KEDUA surat dakwaan itu tebalnya sama: 23 halaman. Tuduhan kepada keduanya juga serupa: melakukan tindak pidana subversif dengan memberikan serangkaian ceramah yang merongrong kewibawaan pemerintah serta menyelewengkan ideologi negara Pancasila. Hingga keduanya pun diancam dengan hukuman yang sama: hukuman mati. Salim Qadar dan Yayan Hendrayana. Kedua orang mubalig inilah yang Sabtu pekan lalu duduk di kursi terdakwa, dalam sidang terpisah, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Keduanya didakwa ikut menghasut massa melalui berbagai ceramahnya, terakhir pada 12 September 1984, yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Tanjung Priok. Keterlibatan Salim Qadar dianggap lebih dalam. Menurut Jaksa Gatot Hendrarto, kecuali memberikan ceramah pada 12 September di pengajian yang diadakan di Jalan Sindang, Tanjung Priok, Salim Qadar juga ikut memimpin massa yang kemudian melakukan perusakan dan penghancuran bangunan. Separuh massa lainnya, sekitar dua atau tiga ribu orang, dengan dipimpin Amir Biki bergerak menuju kantor Kores dan Kodim Jakarta, untuk membebaskan empat anggota jemaah ceramah yang ditahan yang berwajib. Dalam sidang pertama yang tidak terlalu padat pengunjungnya itu, Jaksa mengutip berbagai ucapan Salim Qadar pada berbagai ceramahnya, antara lain pada 18, 25, dan 29 Agustus, lalu pada 10 September 1984, yang dianggapnya merongrong Pancasila dan kewibawaan pemerintah. Misalnya kutukan Salim kepada Ali Murtopo "yang mau menghancurkan umat Islam", kecamannya pada penataran P-4, larangan berjilbab, serta pada asas tunggal Pancasila. Salah satu yang dikutipnya adalab ucapan Salim pada ceramahnya di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, 25 Agustus 1984: "Sudah jelas Islam akan dikubur oleh asas tunggal, dia tidak bilang apa-apa. Maka, saya inginkan kepada Saudara-Saudara, terutama anak-anak sekolah, kalau ada gurunya yang omong begitu, tabok saja pakai bakiak ...." Haji Salim Qadar bin Sulaeman, 50, ketua III Korps Mubalig Islam, yang dikenal sebagai tokoh dari Banten di Tanjung Priok, menolak dakwaan itu. Dalam eksepsinya, anggota tim pembela H.M. Dault menanyakan mengapa Salim Qadar ditangkap setelah ia memberikan ceramahnya yang keenam kalinya. Padahal, tidak ada kesulitan seandainya ia ditangkap pada hari-hari pertama ceramahnya, yang dalam surat dakwaan isinya merongrong ideologi dan landasan negara Pancasila. "Apakah ini disengaja dilakukan sambil menunggu meledaknya Peristiwa Tanjung Priok? Kenapa para pelaku pengeboman BCA langsung ditangkap, sedangkan Salim Qadar tidak?" tanya Dault. Dalam penjelasannya kepada TEMPO, Salim Qadar menjelaskan, ia menolak dakwaan Jaksa karena tidak dapat mengerti. Ia menunjuk jabatannya sebagai ketua Front Pancasila Jakarta Utara, yang mengganyang G30-S/PKI tatkala Orde Baru mulai lahir. "Saya tidak pernah menentang Pancasila. Saya adalah pembela Pancasila dan mendambakan terlaksananya Pancasila dan UUD 1945 seutuhnya di negeri kita." Diakuinya, ada bagian pidatonya yang bernada emosional, yang, "Terpaksa timbul karena dorongan hati yang prihatin. Sebab, Islam dan umat Islam terus-menerus dipojokkan dan dicurigai." Salim Qadar meminta, ketidaksetujuannya pada asas tunggal jangan diartikan menentang negara, dan hendaknya dianggap sebagai perbedaan pendapat yang dijamin haknya oleh UUD 1945. "Apalagi saya menentang asas tunggal untuk ormas, tatkala itu masih merupakan rancangan undang-undang, dan bukan menentang undang-undang yang sudah disahkan sebagai hukum positif di Indonesia." Salim juga menolak tuduhan bahwa ia ikut memimpin massa menyerbu Kores Jakarta Utara pada 12 September 1984. Menurut pengakuannya, karena merasa tidak enak badan, malam itu, setelah memberikan sambutan, ia kemudian kembali ke rumah, dan baru tengah malam ia mendengar berita tentang tewasnya Amir Biki. Ia menganggap tuduhan Jaksa sebagai "kebohongan dan fitnah besar". Dalam dakwaan kepada Yayan Hendrayana, Jaksa Basryf Arief juga mengutip berbagai ucapan terdakwa, dalam ceramahnya pada 30 Juni, 28 Juli, 3 Agustus, dan 12 September, yang menyerang Pancasila dan pemerintah. Diungkapkan Jaksa bahwa Yayan adalah salah seorang penanda tangan "Ikrar Umat Islam Jakarta dan Sekitarnya untuk menolak Asas Tunggal Pancasila dan RUU Keormasan". Kecaman Yayan yang dikutip Jaksa umumnya keras, kasar, dan tema serta sasarannya lebih luas. Ia, misalnya, mengecam Menteri Sudomo dalam soal pengiriman TKI ke Arab-Saudi, menyerang dominasi ekonomi Cina, pembangunan gereja yang tanpa izin, dan tentu saja juga tentang asas tunggal Pancasila. Yayan bahkan sering mengecam pribadi Presiden Soeharto. Yayan, 35, yang aslinya bernama Sya'i, berasal dari Majalaya, Bandung, terakhir menjadi guru SMP dan SMA Bahari di Tanjung Priok. Ia juga mahagiswa PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) Jakarta. Seperti juga Salim Qadar, Yayan menolak dakwaan Jaksa dengan dalih yang sama: bahwa ceramah-ceramahnya merupakan amar ma'ruf nahi munkar yang ditunjang pasal-pasal dalam UUD 1945. "Masa saya yang menganjurkan melaksanakan syariat Islam secara kaafah malah dikategorikan seperti Imron yang mau mendirikan negara dalam negara tercinta. Jadi, dakwaan itu naif sekali." Pada TEMPO Yayan mengaku sama sekali tidak tahu terjadinya pembakaran motor dan berbagai hal lain yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Tanjung Priok. Susanto Pudjomartono Laporan Agus Basri dan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini