Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Yubita Perempuan Difabel, Kubur Mimpi Jadi Dokter hingga Diterima di UGM

Yubita Hida Aprilia, mahasiswa baru UGM yang diterima di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya melalui jalur SNBT dengan skema pembayaran UKT 0 alias gratis.

1 Agustus 2023 | 23.20 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yubita Hida Aprilia. Dok. UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Yubita Hida Aprilia merupakan mahasiswa difabel yang berhasil diterima di Universitas Gadjah Mada atau UGM pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya. Lolos jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes atau SNBT 2023, Yubita mendapat pembebasan biaya kuliah uang kuliah tunggal atau UKT Rp 0 alias gratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski dengan kondisi kehilangan sebagian kaki kanannya, Yubita tetap gigih untuk bisa lanjut kuliah. Tujuh tahun lalu, Yubita mesti merelakan kaki kanannya diamputasi pada 15 September 2017. Kala itu, dia menderita tumor tulang yang telah menyebar dari telapak kaki hingga betis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu-satunya cara agar tumor itu tak menjalar adalah dengan operasi amputasi. Perempuan dari Desa Termas, Kecamatan Karangrayung, Grobogan Purwodadi Jawa Tengah ini menjalani operasi di RS Orthopedi Solo. Cukup lama ia menderita tumor tulang semenjak menjelang kelulusan dari SD Negeri 2 Termas hingga kelas VIII di SMP Negeri 1 Karangrayung. Selama itu pula ia harus beraktivitas dengan kruk (penyangga kaki).

“Sedih memang tapi bagaimana lagi. Orang tua dan dokter sepakat ini harus dilakukan agar tidak semakin menjalar,” kenang Yubita dilansir dari situs UGM pada Selasa, 1 Agustus 2023.

Diterima kuliah di UGM menjadi penyemangat untuk dirinya di tengah berbagai situasi berat yang mesti dia hadapi. Banyak perubahan setelah Yubita kehilangan satu kaki. Ia pun terpaksa membatasi kegiatan ketika di bangku sekolah. Bahkan, dia harus mengubah mimpinya menjadi dokter.

Kehilangan Ayah dan Kubur Mimpi Jadi Dokter

Semula, Yubita ingin menjadi dokter. Namun, dia takut tidak bisa mengikuti perkuliahan karena banyaknya praktik lapangan. Apalagi, ketika baru lulus SMA, dia mesti kehilangan sang ayah, Tarli. Ayahnya meninggal karena sakit paru-paru. Yubita sempat mengurungkan niatnya untuk kuliah.

“Ayah meninggal hampir bersamaan saat kelulusan SMA. Makanya saat lulus dari SMA Negeri 1 Karangrayung sempat gap year,” aku Yubita.

Ibunya tak sanggup untuk menanggung beban kuliah. Belum lagi, Yubita memiliki adik yang masih duduk di bangku SD. Sedangkan kakaknya yang sudah berkeluarga juga belum bisa membantu karena belum mapan.

Setahun menunggu kesempatan seleksi masuk perguruan tinggi, Yubita mengisi hari-harinya dengan membaca dan latihan soal-soal tes. Dengan pendapatan ibunya sebagai buruh paruh waktu di pemotongan ayam di pasar Godong Grobogan, ia pun tak tega menyampaikan keinginannya untuk mengikuti bimbingan belajar.

“Tidak mungkin, lokasi bimbelnya juga jauh dari rumah,” ucapnya.

Nilai-nilai Yubita di kelas XII IPA SMA Negeri 1 Karangrayung sesungguhnya tidak terlalu jelek dengan rata-rata nilai Ujian Sekolah mencapai 85,46. Namun, untuk mengejar ketertinggalan, ia selalu konsisten dengan pola belajar yang rutin dan dilakoninya setiap hari pukul 3 dini hari hingga subuh.

“Beraninya paling bilang minta dibelikan buku-buku latihan soal dan paket try out. Kalau ada kesulitan-kesulitan sesekali buka Youtube. Kenapa Sastra, ya berharap saja kuliah lapangannya tidak terlalu banyak,” ujar pengagum sastrawan Pramoedya Ananta Tour, Khalil Gibran dan Rendra ini.

Yubita merasa bersyukur meski tidak memiliki badan sempurna, saat sekolah ia mendapat perlakuan baik dari teman-temannya. Bahkan, saat duduk di SMA Negeri 1 Karangrayung salah satunya teman yang kebetulan masih saudara rela menjemput saat berangkat dan pulang sekolah.

Dara kelahiran Grobogan 23 April 2004 itu kini tengah menjalani Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) di kampus UGM. Ia senang bisa kuliah di UGM, perguruan tinggi yang ia impikan semenjak duduk di bangku SMP Negeri 1 Karangrayung.

Ibu Yubita, Juwariyah mengaku senang sekaligus sedih melihat Yubita diterima kuliah di UGM. Dia mengaku senang karena apa yang diinginkan anaknya terkabul. Sedangkan rasa sedihnya karena suaminya tidak melihat kebahagiaan Yubita masuk kuliah di UGM.

Juwariyah mengaku mustahil awalnya untuk terus mendorong Yubita bisa kuliah. Penghasilannya sebagai tenaga paruh waktu di pemotongan ayam dan buruh tani tidak akan mencukupi.

Pripun rata-rata naming sekitar 1,5 juta. Nggih bersyukur saja, sedihnya bapaknya tidak bisa nyawang Yubita kuliah menjadi mahasiswa baru UGM,” ungkapnya berkaca-kaca.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus