AGAMA Budha di Indonesia adalah "Agama Budha dengan Kebudayaan
Kepribadian Indonesia." Itulah kriteria yang ditentukan dalam
konsensus pada lokakarya di Jakarta, 18-20 Pebruari lalu,
diselenggarakan di Kantor Sandi Yudha (BAKIN). Dan dengan
kriteria demikian dicarikanlah wadah pemersatu melalui Kongres
Nasional Umat Budha Seluruh Indonesia -- yang pertama -- di
Yogya, 7-8 Mei, yang disusul dengan perayaan Waisak di Candi
Mendut.
Kongres ini meresmikan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia).
Terdiri dari 7 majelis (sekte): Budha Dhamma (Theravada),
Maitreya, Dharma Duta Kasogatan, Nichiren Soshu, Mahayana, Tri
Dharma, dan Budhayana. Plus tiga sangha (persaudaraan para
biksu) Sangha Agung Indonesia (Budhayana), Sangha Therevada, dan
Sangha Mahayana.
Tapi apa artinya 'kepribadian Indonesia', bila agama Budha toh
terdiri dari bermacam sekte? Agama Budha di Indonesia adalah
agama yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini dikatakan
misalnya oleh Gunawan SH, Sekjen Majelis (sekte) Mahayana
Indonesia. Budha di Indonesia juga punya Borobudur dan Mendut,
yang mewakili kebudayaan yang jelas berbeda dengan negeri-negeri
Budhis. Tapi lebih penting agaknya juga bahwa Budhisme di sini,
pada "zaman baru", memang masih muda belia.
Tentang Ketuhanan YME misalnya. Kericuhan yang beberapa lama
terjadi antara lain bisa dilihat misalnya pada tokoh Bhikku
Sthavira Ashin Jinarakkita Maha Thera, guru para biksu di tanah
air. Jinarakkhita, seperti pernah dinyatakannya, berkeinginan
"memadukan Mahayana dan Theravada (Hinayana)" -- dan karena itu
terbentuklah aliran Budhayana. Sebagian biksu, bekas
murid-muridnya, menyatakan aliran seperti itu tak pernah ada.
Tapi Jinarakkhita memegang senjata yang di tanah air ini bukan
main ampuh: Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai syarat mutlak bagi
Budha sebagai agama. Ia lantas menunjuk aliran yang tak setuju
sebagai "atheis" -- sementara ia menetapkan Tuhan bagi Budhisme
adalah Sang Hyang Adi Budha. Lawan-lawannya menolak. Bagi
mereka, misalnya Theravada, prinsip ketuhanan dalan Budhisme
sebenarnya sejak semula tidak dapat dikonsepsikan: bukan sesuatu
yang pribadi, walaupun merupakan tujuan akhir yang hanya dapat
direalisir melalui perkembangan batin.
Jinarakkhita adalah Maha Nayaka (Ketua) Maha Sangha Indonesia
(MSI). Tetapi oleh perbedaan aliran itu, pada Januari 1972 lima
orang biksu membentuk sangha tandingan: Sangha Indonesia (SI).
Pemerintah, yang selalu ingin melihat "persatuan", tentu saja
tak tinggal diam. Mereka dipanggil, dan dileburlah kedua sangha
itu persis dua tahun sesudahnya, menjadi Sangha Agung Indonsia
(SAI), di gedung Departemen Agama. Jinarakkhita tetap jadi Ketua
Umum. Tetapi tidak begitu lama, Ghirakkhito keluar dari sangha
tersebut dan membentuk Sangha Theravada. Di pihak lain, Bhikku
Surya Karma Chandra, juga bekas murid Jinarakkhita, membentuk
Sangha Mahayana.
Kembali Departemen Agama memanggil mereka. Di ruang Ditjen
Hindu Budha dibentuk perwalian umat Budha -- agaknya setelah
gagal mempersatukan para Budhis dari segi sangha, yang
kenyataannya memang berarti pusat ajaran. Toh perwalian ini,
dibentuk Juni 1978, tak meliputi seluruh umat Budhis: hanya 6
sekte dan 2 sangha yang datang.
Tapi akhirnya toh berl1asil juga tentu saja -- diadakan
lokakarya bulan Pebruari lalu. Di sini diputuskan: semua sekte
mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sebutan berbeda-beda
namun hakikatnya satu.
Dicantumkan juga dl situ pegangan pokok agama. Tripitaka sebagai
kitab suci utama, sedang kitab suci pelengkap disebut Sang Hyang
Kamahanikan dll -- misalnya saja Dhammapada. Budha, dipanggil
sebagai Budha Gautama atau Budha Sakyamuni, diakui sebagai
Nabi/Pendiri/Pembabar.
Bikin Pusing
Hasil lokakarya tersebut, yang memang bertema 'Pemantapan Ajaran
Agama Budha dengan Kepribadian Nasional Indonesia" kemudian
dibawa ke sidang persiapan kongres, akhir April lalu. Jadi jalan
ke kongres I di Yogya itu sebenarnya licin sudah. Pertemuan yang
diselenggarakan di Hotel Arjuna Plaza itu, dihadiri sekitar 100
orang dan dibiayai Rp 2 juta, seakan hanya tinggal mengukuhkan
WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia) dan hal-hal
organisatoris serta berbagai usul. Dipilih sebagai ketuanya
Suparto HS, wartawan, dari Budha DHAMMA (Theravada).
Pemerintah rupanya memang tidak suka melihat kejadian seperti
tahun lalu: sampai ada panitia kembar untuk upacara Waisak.
Menteri Agama sendiri, yang datang ke Waisak, menganggap hal
itu sebagai "puncak kegawatan." Tentu saja bagi Menteri
persatuan itu bukan semu. "Ini memang dibutuhkan. Kenapa sesama
Budhis tidak bisa rukun?" tanyanya kepada Bachrun Suwatdi dari
TEMPO. "Kalau alasannya karena sekte, di agama lain pun ada."
Lebih-lebih di kalangan awam, soal sekte misalnya tidak pernah
diajarkan di sekolah -- seperti tutur Darma Saputra, guru agama
dari Sala. "Itu urusan pimpinan pusat. Kita umat bisa pusing
kalau mikirkan itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini