertanyaan TEMPO minggu lalu. Mengapa menjadi OPM? Saya menjadi OPM sejak 1969. Anggota saya tidak sampai 30 orang. Senjatanya cuma satu Mauser dan senjata rakyat berupa panah. Saya masuk OPM karena tidak ingin harta kami dirampas. Kami dikasih tahu orang, rencana adanya transmigrasi yang akan mengambil tanah kami. Saya sudah tulis surat ke berbagai pihak. Boleh ambil, tapi saya minta ganti rugi buat beli rokok. Jawaban tidak ada. Tujuan mendirikan OPM. Saya memang pendiri OPM. Tapi saya tidak aktif. Saya membentuk OPM karena mendengar isu islamisasi dan perampasan tanah, penyerobotan kayu. Itu diberitahukan oleh Jacob Pray dan Zeth Rumkorem. Kami ingin, pemerintah itu adil, menghormati hak setlap orang. Saya ingin mendirikan pemerintahan yang adil itu. Mengapa berbalik dan meninggalkan OPM? Saya berkeinginan besar untuk membantu pemerintah. Izaac Hindom, gubernur, itu mempunyai kesulitan menyelesaikan perbatasan. Saya bisa.bantu. Dia dari Fak-Fak dan tidak tahu soal perbatasan. Sayang, saya tidak diizinkan membantunya. Dan saya berhubungan dengan pemerintah karena, bagi saya, semua adalah teman. Saya pernah membebaskan tiga pejabat yang ditahan OPM pimpinan Rumkorem. Jaminannya, nyawa saya sendiri. Ketika itu (April 1980), saya menghubungi Kapten Zacky Anwar dari Kopassandha. Saya datang sendiri Kemudian saya diamankan di Kodam selama setahun. Tapi bukan dipenjarakan, Iho. Dan di Jayapura, saya diberi rumah untuk tinggal bersama istri dan lima anak. Agustus 1981, saya dipindahkan ke Jakarta. Semua orang pasti ingin kembali ke desanya. Dari seorang kepala suku yang datang ke Jakarta tahun lalu, saya tahu desa saya dijadikan daerah transmigrasi. Pernah juga Pak C.I. Santosa sebelum berakhir masa jabatannya sebagai panglima Cenderawasih menanyakan, "Martin, sebelum saya berhenti, kamu mau apa? Apa mau pulang?" Saya jawab, "Nanti dulu, Pak. Saya ingin setahun dua tahun dahulu mengenal Jakarta."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus