Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah 10 tahun

MUI genap 10 tahun. Hasil munas III memilih kembali Hasan Basri sebagai ketua. Sejumlah tokoh dari generasi muda tampil. MUI bukan formalitas lagi-semakin berfungsi di masyarakat.(nas)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) genap berusia 10 tahun. Tatkala lahir, di zaman menteri agama dijabat Mukti Ali dulu, banyak yang menyangsikan lembaga ini. Tuduhan yang paling sering terdengar waktu itu: MUI adalah proyek pemerintah untuk mengebiri umat Islam. Sepuluh tahun berlalu sudah. "Akhirnya, bagaimanapun juga, MUI diakui telah banyak manfaatnya bagi umat Islam," kata Menteri Agama Munawir Sjadzali dengan wajah berseri, Senin tengah malam pekan ini, di tengah Musyawarah Nasional (Munas) III MUI di hotel Sahid Jaya, Jakarta. Munas yang berlangsung antara 20-23 Juli ini diikuti 250 peserta dari 27 provinsi dan beberapa ormas tingkat nasional. Adanya suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun, dan mempersatukan pendapat serta pikiran para ulama Indonesia sudah lama diinginkan pemerintah dan umat Islam. Setelah berkali-kali berusaha, barulah pada 1975 MUI terbentuk, melalui suatu kebulatan tekad yang ditandatangani 53 orang ulama terkemuka di pusat dan daerah. Toh, diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengikis kecurigaan terhadap MUI. Salah satu langkah maju MUI dicapai sewaktu dipimpin ketua umumnya K.H. Syukri Gozali. Upaya Syukri antara lain dengan menemui ormas-ormas Islam yang ada. "Sikap tawadlu' (rendah hati) ini yang membuat mereka terharu," kata Hasan Basri, yang dalam munas ini tetap terpilih sebagai ketua umum MUI. Puncak usaha terjadi menjelang bulan Puasa, tatkala MUI berikhtiar mempertemukan para tokoh Islam di masjid Istiqlal, khususnya NU dan Muhammadiyah. Dalam pertemuan itu, kata Hasan Basri, rais am NU Kiai Achmad Siddiq menyatakan, MUI yang dulu dianggapnya hanya formalitas ternyata merupakan sarana pembinaan umat yang tepat. Sedangkan ketua umum PP Muhammadiyah A.R. Fachruddin mengatakan, MUI bisa dijadikan sebagai imamah umat Islam Indonesia. "Saya melihat inilah hasil terbesar MUI," kata Hasan Basri kepada Mustafha Helmy dari TEMPO. Menteri Agama sendiri mengakui, kehadiran MUI selama 10 tahun ini sangat terasa terutama dalam tiga hal. Pertama: fungsi MUI sebagai sarana komplementer dari lembaga perwakilan yang ada untuk aspirasi umat Islam kepada pemerintah. Kedua: sebagai penerjemah kebijaksanaan pemerintah yang kemudian diteruskan kepada umat. Yang ketiga: kini ada jaminan bahwa tak mungkin terjadi ada undang-undang yang bertentangan dengan ajaran agama. "Sebab, MUI, baik diminta atau tidak, memberi nasihat pada pemerintah tentang hal-hal yang tak bertentangan dengan agama," ujar Munawir. Contohnya: keputusan bahwa kodok boleh dibudidayakan, tapi tetap haram untuk dimakan. Menginjak usianya yang ke-11, Menteri Munawir ingin melihat MUI lebih berbobot dan mandiri. Karena itu ia, yang duduk sebagai ketua Dewan Pertimbangan dan dalam Munas III ini terpilih sebagai salah satu formatir, mencabut jabatan sekretaris umum MUI yang biasanya dijabat dirjen bimas Islam untuk diserahkan pada pilihan MUI sendiri. S. Prodjokusumo, bekas sekretaris MUI, kini menduduki jabatan itu. Sedangkan Dirjen Bimas Islam A.Q. Basalamah memperoleh kedudukan sebagai salah satu ketua. Dalam kepengurusan baru-MUI yang terpilih dalam Munas III ini muncul juga sejumlah nama dari generasi muda. Antara lain Abdurrahman Wahid dan Dr. Quraesyi Shihab, seorang sarjana ahli tafsir tamatan Al-Azhar. Keduanya menduduki jabatan ketua. Beberapa tokoh ulam'a dari ormas Islam dimasukkan dalam Dewan Pertimbangan, misalnya Achmad Siddiq dari NU dan Harsono Tjokroaminoto dari SI. "Dalam Munas ini kami tegaskan bahwa MUI merupakan komposisi dari ulama, teknokrat, dan zuama (pemimpin organisasi atau masyarakat)," kata Hasan Basri. Keputusan lain Munas meningkatkan hubungan MUI dan MU daerah. "Kalau tak ada hubungan, akibatnya banyak fatwa daerah yang tidak sepadan." Fatwa kini akan dibatasi, agar terjadi dinamika pandangan. "Bukan orang harus menunggu fatwa MUI terus," ujar Hasan. Fatwa yang bersifat nasional akan digarap MUI sendiri. Asas Pancasila ternyata mulus diterima. "Sebelumnya MUI tak punya asas," kata Prodjokusumo. Asas ini muncul dalam pasal tersendiri yang berbunyi: MUI berakidah Islamiyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus