JAUH sebelum republik berdiri, Muhammadiyah telah merakit sejarah. Beberapa di antara the founding ~fathers negeri ini adalah "oran~g Muhammadiyah". Bung Karno, yang pada masa rema~janya mengenal Islam melalui Muhammadiyah, bahkan pernah berkata, "Yang senantiasa jadi keinginanku ialah agar peti matiku diselubungi dengan panji Islam Muhammadiyah." Ketika dibuang ke Bengkulu oleh kolonial Belanda, tahun 30-an, Bung Karno sempat menjadi pengurus bagian pengajaran organisasi ini. Pada masa itu Muhammadiyah juga berusaha bahu-membahu dengan kaum nasionalis. Misalnya K.H. Mas Mansur, yang memimpin Muhammadiyah waktu itu, berusaha memindahkan Bung Hatta dari tahanannya di Bandaneira ke Makassar, dengan tujuan memanfaatkan tenaganya dalam perjuangan melawan penjajah. Kelak, Bung Karno dan Bung Hatta menjadi presiden dan wakil presiden RI. Sedangkan Presiden Soeharto juga "anak Muhammadiyah", yang di masa remajanya, tanpa bersepatu, mengayuh sepeda dari Kemusu ke Yogyakarta menuntut ilmu di sekolah menengah Muhammadiyah. Dan ketika berpangkat letnan kolonel Pak Harto menjadi pengawal Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pak Dirman, yang sangat terkenal karena memimpin gerilya dari atas tandu, dan pendiri Tentara Nasional Indonesia, pada masa remajanya di Cilacap aktif dalam kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan, yang berarti "tentara tanah air". Setelah dewasa ia menjadi guru sekolah Muhammadiyah. Adalah dua tokoh Muhammadiyah pula, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Kahar Muzakkir, yang ikut dalam tim perumus Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Sementara itu, pemuka Muhammadiyah lainnya seperti Kasman Singodimedjo merupakan ketua pertama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945. KNIP adalah cikal-bakal lembaga DPR/MPR. Salah seorang terpenting di antara pendiri Majelis Ulama Indonesia juga tokoh Muhammadiyah. Ia adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, alias Hamka ulama dan pengarang terkemuka. Itulah saf panjang "orang-orang Muhammadiyah" yang ikut saham memberi denyut dalam nadi Republik. Dan peran sejarah ini diakui: empat tokoh Muhammadiyah dikukuhkan pemerintah sebagai pahlawan nasional, yakni K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Nyai Dahlan (istri Kiai Dahlan), K.H. Fachruddin, dan K.H. Mas Mansur. Muhammadiyah didirikan 18 November 1912 oleh Muhammad Darwi~ -- kelak berganti nama sebagai K.H. Ahmad Dahlan. Selain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam, gerakan ini tidak terlepas dari semangat nasionalisme. Kiai Dahlan sendiri aktif dalam pergerakan nasional seperti Boedi Oetoma dan Syarikat Islam. Ia juga menjadi anggota Jami'ah al-Khail yang antara lain menjalin hubungan dengan pemimpin negara-negara Islam seperti Mesir dan Turki. Beberapa tokoh organisasi tadi pernah menulis di majalah al-Manar terbitan Kairo, membeberkan penderitaan kaum muslimin dan bangsa Indonesia akibat penjajahan Belanda. Semangat pembaruan Muhammadiyah berawal dari perkenalan Kiai Dahlan dengan Tafs~ir Quran al-Manar oleh Muhammad Abduh, tokoh pembaru di Mesir. Kiai Dahlan mempelajarinya ketika ia berhaji kedua kalinya pada 1902. Di Tanah Suci itu ia juga bertemu dengan pendekar pembaru lainnya, Rasyid Ridha. Beberapa bulan sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kiai Dahlan sempat berdiskusi dengan Syekh Ahmad al-Syurkati penganjur pembaruan dari Sudan dan pendiri perkumpulan Al Irsyad pada 1914. Ketika itu, al-Syurkati, yang memenuhi undangan Jami'ah al-Khair untuk berceramah, duduk di kereta api berhadapan dengan Kiai Dahlan yang lagi asyik membaca majalah al-Manar. Ahmad al-Syurkati heran, sebab majalah tersebut dilarang masuk oleh pemerintah kolonial. Akhirnya keduanya berkenalan dan berdiskusi. Cocok. Meskipun Muhammadiyah sudah berdiri, beberapa tokohnya masih tetap aktif berpolitik di Syarikat Islam. Bahkan Kiai Dahlan dan K.H. Mas Mansur menjadi penasihat, sementara K.H. A. Fachruddin sebagai bendahara. Suatu ketika, di tahun 20-an, Fachruddin pernah memelopori pemogokan buruh-buruh perkebunan Belanda di Yogya. Akibatnya, ia dihukum denda 300 gulden. Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah bersama organisasi Islam lain tampil sebagai pemrakarsa kongres-kongres umat Islam, sampai dengan kongres di Solo pada 1941. Juga dalam pembentukan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937. Dan setahun kemudian, di Solo, Muhammadiyah ikut membidani lahirnya Partai Islam Indonesia. Ketika serdadu Jepang yang kejam itu berkuasa, Muhammadiyah berani melawan arus. Ki Bagoes Hadikoesoemo, Ketua PB Muhammadiyah, menyatakan bahwa sei kerei terlarang bagi umat Islam karena bertentangan dengan tauhid. Sei kerei ialah menghormat Tenno Heika di Tokyo dengan membungkukkan badan, seperti rukuk dalam salat, yang diwajibkan Jepang kepada para murid sekolah setiap jam tujuh pagi. Sikap menegakkan Keesaan Allah ini bahkan diamalkan Kiai Dahlan sebelum Muhammadiyah lahir. Misalnya, dalam soal arah kiblat. Ketika itu umat Islam salat hanya asal menghadap ke barat, tidak persis ke arah Ka'bah. Tidak ada pedoman bagaimana arah kiblat yang benar. Kiai Dahlan, yang sudah ahli dalam ilmu falak, tanpa ragu-ragu memberi garis saf di lantai suraunya. Akibatnya, ulama gempar. Salat di situ dianggap tidak sah. Surau itu bahkan dirobohkan oleh pamannya sendiri. Ia tak mundur, bahkan menyatakan kiblat Mesjid Agung Keraton Yogya juga tidak benar. Tiga tahun setelah Kiai Dahlan wafat, pada 1927, barulah arah kiblat Mesjid Agung dibenahi sesuai dengan petunjuk almarhum. Belakangan, perbaikan arah kiblat diikuti oleh semua masjid dan musala yang arahnya telanjur keliru. Dalam kehidupan berbangsa, Muhammadiyah tampak langgeng karena setia sebagai organisasi kemasyarakatan yang berakar terutama di bidang pendidikan dan keagamaan. Itulah sebabnya di bawah payung Muhammadiyah bernaung segala macam orang. Karena bisa diterima oleh siapa pun Muhammadiyah bisa bergerak di mana saja. Pada 1966 misalnya, ada seorang warga Muhammadiyah di Aceh yang menjadi pimpinan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia atau IPKI. Dan Brigjen. H.M. Yasin Irawan, kini anggota Fraksi ABRI DPRD Jawa Barat, adalah juga ketua I pengurus wilayah Muhammadiyah di provinsi itu. Ketika menjadi anggota istimewa Masyumi, Muhammadiyah tak terpengaruh oleh akibat tindak-tanduk politik partai tersebut. Begitu pula ketika Masyumi dibubarkan. Ketika Parmusi terbentuk dan kemudian dilebur ke dalam PPP, atau terjadi keguncangan dalam tubuh partai ini, Muhammadiyah tetap saja berdiri di tempatnya. Tidak goyah. Jangan lupa, Muhammadiyah adalah salah satu ormas pendiri Sekber Golkar. Ketika Sekber menjelma jadi Golkar, tidaklah berarti Muhammadiyah lebur dalam Golkar. Anehnya, malah orang cenderung menilai Muhammadiyah lebih dekat dengan PPP yang kelahirannya memang ikut pula dibidaninya setelah terbentuknya kelompok Amal Muslimin. Kini Muhammadiyah telah menjadi organisasi regional. Pada 1970 berdiri cabang di Singapura. Dan 10 tahun silam berdiri pula cabang Muhammadiyah di Pulau Penang, Malaysia. Dua tahun lalu, organisasi berlambang matahari bersinar ini telah mengibarkan benderanya di Provinsi Songkla dan Pattani, Muangthai Selatan. Muhammadiyah yang anggotanya sekitar 40 juta - termasuk simpatisan - kini agaknya berhasil memainkan peran sebagai pelobi. Dalam beberapa RUU, seperti Perkawinan, Keormasan, Pendidikan, Peradilan Agama, banyak masukan dari organisasi ini yang diterima. "Kami tak perlu ramai-ramai, karena semua bisa diselesaikan dengan baik," kata K.H. A.R. Fakhruddin, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah (lihat juga rubrik Memoar.) BSH, Heddy Lugito, Sitti Nurbaiti (Yogya), A. Taufik (Bandung), Jalil Hakim, Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini