Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bentrokan berkali-kali terjadi gara-gara konflik agraria di Malin Deman, Mukomuko.
Kriminalisasi terhadap petani semakin sering terjadi.
Lahan yang digarap warga diklaim masuk HGU.
JAKARTA – Konflik agraria di Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, memanas. Dalam dua bulan terakhir, setidaknya telah terjadi sepuluh kali bentrokan antara petani dan perusahaan sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adam Malik, petani sawit Desa Talang Arah, mengatakan bentrokan terakhir pecah beberapa hari lalu. Awalnya, pada 17 Juli 2023, Adam memetik tandan buah sawit (TBS) untuk dibawa pulang. Ketika sedang memindahkan sekitar 1 ton buah sawit ke jalan, muncul puluhan karyawan PT Daria Dharma Pratama (DDP). Mereka mengepung pria berusia 43 tahun itu. “Mereka mengambil paksa TBS milik saya,” ujar Adam, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adam tentu saja protes. Namun ia tak kuasa mencegah. Karena itu, Adam buru-buru menghubungi Soeharto, yang merupakan Ketua Petani Maju Bersama Desa Talang Arah. Tidak berapa lama, Soeharto datang bersama 17 petani. Bersamaan dengan itu, datang juga petugas pengamanan PT DDP dalam jumlah yang lebih banyak. Akhirnya terjadi adu mulut yang berujung pada bentrokan. “Tapi kami berhasil merebut TBS dan langsung pergi meninggalkan lokasi,” kata Soeharto.
Keesokan harinya, sekitar 50 petani yang tergabung dalam kelompok Petani Maju Bersama bersiaga di lahan untuk berjaga-jaga. Benar saja, tidak berapa lama, karyawan PT DDP juga tiba di tempat itu dengan jumlah yang lebih banyak. Tanpa basa-basi, mereka masuk ke lahan yang dikelola petani, lalu menjarah buah sawit.
Lahan perkebunan sawit di Desa Talang Arah, Malin Deman, Kabupaten Mukomuko. Dok. Petani Maju Bersama
Soeharto dan kawan-kawannya tidak tinggal diam. Mereka berupaya menghalang-halangi sehingga bentrokan kembali terjadi. Beruntung, bentrokan itu bisa diredam. “Anehnya, polisi yang datang tidak berupaya melerai,” kata Soeharto.
Menurut Soeharto, ada 67 keluarga yang tercatat menjadi anggota kelompok Petani Maju Bersama. Mereka sudah memegang surat keterangan garap dari kantor desa sejak 2013. Karena itu, mereka berjuang mempertahankan lahan yang diklaim oleh perusahaan tersebut. “Sebab, ini sumber kehidupan kami,” katanya.
Konflik agraria di Malin Deman bermula pada 1995. Kala itu, PT Bumi Bina Sejahtera (BBS) mendapat izin hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas 1.889 hektare untuk komoditas tanaman cokelat. Namun mereka tidak pernah mengelola lahan di Desa Talang Arah tersebut. Karena itu, warga membersihkan lahan untuk ditanami padi dan palawija.
Pada 2005, muncul PT DDP yang mengklaim telah membeli lahan dari PT BBS. Mereka mengusir petani, lalu menanami lahan dengan sawit. Abdullah, kuasa hukum petani, mengatakan klaim PT DDP ini lemah. Apalagi, pada 2009, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) justru mengeluarkan status tanah HGU PT BBS. Kementerian menegaskan bahwa tanah HGU PT BBS terindikasi telantar. “Selain itu, mereka menanam sawit, padahal HGU PT BBS untuk komoditas kakao,” kata Abdullah.
Di sinilah konflik antara petani dan perusahaan dimulai. PT DDP dituding kerap mengintimidasi dan mengkriminalkan petani. Konflik ini menarik perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mukomuko. Pada 2017, sejumlah anggota DPRD akhirnya datang ke lokasi. Dari kunjungan itu, mereka menyimpulkan bahwa PT DDP tidak memiliki izin pengalihan komoditas dari kakao ke sawit. Bahkan tim khusus yang dibentuk DPRD juga memiliki kesimpulan yang sama.
Pada periode 2017-2019, warga kembali mengelola lahan eks HGU PT BBS. Adapun total lahan yang dikuasai PT DDP seluas 935,73 hektare dari total 1.889 hektare. Sisanya digarap oleh masyarakat. Khusus di Desa Talang Arah, Petani Maju Bersama mengelola sekitar 300 hektare lahan. Mereka menjadikan sawit sebagai komoditas utama.
Namun, pada 2019, PT DDP semakin sering mendatangi lahan yang dikelola petani untuk memanen sawit. “Petani tentu saja tidak terima,” kata Abdullah. Benturan fisik antara warga dan perusahaan tidak bisa dihindari. Peristiwa paling besar terjadi pada 12 Mei 2022. Polisi kala itu menangkap 40 petani yang sedang memanen sawit. Mereka dituduh mencuri sawit milik perusahaan.
Kemudian, pada Oktober 2022, Kepala Kepolisian Resor Mukomuko memfasilitasi pertemuan kedua belah pihak. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa kedua belah pihak tidak saling mengganggu. “Namun, 16 hari setelah kesepakatan itu, pondok-pondok petani yang ada di lahan dibakar,” kata Abdullah. “Perusahaan juga tetap memanen sawit yang dikelola petani.”
Kanopi Hijau Indonesia, organisasi lingkungan, turut memberikan perhatian terhadap konflik yang terjadi di Malin Deman itu. Apalagi, pada Mei-Juni lalu, sudah ada 12 petani yang dikriminalkan oleh perusahaan. Mereka dituduh memasuki lahan milik PT DDP.
Bentrokan Petani Maju Bersama dengan PT Daria Dharma Pratama (DDP) di Desa Talang Arah, Malin Deman, Kabupaten Mukomuko. Dok. Petani Maju Bersama
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Kanopi Indonesia Hijau, Erin Dwiyanda, khawatir jumlah petani yang menjadi korban akan terus bertambah. Karena itu, timnya berupaya mengadvokasi warga. "Awal bulan lalu, kami kirim surat ke Menkopolhukam untuk minta diselesaikan. Sebab, kalau tak ada keterlibatan pemerintah pusat, agak susah,” katanya. “Pemerintah daerah selama ini tidak mendengarkan kami.”
Kapolres Mukomuko, Ajun Komisaris Besar Nuswanto, membenarkan telah terjadi bentrokan antara petani dan karyawan PT DDP pada 17-18 Juli lalu. Kehadiran polisi di tempat itu bertujuan mengantisipasi bentrokan susulan. Sebab, sejak 2022 hingga 2023, ada 20 bentrokan di Malin Deman. "Jadi, kami jaga kamtibmas. Kami bersikap netral,” ujar Nuswanto.
Ia menegaskan bahwa sekitar 300 hektare lahan yang dikelola petani di Desa Talang Arah sebetulnya masuk HGU PT DDP. Karena itu, mereka mengirim polisi untuk membantu PT DDP mengambil alih lahan yang diduduki warga. “Warga tak punya sertifikat. Kami sudah cek,” katanya. “Yang nanam sawit itu PT DDP dan yang menguasai tentu PT DDP juga.”
Juru bicara PT DDP, Sapuansyah, mengatakan karyawan masih berada di dalam wilayah HGU perusahaan. Ia justru menuding kelompok tani memprovokasi karyawan sehingga terjadi bentrokan. “Lahan yang diklaim oleh kelompok petani itu adalah HGU milik PT BBS,” katanya. “Sekarang HGU sudah dialihkan kepada PT DDP.”
Ia membantah telah mengkriminalkan warga. Sebab, faktanya, warga memang masuk ke lahan perusahaan dan mencuri sawit. “Beberapa orang sudah disidangkan dan dijatuhi hukuman,” kata dia.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo