SETELAH Bea dan Cukai, kini Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat mendapat giliran ditertibkan. Mulai 1 September nanti, mereka tidak lagi diperbolehkan patroli, minta setoran, atau menyidik di jalan-jalan raya. Ruang gerak "singa" - sebutan para sopir truk - jalanan itu dibatasi, hanya mengurus masalah transportasi murni. Artinya, demikian keputusan pemerintah yang diumumkan Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin Rabu lalu, petugas DLLAJR hanya dibenarkan berada di tempat uji kendaraan, jembatan timbang, dan kantor pemberian izin angkutan darat. Refungsionalisasi dan restrukturisasi di bidang angkutan jalan raya itu, menurut Roesmin, selesai melapor kepada Presiden bersama Mendagri Soepardjo Rustam dan Menpan Saleh Afiff, merupakan kelanjutan Inpres 4/ 1985, yang baru-baru ini menertibkan angkutan laut. Tujuannya: memperlancar arus barang di jalan raya. Soal seretnya arus barang karena ulah petugas DLLAJR yang suka "main gertak" itu diakui sebagian besar sopir truk antarkota. Wartawan TEMPO Yusro M.S. Sabtu malam pekan lalu menumpang truk yang dikemudikan Solikhin dari Semarang menuju Surabaya. Di jembatan timbang Demak, Jawa Tengah, truk dengan muatan besi dua ton melebihi kapasitasnya yang 4,6 ton itu "diproses". Mula-mula petugas DLLAJR meminta denda Rp 4.000. Tapi, Marno, kenek truk itu, dengan lincah dan penuh pengalaman mengadakan tawar-menawar. Setelah petugas menyetujui besarnya "upeti", ia berlari-lari kecil ke samping Solikhin sambil berteriak dan menengadahkan tangan: "Dua batu." Maksudnya, denda kelebihan barang itu akhirnya cuma Rp 2.000. Adegan semacam itu, menurut Solikhin sambil menginjak pedal gas meninggalkan jembatan timbang, bisa dengan cepat diselesaikan asal jumlah "batu"-nya segera disepakati. Yang paling menjengkelkan justru petugas DLLAJR yang suka patroli dan menyetop truk di tengah jalan. "Mereka mencari-cari kesalahan," kata Solikhin. SIM, STNK, surat barang dan lain-lain diperiksa. Kalau surat lengkap, petugas berseragam celana abu-abu dan baju putih itu masih menyelidiki kesalahan lain seperti jumlah muatan, tutup pentil ban, perban dan peniti di kotak PPPK, atau pompa. "Biaya" mengorek kesalahan itu paling sedikit Rp 2.000. Untuk menempuh jalur jalan Jakarta-Surabaya, Solikhin sering makan waktu 3-4 hari. "Sampai sekarang, saya hanya jalan malam," katanya. Siang hari, ia memarkir truknya di sembarang tempat. Soalnya, katanya, jalan siang hari sering menjadi mangsa petugas DLLAJR atau polisi. Hal yang sama dialami Tando, sopir truk pengangkut sayur-mayur dari Jakarta ke Padang. Petugas DLLAJR yang dikenal galak dan teliti di ruas Jalan itu, katanya, di daerah Lampung. "Sampai lampu depan yang kurang terang pun bisa jadi perkara," katanya. Untuk kesalahan kecil seperti pentil ban kurang kencang, lupa membawa perban, menurut Rio, juga sopir truk jurusan Jakarta-Padang, sedikitnya Rp 1.000 mesti diselipkan ke tangan petugas yang sering bergaya marah itu. Tapi, katanya, kalau surat tidak lengkap, mereka bisa minta denda sampai Rp 50.000. Cara lebih cepat, sebenarnya, bisa dilakukan bila sopir atau kernet tahu "adat" jalan raya. Wartawan TEMPO Bersihar Lubis dari Medan, Rabu pekan lalu menumpang truk "Harapan Baru" menuju Pakanbaru. Menjelang Tebingtinggi, Banggas Simamora, 45, melihat empat orang petugas DLLAJR menghadangnya. Ia segera meloncat turun dari truknya yang mengangkut barang kelontong itu, dan menyerahkan surat-surat dengan Rp 1.000 terselip di bagian bawah. Tanpa banyak omong truk disuruh meneruskan perjalanan. "Kalau tidak tahu "adat", kita bisa-susah," katanya sambil menggenjot pedal gasnya. Untuk melicinkan jalan Medan-Pakanbaru, yang sering ditempuhnya 4 - 5 hari itu, majikannya menyediakan dana Rp 50.000. Uang pelicin semacam itu, kecuali untuk petugas yang patroli di sepanjang jalan, juga untuk mengisi kas jembatan timbang sebanyak tujuh buah yang mesti dilewati dengan tarif masing-masing Rp 2.500. "Tapi tidak jarang kita diperas sampai Rp 10.000 sekali menginjak jembatan timbang," katanya. Tahun 1982, ketika Laksamana Sudomo menjadi panglima Kopkamtib, hampir semua jembatan timbang yang berjumlah 173 buah dan dianggap menjadi sumber pungli ditutup. Dari Jumlah itu, 55 buah diperkenankan menjalankan tugasnya dengan status uji petik. Namun, dalam Raker Gubernur 1984, 20 gubernur mendesak pemerintah mencairkan penutupan jembatan timbang yang dibekukan itu. Alasannya, subsidi Rp 8,8 milyar untuk menutup ketekoran tiap daerah, akibat penutupan jembatan timbang itu, tidak cukup (TEMPO, 5 Mei 1984). Mungkin, penghapusan tugas DLLAJR "turun ke jalan" itu bisa menjadi alasan untuk membuka kembali jembatan timbang yang ditutup itu. Selama ini, 10% petugas DLLAJR dari seluruhnya yang 14.000 orang bertugas di jalanan. Sebagian besar ditempatkan di bagian pengujian kendaraan, administrasi, dan menjaga 90 jembatan timbang untuk memungut uji petik. Dengan pemotongan salah satu fungsi DLLAJR di jalanan itu, menurut Dirjen Perhubungan Darat Giri Suseno Hadihardjono, tidak akan berakibat sampai pengurangan tenaga. "Dengan transportasi murni saja, tugas kami masih berat," katanya kepada TEMPO. Tugas pemeriksaan atau penyidikan di jalan raya dikembalikan ke polisi. Sebagai gantinya, DLLAJR akan diserahi membuat SIM dan STNK. "Kami sudah siap," kata Dirjen Giri Suseno, "pegawai atau alat yang digunakan polisi sekarang toh bisa dipindahkan ke DLLAJR."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini