Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kisah difabel kursi roda, Silvia, 39 tahun, patut menjadi pelajaran bagi siapa saja agar tidak putus asa. Perempuan kelahiran Payakumbuh, 18 Januari 1980 ini membuktikan difabel tetap bisa berkarya dan mandiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu bukan perkara mudah bagi Silvia untuk menumbuhkan kepercayaan diri lantaran dia menjadi difabel karena kecelakaan. Pada 2001, mobil yang dia kemudikan mengalami pecah ban seusai menjenguk nenek yang sakit di Payakumbuh, Sumatera Barat. Tubuhnya terjepit pintu mobil dan membuat saraf pinggang sampai kaki lumpuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu Silvia seolah tak punya harapan. "Saya syok dan sempat terpikir ingin bunuh diri ketika dokter memvonis kaki saya lumpuh total," kata Silvia. Hanya ibunya, Suriati, 62 tahun, yang selalu membesarkan hati dan berusaha memberikan semangat dengan selalu memutar ayat-ayat suci Al-Quran.
Selama empat tahun Silvia terbaring di tempat tidur. Dia merasa tak berguna dan hanya merepotkan sang ibu. "Kalau lagi kumat, saya ingin bunuh diri. Amak yang selalu menenangkan saya," kata dia.
Silvia kemudian mengalami dekubitus atau luka akibat tekanan lantaran terlalu lama terbaring di tempat tidur. Dia kemudian memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD Padang. Di sana Silvia melihat seorang perawat sedang merajut. Silvia merasa tertarik dan mampu melakukannya. Ditambah motivasi dari ibunda membuat tekadnya kian bulat untuk menekuni kegiatan merajut.
Perempuan 39 tahun ini kemudian berusaha mencari tempat kursus merajut. Setelah menguasai berbagai teknik, dia pun mencoba membuat aneka produk rajutan. Mulai dari tas, sepatu, jilbab, aksesori, pakaian, dan dompet. Harganya bervariasi, mulai Rp 45 ribu sampai di atas Rp 1 juta, tergantung tingkat kesulitan dan bahan kombinasi rajutan.
Beberapa produk rajutan Silvia sudah dijual ke luar kota bahkan luar negeri, seperti ke Finlandia, Australia, dan New Zealand. Semua pesanan itu didapatkan melalui online. Untuk mempelajari cara berjualan lewat daring, lulusan diploma di salah satu perguruan tinggi swasta di Padang, ini bergabung dengan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Padang, dan kelompok UMKM Padang.
Kini Silvia berusaha menyebarkan semangat kepada masyarakat. Sembari menerima pesanan rajutan, dia kerap mengisi pelatihan merajut di beberapa daerah, salah satunya di Solok, Sumatera Barat. "Saya selalu berpesan kepada teman-teman disabilitas, yakinlah kita tidak pernah sendiri. Masih banyak orang yang peduli," kata dia.