Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mulai menguji berbagai data serta keterangan dalam insiden baku tembak di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Ajudan Ferdi, Brigadir Nopriansyah Josua Hutabarat, tewas dalam insiden itu. Semua data dan keterangan tersebut diperoleh sendiri oleh tim Komnas HAM. “Apakah (data dan keterangan) itu bersumber dari publik? Ya, kami punya referensi sendiri," kata komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, Choirul Anam, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anam, dari data dan keterangan itu, Komnas HAM akan menggali pola tertentu dalam insiden baku tembak yang terjadi di kompleks Polri, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. "Yang kedua, untuk melihat relasi luka. Misalnya, apakah ini tembakan, apakah ini sayatan, dan sebagainya,” kata dia. Karena itu, Komnas HAM akan berfokus pada keterangan dan data mengenai karakter senjata, karakter luka, dan jenis penggunaan senjata. “Termasuk juga melihat posibilitas TKP (tempat kejadian perkara) dan sebagainya."
Insiden baku tembak itu melibatkan Brigadir J—inisial dari Nopriansyah Josua Hutabarat—dengan Bharada E. Insiden ini terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo pada 8 Juli lalu. Brigadir Josua merupakan sopir istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawaty Sambo. Sedangkan Bharada E adalah ajudan Ferdy.
Versi kepolisian, Brigadir Josua diduga melecehkan Putri yang tengah beristirahat di kamar di lantai satu. Lalu Bharada E, yang saat itu berada di lantai dua, bergegas turun setelah mendengar teriakan Putri. Josua, yang panik, melepaskan tembakan ke arah Bharada E. Bharada E membalas tembakan itu, yang kemudian menewaskan Josua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menegaskan bahwa tim Komnas HAM bekerja secara terpisah dengan tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Tim Komnas akan bekerja secara independen dan mencari fakta sendiri. Karena itu, Komnas enggan menggunakan data dan keterangan yang diperoleh kepolisian. Meski begitu, kedua pihak akan tetap berkoordinasi untuk saling mendukung kebutuhan masing-masing penyelidikan.
"Sudah berkali-kali sebenarnya Komnas HAM dan Polri melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mirip seperti ini,” kata Ahmad. “Dulu ada peristiwa Mei 2019, di mana tim yang dibentuk di Polri dan Komnas melakukan pekerjaan dan tugas masing-masing. Ada mekanisme koordinasi yang intensif."
Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono (kiri) yang juga Ketua tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat memberikan keterangan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 15 Juli 2022. TEMPO/Subekti
Tim khusus Polri yang dibentuk Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kemarin telah bertemu dengan tim Komnas HAM. Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, yang ditunjuk sebagai pemimpin tim, datang bersama Inspektur Pengawas Umum Mabes Polri, Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto; dan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo.
Gatot mengatakan tim khusus telah mulai bekerja untuk mendalami insiden baku tembak di rumah dinas Ferdy Sambo itu. Di antaranya dengan memeriksa ulang lokasi kejadian. "Kemudian kami melakukan beberapa kegiatan lagi, pemeriksaan pendalaman oleh tim forensik, baik itu lab forensik maupun tim kedokteran forensik kami," kata Gatot. “Kemudian juga dari Bareskrim memeriksa saksi-saksi yang memang diperlukan, seperti saksi-saksi yang di TKP dan saksi lainnya.”
Gatot mengatakan, dalam pertemuan dengan Komnas HAM, tim khusus berjanji akan memberikan akses ke berbagai keterangan dan data kepolisian jika memang dibutuhkan Komnas HAM. Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menambahkan, fakta serta data yang diperoleh tim khusus diklaim dapat dibuktikan secara scientific crime investigation. "Biar tidak ada spekulasi-spekulasi,” katanya. Karena itu, ia meminta masyarakat dan media bersabar serta memberikan waktu bagi tim untuk bekerja dan mengungkap kasus tersebut secara obyektif, transparan, serta akuntabel.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Bambang Rukminto, mengatakan, untuk memastikan tim khusus bekerja secara obyektif, Polri harus menonaktifkan Ferdy Sambo. Alasannya, baku tembak itu terjadi di rumah Sambo dan perwira polisi tersebut memiliki jabatan yang strategis di kepolisian. "Sesuatu yang tak mungkin obyektif bila dia sebagai petinggi Propam diperiksa oleh lembaganya sendiri," kata Bambang.
Meminta Perlindungan LPSK
Bersamaan dengan penanganan kasus ini di Mabes Polri dan Komnas HAM, istri Sambo juga ikut bergerak meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Putri telah melaporkan dugaan perbuatan tak menyenangkan dengan kekerasan (Pasal 335 KUHP) dan perbuatan cabul (Pasal 289 KUHP), yang diduga dilakukan oleh Brigadir Josua.
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, mengatakan laporan tersebut disampaikan kuasa hukum Putri pada Rabu lalu. Meski begitu, LPSK tidak langsung memenuhi permohonan Putri tersebut. "Sebelum kami berikan perlindungan, LPSK akan menelaah dan menginvestigasi dulu,” kata Susi. Untuk itu, LPSK akan berkoordinasi dengan penyidik yang menangani kasus ini.
Susi menambahkan, LPSK membutuhkan waktu sekitar 30 hari untuk mempelajari kasus tersebut. "Jika korban atau saksi tidak memiliki informasi penting untuk mengungkap kejahatan atau tidak ada ancaman yang nyata, bisa saja kami tolak (permohonannya),” katanya. “Kami juga akan melihat rekam jejak pemohon."
EGI ADYATAMA | RIRI RAHAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo