Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman didesak mundur dalam sidang uji materiil batas syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Persidangan pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu telah digelar beberapa kali.
Mahkamah Konstitusi memastikan segera menindaklanjuti bila ada aduan resmi.
JAKARTA - Sejumlah ahli hukum tata negara merasa khawatir akan independensi Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji materiil batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Musababnya, adanya dugaan konflik kepentingan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam mengadili sejumlah perkara pengujian terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, misalnya, menyatakan sejak awal permohonan ini diajukan ditengarai erat dengan kepentingan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Apalagi nama anak sulung Presiden Joko Widodo alias Jokowi ini digadang-gadang masuk bursa calon wakil presiden, meski usianya belum memenuhi syarat. “Masalahnya, Anwar Usman sebagai hakim konstitusi yang mengadili perkara ini memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi, ayah dari Gibran,” ujar Ilhamdi saat dihubungi pada Senin, 28 Agustus lalu. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu mensyaratkan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan calon wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menunjukkan surat suara dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2023-2028 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 15 Maret 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Anwar Usman disebut sudah berpotensi terlibat konflik kepentingan ketika menikahi adik Presiden Jokowi bernama Idayati pada 26 Mei 2022. Sejak pernikahan itu, Usman dinilai telah kehilangan legal standing sebagai seorang hakim konstitusi. Hal tersebut semata-mata karena independensi dan imparsialitas Anwar berpotensi tergerus ketika memimpin Mahkamah Konstitusi.
Konflik kepentingan kian besar ketika Anwar Usman ikut mengadili permohonan uji materiil yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI sejak Mei lalu mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023. Mereka menggugat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur syarat usia 40 tahun bagi calon presiden dan calon wakilnya. Dalam permohonan uji materi itu, PSI meminta Mahkamah Konstitusi menurunkan syarat usia itu menjadi 35 tahun.
Tak hanya PSI, Partai Garuda juga mengajukan permohonan serupa pada 2 Mei lalu. Disusul gugatan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar yang menginginkan selain syarat usia, ditambahkan syarat memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Belakangan juga muncul permohonan dari sejumlah individu yang bahkan mengajukan syarat minimum menjadi 25 tahun dan 21 tahun. Pada saat yang sama, Mahkamah Konsitusi juga menerima gugatan atas permohonan batas usia maksimal calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 70 tahun.
Persidangan pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu tersebut telah digelar beberapa kali dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. “Seharusnya secara etik Anwar Usman tidak boleh terlibat dalam sidang-sidang, khususnya perkara ini. Sebaiknya dia mundur,” ucap Ilhamdi.
Dia mengatakan hakim konstitusi terikat pada Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Di antaranya memegang prinsip independensi, imparsialitas, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, kecakapan dan kesaksamaan, serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Variabel ini menjadi tolok ukur untuk menilai apakah seorang hakim konstitusi jujur dan amanah serta memiliki keteladanan dan integritas.
Aktivis hukum Themis Indonesia, Feri Amsari, juga khawatir akan adanya potensi konflik kepentingan Anwar Usman dalam sidang uji materiil. Dia menyarankan Anwar Usman mengundurkan diri. “Sulit dihindari perkara yang diadili kali ini berhubungan dengan keponakannya yang sudah diusung oleh PSI sebagai calon wakil presiden dan partai itu juga yang mengajukan permohonan judicial review,” ujar Feri.
Menurut dia, konflik kepentingan bakal berubah menjadi penyalahgunaan wewenang ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan PSI. Artinya, posisi Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi berpotensi menguntungkan gugatan PSI. Hanya, kata Feri, perlu pembuktian ihwal dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut.
Upaya Perubahan Syarat Umur Hakim Konstitusi
Guru besar hukum tata negara dan advokat Denny Indrayana melaporkan Anwar Usman ke Dewan Etik atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Denny mengklaim kembali mendapat informasi penting soal Mahkamah Konstitusi. Dia kemarin menyebutkan, “Kali ini syarat umur menjadi hakim konstitusi menjadi obyek jualan dagang sapi di antara politikus di Republik Konoha.”
Denny Indrayana di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 25 Mei 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Denny mengatakan syarat umur saat ini menjadi primadona pintu masuk dengan hal yang disebut “politicking”. Menurut dia, bukan hanya syarat umur calon presiden dan calon wakil presiden yang ingin diubah, tapi syarat umur hakim konstitusi juga disebut ikut menjadi tumbal “dagang sapi”. Denny menilai hal tersebut merupakan strategi pemenangan Pemilu 2024.
Menurut dia, ada kekuatan politik yang bergerilya untuk menguasai minimal lima dari sembilan hakim konstitusi. Sebab, kata dia, penentu akhir pemenang pemilihan presiden adalah Mahkamah Konstitusi, terutama jika ada sengketa penghitungan suara, sehingga komposisi lima hakim Mahkamah Konstitusi perlu dikuasai untuk menjamin kemenangan. “Rencananya, pada awal September, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kembali diubah,” ujar Denny.
Denny menyebutkan perubahan keempat Undang-undang Mahkamah Konstitusi sangat politis dan sarat akan kepentingan “dagang sapi”. Hal ini, kata dia, tecermin dari fokus pada satu norma, yakni syarat menjadi hakim konstitusi. Dalam perubahan ketiga Undang-Undang MK Nomor 7 Tahun 2020 disebutkan syarat umur menjadi hakim konstitusi adalah “berusia paling rendah 55 tahun”. Ketentuan ini akan diubah menjadi minimal 60 tahun.
Dia menduga sedang terjadi “lobi dan negosiasi” agar ada pasal transisi alias pasal peralihan sehingga hakim konstitusi yang belum berusia 60 tetap bisa menjabat. Menurut dia, praktik ini dapat merusak kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Respons Mahkamah Konstitusi
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan lembaganya belum menerima aduan Denny. Secara prinsip, Mahkamah Konstitusi segera menindaklanjuti bila ada aduan resmi tentang dugaan pelanggaran etik hakim. “Silakan tanya ke Pak Denny, karena hingga Senin ini, 28 Agustus 2023, kami belum menerima secara resmi laporan atau aduan tersebut,” tutur Fajar.
Fajar enggan mengomentari tuduhan-tuduhan Denny karena laporan belum diterima. Apalagi bila tuduhan tersebut menyangkut pokok materi yang dilaporkan. Bila ternyata benar, Mahkamah Konstitusi perlu melakukan pembuktian. Fajar juga enggan berkomentar ihwal tudingan konflik kepentingan dalam sidang uji materiil syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden. “Pada prinsipnya, sikap MK jelas, yakni sekiranya ada laporan atau pengaduan resmi, kami terima dan segera menindaklanjuti,” ujarnya.
AVIT HIDAYAT | EKA YUDHA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo