Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kongres Yang Sudah Licin

Kongres Budhis pertama yang berlangsung di Yogya meresmikan Walubi (Perwalian Umat Budha Indonesia) terdiri dari 7 majelis, 3 sangha. Kericuhan sebelumnya mengenai prinsip ketuhanan & perbedaan aliran.(ag)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAMA Budha di Indonesia adalah "Agama Budha dengan Kebudayaan Kepribadian Indonesia." Itulah kriteria yang ditentukan dalam konsensus pada lokakarya di Jakarta, 18-20 Pebruari lalu, diselenggarakan di Kantor Sandi Yudha (BAKIN). Dan dengan kriteria demikian dicarikanlah wadah pemersatu melalui Kongres Nasional Umat Budha Seluruh Indonesia -- yang pertama -- di Yogya, 7-8 Mei, yang disusul dengan perayaan Waisak di Candi Mendut. Kongres ini meresmikan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia). Terdiri dari 7 majelis (sekte): Budha Dhamma (Theravada), Maitreya, Dharma Duta Kasogatan, Nichiren Soshu, Mahayana, Tri Dharma, dan Budhayana. Plus tiga sangha (persaudaraan para biksu) Sangha Agung Indonesia (Budhayana), Sangha Therevada, dan Sangha Mahayana. Tapi apa artinya 'kepribadian Indonesia', bila agama Budha toh terdiri dari bermacam sekte? Agama Budha di Indonesia adalah agama yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini dikatakan misalnya oleh Gunawan SH, Sekjen Majelis (sekte) Mahayana Indonesia. Budha di Indonesia juga punya Borobudur dan Mendut, yang mewakili kebudayaan yang jelas berbeda dengan negeri-negeri Budhis. Tapi lebih penting agaknya juga bahwa Budhisme di sini, pada "zaman baru", memang masih muda belia. Tentang Ketuhanan YME misalnya. Kericuhan yang beberapa lama terjadi antara lain bisa dilihat misalnya pada tokoh Bhikku Sthavira Ashin Jinarakkita Maha Thera, guru para biksu di tanah air. Jinarakkhita, seperti pernah dinyatakannya, berkeinginan "memadukan Mahayana dan Theravada (Hinayana)" -- dan karena itu terbentuklah aliran Budhayana. Sebagian biksu, bekas murid-muridnya, menyatakan aliran seperti itu tak pernah ada. Tapi Jinarakkhita memegang senjata yang di tanah air ini bukan main ampuh: Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai syarat mutlak bagi Budha sebagai agama. Ia lantas menunjuk aliran yang tak setuju sebagai "atheis" -- sementara ia menetapkan Tuhan bagi Budhisme adalah Sang Hyang Adi Budha. Lawan-lawannya menolak. Bagi mereka, misalnya Theravada, prinsip ketuhanan dalan Budhisme sebenarnya sejak semula tidak dapat dikonsepsikan: bukan sesuatu yang pribadi, walaupun merupakan tujuan akhir yang hanya dapat direalisir melalui perkembangan batin. Jinarakkhita adalah Maha Nayaka (Ketua) Maha Sangha Indonesia (MSI). Tetapi oleh perbedaan aliran itu, pada Januari 1972 lima orang biksu membentuk sangha tandingan: Sangha Indonesia (SI). Pemerintah, yang selalu ingin melihat "persatuan", tentu saja tak tinggal diam. Mereka dipanggil, dan dileburlah kedua sangha itu persis dua tahun sesudahnya, menjadi Sangha Agung Indonsia (SAI), di gedung Departemen Agama. Jinarakkhita tetap jadi Ketua Umum. Tetapi tidak begitu lama, Ghirakkhito keluar dari sangha tersebut dan membentuk Sangha Theravada. Di pihak lain, Bhikku Surya Karma Chandra, juga bekas murid Jinarakkhita, membentuk Sangha Mahayana. Kembali Departemen Agama memanggil mereka. Di ruang Ditjen Hindu Budha dibentuk perwalian umat Budha -- agaknya setelah gagal mempersatukan para Budhis dari segi sangha, yang kenyataannya memang berarti pusat ajaran. Toh perwalian ini, dibentuk Juni 1978, tak meliputi seluruh umat Budhis: hanya 6 sekte dan 2 sangha yang datang. Tapi akhirnya toh berl1asil juga tentu saja -- diadakan lokakarya bulan Pebruari lalu. Di sini diputuskan: semua sekte mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sebutan berbeda-beda namun hakikatnya satu. Dicantumkan juga dl situ pegangan pokok agama. Tripitaka sebagai kitab suci utama, sedang kitab suci pelengkap disebut Sang Hyang Kamahanikan dll -- misalnya saja Dhammapada. Budha, dipanggil sebagai Budha Gautama atau Budha Sakyamuni, diakui sebagai Nabi/Pendiri/Pembabar. Bikin Pusing Hasil lokakarya tersebut, yang memang bertema 'Pemantapan Ajaran Agama Budha dengan Kepribadian Nasional Indonesia" kemudian dibawa ke sidang persiapan kongres, akhir April lalu. Jadi jalan ke kongres I di Yogya itu sebenarnya licin sudah. Pertemuan yang diselenggarakan di Hotel Arjuna Plaza itu, dihadiri sekitar 100 orang dan dibiayai Rp 2 juta, seakan hanya tinggal mengukuhkan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia) dan hal-hal organisatoris serta berbagai usul. Dipilih sebagai ketuanya Suparto HS, wartawan, dari Budha DHAMMA (Theravada). Pemerintah rupanya memang tidak suka melihat kejadian seperti tahun lalu: sampai ada panitia kembar untuk upacara Waisak. Menteri Agama sendiri, yang datang ke Waisak, menganggap hal itu sebagai "puncak kegawatan." Tentu saja bagi Menteri persatuan itu bukan semu. "Ini memang dibutuhkan. Kenapa sesama Budhis tidak bisa rukun?" tanyanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. "Kalau alasannya karena sekte, di agama lain pun ada." Lebih-lebih di kalangan awam, soal sekte misalnya tidak pernah diajarkan di sekolah -- seperti tutur Darma Saputra, guru agama dari Sala. "Itu urusan pimpinan pusat. Kita umat bisa pusing kalau mikirkan itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus